“Apakah perang merupakan sesuatu yang dibolehkan, dan bila memang demikian, lantas dalam situasi apa dan bagaimana tata cara agar peperangan dapat dijustifikasi?”
Pertanyaan diatas merupakan pertanyaan yang sudah hadir dalam benak umat manusia sejak ribuan tahun. Perang memang merupakan sesuatu yang sama tuanya dengan spesies homo sapiens. Manusia sudah melakukan tindakan kekerasan kolektif terhadap kelompok lain jauh sebelum peradaban lahir.
Pernyataan tersebut juga diamini oleh ilmuan kognitif dan penulis kondang kelahiran Kanada, Steven Pinker. Dalam bukunya The Better Angels of Our Nature: Why Violence Has Declined, Pinker mengutip berbagai bukti dokumentasi dan penelitian arkeologis mengenai banyaknya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh nenek moyang kita puluhan ribu tahun yang lalu melalui tengkorak dan tulang-tulang yang tersisa dan ditemukan di bawah tanah.
Perilaku tindakan kekerasan kolektif yang dilakukan manusia agaknya memiliki keterkaitan erat dengan sejarah evolusi kita. Homo sapiens tentunya bukan satu-satunya spesies yang melakukan kekerasan. Sepupu dekat kita dalam pohon evolusi, simpanse misalnya, juga tak jarang juga melakukan tindakan brutal satu sama lain dan terhadap “suku” atau kelompok simpanse yang berbeda, sebagaimana yang ditemukan oleh pakar primatologi asal Britania Raya, Jane Goodall, dalam penelitiannya di Tanzania pada dekade 1970an.
Namun, berbeda dengan para sepupu kita yang berbeda spesies, alam telah memberikan homo sapiens kemampuan kognitif yang lebih superior dari spesies-spesies lain. Dengan menggunakan otak yang kita miliki, manusia bukan hanya mampu membangun peradaban besar serta teknologi tinggi, namun juga berbagai pemikiran dan gagasan yang memberi refleksi dan makna terhadap kehidupan kita di planet bumi.
Salah satu dari buah pikiran tersebut adalah refleksi mengenai peperangan, tentang apakah perang merupakan sesuatu yang bisa dibenarkan dan bagaiama tata caranya. Salah satu tokoh besar yang membahas perihal tersebut adalah teolog Thomas Aquinas. Thomas Aquinas menuturkan ada tiga syarat utama perang dapat dijustifikasi.
Syarat pertama adalah perang harus dideklarasikan oleh otoritas yang tepat, misalnya negara, dan harus merepresentasikan kebaikan bersama. Syarat kedua adalah perang harus bertujuan untuk mencapai kebaikan dan keadilan, dan bukan untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau meraih keagungan. Dan syarat terakhir adalah bahwa perdamaian harus menjadi motif utama dalam peperangan.
Lantas, bagaiamanakah pandangan libertarianisme terhadap perang? Bila tindakan membela diri dengan melawan pihak agresor merupakan hal yang dapat dibenarkan dalam libertarianisme, bukankah dengan demikian perang dapat dijustifikasi pula di dalam situasi tertentu?
*****
Sebelum menjawab pertanyaan diatas, saya ingin membuat ilustrasi sederhana. Bayangkan ada seseorang yang rumahnya dirampok dan berbagai barang berharga di rumahnya dirampas seperti perhiasan dan benda-benda elektronik. Setelah perampok pergi dengan menggunakan mobil, pemilik rumah tersebut lantas mengambil langkah untuk mengejar perampok tersebut dengan menggunakan mobilnya untuk mengambil barang rampasan yang dimilikinya.
Ketika pengejaran dilakukan oleh pemilik rumah tersebut, ia juga membawa senjata api yang dimilikinya, dan melakukan penembakan melalui jendela mobilnya dengan sasaran mobil perampok yang merampas di rumahnya. Atas tindakannya tersebut belasan orang tak bersalah meninggal di jalanan. Setelah itu, ia melihat perampok yang dikejarnya memakirkan mobil yang digunakan dan masuk ke pusat perbelanjaan untuk menghindari pemilik rumah yang mengejarnya. Pemilik rumah tersebut lantas mengikuti perampok yang dikejarnya dengan memasuki pusat perbelanjaan yang sama seraya menembakkan senjata api yang dibawanya di dalam pusat perbelanjaan tersebut yang menimbulkan puluhan nyawa tak bersalah melayang.
Tindakan pemilik rumah tersebut tentu merupakan hal yang dapat dibernarkan dalam sudut pandang libertarianisme. Hak membela diri dan resitiusi (pengembalian barang yang diambil paksa kepada pemiliknya yang sah) merupakan salah satu hak yang paling dasar yang dimiliki oleh setiap individu.
Selain itu, hak membela diri dan restitusi merupakan bentuk pengejewantahan dari hak kepemilikan yang tidak bisa dipisahkan. Apabila seseorang dinyatakan memiliki kedaulatan atas barang tertentu, maka pada saat yang sama ia juga memiliki hak untuk membela barang yang dimilikinya dari pihak agresor serta mengambil alih apabila barang tersebut sudah diambil paksa dari dirinya oleh pihak lain.
