Narsistik Religius

    846

    Dikutip dari media Liputan6.com yang mengambil data The Next Web tentang survei jumlah pengguna sosial di seluruh dunia, Indonesia termasuk di dalam daftar 5 pengguna paling banyak yang memakai media sosial di dunia, khususnya media Facebook dan Twitter. Tepatnya dengan pengguna media sosial sebanyak 130 juta orang, Indonesia bisa dikatakan sebagai negara yang “cerewet”

    Tentu berkembangnya media sosial juga berdampak bagi perkembangan demokrasi kita, sebab seyogyanya media sosial adalah sarana di mana individu dapat mengemukakan pendapatnya secara bebas ke publik dan setiap orang dapat melihat dan belajar memahami pikiran masing-masing individu yang saling berbeda.

    Selain sebagai alat demokrasi, media sosial juga dianggap mempunyai sisi negatif, salah satunya adalah penyebaran hoax yang cepat melalui media sosial, dan juga merenggangnya interaksi sosial secara fisik. Namun terlepas dari penilaian positif – negatif, adalah salah satu pengaruh media sosial terhadap penggunanya, yaitu: narsistik.

    Istilah narsis pada awalnya di populerkan oleh Psikolog asal Austria, yaitu Sigmund Freud. Freud mengambil tokoh mitologi Yunani yang bernama Narkissos, dewa sungai yang memiliki ketampanan luar biasa. Narkissos dikutuk oleh Nemesis untuk mencintai rupa dan bayangannya sendiri, sehingga Narkissos menghabiskan waktu yang sia-sia untuk melihat cermin dirinya di sungai. Saat ini, kata narsis kemudian disematkan pada sikap manusia yang terlampau mencintai atau mengagumi dirinya sendiri.

    Narsis  menurut para Psikolog sebenarnya adalah gejala yang bersifat manusiawi, wajar jika setiap orang ingin dipuji, wajar setiap orang ingin bahagia tanpa harus mengikuti ocehan orang lain, namun yang berbahaya adalah jika sudah berlebihan. Orang yang terlampau narsis, ia berusaha menganggap dirinya sebagai sosok yang luar biasa, utama, dan melebihi yang lain dalam segala hal.

    Di masa kini, perkembangan sifat narsis kemudian terwadahi dengan kehadiran media sosial. Kadang kita suka mencela atau menggerutui teman kita sebagai ‘narsis’ karena selalu rajin update status atau berselfie ria di setiap momen. Kini istilah narsis seolah bergeser maknanya menjadi orang yang tukang selfie atau orang yang rajin update di medsos.

    Di Era digital ini rasanya kita sudah tak bisa lepas dari apa yang namanya gadget, smartphone, media sosial, dan lain-lain. Tanpa ada handphone di tangan kita, rasanya dunia sepi dan kita merasa terkucilkan dari lingkungan sosial kita. Saat ini, orang-orang sudah menganggap bahwa smartphone bukan lagi sekedar alat untuk komunikasi, lebih dari itu, alat elektronik yang kita genggam saat ini sudah menjadi pusat informasi yang mengubah gaya hidup manusia di zaman ini.

    Dahulu media yang umum kita gunakan sebagai sarana informasi adalah radio, televisi, dan surat kabar, namun media umum ini hanya bersifat menawarkan informasi  secara pasif,  sedangkan media internet justru tidak sekedar memberi informasi bagi tetapi anda sebagai subjek bisa langsung memberi sikap pada informasi tersebut bahkan bisa mengekspos “siapa anda” kepada masyarakat luas.

    Gejala ingin dilihat oleh publik di media sosial inilah yang saya sebut sebagai sikap “narsistik” (mungkin sudah di atas narsis). Di media sosial, kita tidak hanya bisa menjelaskan kepada publik mengenai diri kita, tetapi kita dapat membangun citra dan  membentuk karakter baru yang (mungkin) tidak terlalu sesuai dengan realita diri kita yang sebenarnya.

    Jika narsis itu adalah sifat pemujaan berlebihan pada diri sendiri yang  ingin ditunjukan pada orang lain, berbeda halnya sikap narsis di media sosial, selain ingin menunjukan dirinya, orang dapat membangun citra untuk menjadi karakter yang ia suka di media sosial. Di media sosial anda akan melihat berbagai macam orang dengan berbagai karakter dan orang yang ingin mengekspos diri mereka se-ideal atau sebebas mungkin.

