Narasi Kapitalisme dengan Sifat Manusia

    1021

    Main tebak-tebakan, yuk! Apa ideologi yang dianggap “ideologinya orang kaya”? Atau, Ideologi yang sistemnya “saling penggal leher”? Ya, benar kapitalisme.

    Tak ayal, kapitalisme kerap mengundang atensi politik serta menimbulkan pro dan kontra mengenai inkonsistensi dan kontradiksi internal. Benar kapitalisme memihak kaum borjuis saja? Atau modal dalam kapitalisme hanya dimiliki orang-orang yang nongkrong di kedai Starbucks saja?

    Kritik kapitalisme dalam poster “Dunia Pekerja Industri” yang menampilkan strata sosial masyarakat jelas mengasosiasikannya dengan kesenjangan sosial dan distribusi yang tidak adil dari segi kekuasaan dan ekonomi. Bentuk eksploitasi ekonomi juga ditafsirkan sebagai bagian “tubuh” kapitalisme yang penuh represi dan koersif.

    Sifat materialisme yang dianggap bisa timbul akibat kapitalisme jadi kritik moral selanjutnya. Kapitalisme dituduh menanamkan bibit-bibit materialis berlebih dan konsumerisme yang juga disangkutpautkan dengan imperialisme budaya.

    Hal-hal itulah yang dimusuhi para buruh dan tani yang berperang melawan kapitalis dibawah pimpinan Lenin dan Trotsky pada 7 November 1917. Revolusi yang dikenal dengan Revolusi Bolshevik atau Oktober ini menjadi tanda lahirnya negara sosialis pertama: Rusia. Hebatnya, revolusi ini sempat mengguncang tatanan kapitalis dan sistem feodalisme saat itu.

    Dalam buku Eamonn Butler (2018) dengan judul “Kapitalisme”, problematika definisi dari kapitalisme serta kenyataan dan kesalahpahaman dijelajahi dengan jargon-jargon yang memutarbalikkan pandangan sebagian orang mengenai kapitalisme. Intinya, kapitalisme tidak seburuk itu dalam hal kesetaraan finansial.

    Menurut Eamonn, kritik-kritik yang melekat pada kapitalisme antara lain adalah kritik moral seperti yang saya bahas tadi, ekonomi kapitalis, kekuasaan korporat, dan kekhawatiran geopolitik. Akibatnya, stigma buruk kapitalisme mencakup ketimpangan kesejahteraan.

    Saya pribadi sepenuhnya mendukung cita-cita kapitalisme yang menekankan sistem produktivitas modal, kepemilikan hak individu, dan free market. Menurut saya, apa yang diterapkan kapitalisme tidak selalu merugikan pihak tak berpunya sehingga menimbulkan kesenjangan sosial.

    Sejak kita lahir, manusia memang tidak ada yang setara atau sama. Si A punya hidung yang seperti ini, belum tentu sama hidungnya dengan si B. Kesenjangan memang selalu ada, natural maupun diciptakan. Proses manusia berevolusi juga berdasar pada nature selection. Yang mampu beradaptasi untuk bertahan hidup, dialah yang akan menang.

    Keberagaman masyarakat itu sehat, asal tidak dikacaukan dengan narasi populis yang mengatasnamakan “Rakyat itu satu!”, “Mari semuanya yang beragama cebong, kita merdeka!” dan sebagainya. Hal tersebut akan berakhir ke forced diversity yang benar-benar canggung.

    Kelas sosial secara alamiah tercipta dari kondisi masyarakat itu sendiri. Tidak ada yang dapat mencegah itu. Dari keadaan masyarakat inilah yang menjadi alat pikiran adanya paham mengenai masyarakat. Sebut saja sosialisme, salah satunya.

    Dibanding kapitalisme, sosialisme kerap dipandang lebih mulia dan bermoral, terutama dalam bidang ekonomi. Kapitalisme dan sosialisme. Kedua ideologi itu sama-sama mempunyai kekurangan dan kelebihan.

    Kapitalisme bertumpu pada keberagaman dan pilihan. Sebaliknya, sosialisme cenderung pada kesesuaian dan kekuasaan.

    Mengenai hak kepemilikan, saya setuju kalau kepemilikan pribadi lebih baik dibanding bersama. Kepemilikan privat jauh lebih efisien dalam produktivitas, terjamin dan imajinatif dibanding kepemilikan kolektif.

    Dengan mengakui hak kepemilikan individu, orang lebih percaya mengembangkan investasinya karena yakin hasil kerja kerasnya diperoleh sendiri. Berbeda dengan modal kolektif yang bisa saja dipolitisasi dan akhirnya berujung ketidakadilan.

    Barangkali ketika saya menyuarakan hak individu ini, ada yang maju membela nama demokrasi bersama. Saya tidak menentang demokrasi, menurut saya a noisy democracy is a working democracy. Namun, demokrasi harus tahu batasan.

    Jangan sampai melanggar karena nantinya bisa disalahgunakan oleh tirani mayoritas dan memangkitkan tensi politik. Seringkali mereka membanggakan demokrasi sehingga setiap hal lain harus ditentukan demokratis.

    Kegiatan ekonomi antar kedua pihak yang berlangsung bebas dan sukarela. Semua itu terjadi sebelum negara api menyerang. Melihat keindahan transaksi pasar, pihak yang budiman, alias pemerintah mulai mengintervensi dan menetapkan peraturan-peraturan yang entah berapa pasal untuk mengontrol pasar.

    Lalu, government failure pun terjadi selang beberapa waktu. Kegagalan intervensi pemerintah dalam bentuk kontrol harga maupun kontrol rente menyebabkan alokasi sumber daya yang berkurang efisiensinya dan penurunan kesejahteraan ekonomi.

    Restriksi yang ditetapkan pemerintah pada pangsa pasar mampu menghambat laju perusahaan yang telah atau akan mengembangkan modalnya. Status modal, lisensi pekerjaan, status properti dan hukum akan sulit kalau regulasi pemerintah terlalu ketat.

    Kompleksitas dalam kebebasan pasar ini yang dapat menimbulkan monopoli dan korup yang merusak tatanan pasar. Regulasi ini juga berakibat pada terkekangnya kebebasan pasar dan kemogokan kompetisi antar pedagang. Padahal, kompetisi sendiri mendorong kemampuan produsen untuk berinovasi lebih dan menaikkan insentif perusahaan.

    Jika pasar tidak diintervensi pemerintah dan dibiarkan bebas, bagaimana nasib modal dan keteraturan? Modal bisa diciptakan dan digunakan oleh siapa saja. Kita semua adalah produsen, distributor, dan konsumen dalam kegiatan ekonomi.

    Sifat rakus sama sekali tidak benar bila dikaitkan dengan kapitalisme. Jika ada pedagang yang terlalu rakus, otomatis konsumen akan meninggalkannya. Konsumen bisa memilih mana yang mau dikonsum, begitupun dengan pedagang.

    Seperti dalam buku “Kapitalisme” karya Eamonn Butler, kapitalisme memiliki beberapa kebaikan seperti, membebaskan ide (free market of ideas), simpelnya akses menuju modal, dan menciptakan utopia pribadi yang tidak akan didapat jika hanya mengandalkan satu utopia.

    Nah, setujukah kalian dengan kapitalisme tersebut? Asal jangan teriak-teriak “Dasar sekrup-sekrup kapitalis” atau “Hoi antek kapitalis!”. Wong ujung-ujungnya jadi budak kapitalis, toh.

     

    Samuella Christy adalah siswi SMA yang aktif menulis di berbagai media mengenai isu-isu politik dan sosial. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.