    Contohnya, anda ingin terlihat di media sosial bahwa diri anda sepertinya bahagia, sepertinya glamor, sepertinya tampan, sepertinya anda adalah orang super penting, atau sepertinya anda religius. Walaupun pada kenyatannya belum tentu seperti itu. Sehingga tak jarang kita temui di media sosial orang yang foto profilnya anak muda, ternyata kenyataannya jauh lebih tua, atau contoh lainnya yang lebih jelas adalah orang yang status medsosnya sangat religius tapi ternyata tidak di kesehariannya (ingat begal yang berdoa pada Tuhan di Facebook sebelum melancarkan aksinya).

    Khususnya, Fenomena narsis dalam beragama adalah fenomena yang marak terjadi saat ini, narsistik beragama adalah rasa religius spontan orang orang di media sosial yang berlebihan. Ketika di medsos banyak orang yang memamerkan kegiatan ibadahnya, menulis status-status religius, hingga mencela kelompok lain secara ekstrim karena dianggap sesat atau menyimpang dari agamanya

    Ketika di medsos tengah ramai membahas urusan agama, maka biasanya banyak netizen yang merasa “terpanggil” untuk menghujat atau menghakimi orang yang anda anggap menyimpang komentarnya atau statusnya dalam hal keyakinan. Banyak aliran-aliran yang awalnya hidup damai kembali terusik karena ramai dihujat di media sosial seperti Komunitas Eden, Bahai, Ahmadiyah, Syiah, dan aliran kepercayaan serta kelompok minoritas lainnya.

    Menurut Jalaluddin Rakhmat atau yang akrab disapa Kang Jalal, orang yang terkena gejala narsis beragama di media sosial adalah mereka yang ingin dirinya terlihat lebih saleh, lebih religius, dan lebih agamis dari aslinya, sedangkan titik ekstrimnya orang yang kelewat narsis atau “kelewat religius” merasa dirinya sebagai penganut agama yang benar dan paling selamat sehingga rasa empati terhadap orang lain berkurang (alias intoleran).

    Sikap kelewat ingin dianggap religius kemudian menjurus pada sikap intoleran yang di anggap sebagai tindakan bela agama. Tak jarang kita melihat orang-orang seperti itu paling semangat jika membahas agama dan paling pedas komentarnya bahkan menyakitkan hati lawan bicaranya yang dianggap sesat hanya karena berbeda keyakinan dengannya.

    Di media sosial orang orang  yang narsistik religius biasanya menunjukan kesalehannya melalui status atau postingan di akun sosial medianya, walaupun secara keseharian belum tentu orang tersebut bersikap religius sebagaimana yang ia tampilkan di medsos.

    Mulai berkembangnya gerakan keagamaan di Indonesia, membuat tren beragama muncul kembali, sayangnya gerakan keagamaan disikapi oleh kelompok narsistik dengan membentuk citra religius (atau seolah olah religius) yang ditandai dengan menampilkan sisi ritualistik atau eksoteris agama ketimbang mengambil esensi dari ajaran agama yaitu akhlak dan rasa kemanusiaan. Karena itulah sering kita lihat orang yang memasang wajah saleh di medsos namun komentarnya sangat tajam dan pedas bila menemukan hal yang tak sesuai dengan pemikiran dan kepercayaannya.

    Media sosial memang merupakan wahana sekaligus media pembelajaran dalam berdemokrasi. Setiap orang bebas untuk mengekspresikan dirinya atau mengekspos dirinya sekehendak hatinya. Menjadi narsis di media sosial tidak dilarang (apalagi jika sebatas selfie) selagi tidak mengganggu privasi dan hak orang lain untuk berpendapat dan berkeyakinan.

    Kadang media sosial dijadikan ajang untuk menghina dan menyerang orang-orang yang tidak sepaham atau seagama dengannya, banyak grup atau halaman di Facebook yang isinya tidak produktif dan bagus untuk perkembangan toleransi di Indonesia, seperti grup debat Islam vs Kristen, debat Sunni-Syiah, dan debat semacamnya yang justru bukan sebagai ajang untuk dialog tetapi dijadikan tempat untuk “mempertandingkan agama.”

    Komentar-komentar pedas mengenai kepercayaan atau agama orang lain sebaiknya dihindari, sebab selain akan menyulut konflik SARA toh perbuatan tersebut juga tidak berfaidah. Sekali lagi yang harus kita tekankan, media sosial bukan ajang untuk pameran agama, media sosial hanya sebagai wadah agar kita saling memahami dan interaksi. Amalkanlah agama kita lewat prilaku dan budi pekerti yang luhur di kehidupan sehari-hari, bukan lewat beranda Facebook atau Instagram Story.