Namun, ketika langkah pembelaan diri dan restitusi tersebut dilakukan dengan cara membunuhi orang lain yang tidak bersalah, tentu cara tersebut merupakan sesuatu yang ditentang keras oleh libertarianisme. Setiap orang harus bertanggung jawab terhadap perbuatannya yang melukai orang lain, namun kita tidak bisa memaksa pihak ketiga untuk bertanggung jawab atas sesuatu yang tidak mereka lakukan. Dalam skenario ilustrasi diatas, pemilik rumah tersebut juga merupakan seorang agresor yang telah mengambil nyawa puluhan orang yang tidak bersalah, dan ia bahkan ia merupakan agresor yang jauh lebih buruk dari orang yang merampok rumahnya karena perampok tersebut tidak membunuhi siapapun.
Hal inilah yang ditulis oleh ekonom dan pemikir libertarian ternama kelahiran Amerika Serikat, Murray Rothbard dalam bukunya The Ethics of Liberty ketika membahas mengenai peperangan. Dengan menggunakan ilustrasi yang kurang lebih serupa dengan yang saya gambarkan diatas, Rothbard menyatakan secara tegas bahwa perang, termasuk perang dengan tujuan defensif, hanya bisa dilakukan apabila menyasari pihak-pihak yang memang bertanggung jawab atas serangan pertama kali.
Libertarianisme merupakan gagasan yang menjunjung tinggi kemerdekaan individu karena unit terkecil dari masyarakat adalah individu. Keluarga, masyarakat, hingga negara merupakan kumpulan dari individu-individu yang tidak bisa disamakan dan tidak bisa hanya dipandang sebagai entitas kolektif semata.
Bila ada warga negara tertentu yang berbuat tindakan kriminal di negara lain, maka negara yang mengalami tindakan kriminal tersebut tidak bisa menghukum secara kolektif warga negara yang kebetulan berasal dari negara yang sama dengan sang pelaku kriminal dengan melakukan pemboman membabi buta di tanah kelahiran pelaku tindak kriminal tersebut. Hal tersebut tak ubahnya bila ada seseorang yang dibunuh terus lantas keluarga korban pembunuhan mengambil langkah untuk menghukum secara kolektif semua tetangga dan orang yang kebetulan tinggal di daerah yang sama dengan pelaku pembunuhan.
Rothbard tentu bukan satu-satunya orang yang mengadvoakasi prinsip perlindungan terhadap warga sipil yang tidak bersalah dalam peperangan, dan libertarianisme bukanlah satu-satunya gagasan yang menjunjung tinggi hal tersebut. Prisip tersebut sudah dicantumkan dalam berbagai instrumen internasional yang mengatur peperangan, salah satunya adalah Konvensi Jenewa ke-4 yang dengan tegas menyatakan bahwa semua pihak yang terlibat peperangan harus untuk melindungi warga sipil yang tidak terlibat dalam peperangan tersebut.
Dalam bukunya, Rothbard yang memang seorang anti-perang yang cukup radikal, juga bertanya kepada pembacanya, dalam sejarah manusia berapa banyak perang yang dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip tersebut? Hal tersebut nyaris tidak ada. Oleh karena itu, Rothbard mengambil kesimpulan bahwa kita semua harus menentang segala bentuk perang yang dideklarasikan oleh negara apapun. Hampir bisa dipastikan bahwa perang akan menimbulkan korban jiwa yang tidak bersalah dan besar kemungkinan korban sipil yang ditimbulkan jauh lebih besar dari jumlah korban tak bersalah akibat serangan pertama yang dilakukan oleh pihak lawan.
Terlepas dari apakah kita menyetujui pandangan Rothbard atau tidak, tidak bisa dibantah bahwa hal yang dikatakan oleh Rothbard merupakan suatu kenyataan. Tengoklah misalnya aksi yang dilancarkan Amerika Serikat (AS) pasca Serangan 11 September 17 tahun yang lalu. Pada hari tersebut, hampir 3.000 nyawa melayang, tepatnya 2.996 jiwa termasuk nyawa 19 teroris yang melakukan serangan.
Serangan 11 September dilakukan dengan mentargetkan 3 tempat, yakni Menara Kembar World Trade Center di New York City, Gedung Pentagon di Virginia, dan Gedung Putih di Washington D.C dengan membajak 4 pesawat sipil. Serangan terhadap Gedung Putih akhirnya gagal setelah para penumpang pesawat yang dibajak menyerbu kokpit dan menjatuhkan pesawat tersebut di Pennsylvania dan menewaskan semua awak dan penumpang.
Untuk merespon serangan keji tersebut, Presiden AS saat itu, George W. Bush, melancarkan perang global melawan terorisme dengan menyerang berbagai rezim yang dianggap bertanggung jawab atas Serangan 11 September dan memiliki keterkaitan dengan jaringan terorisme internasional, seperti rezim Taliban di Afghanistan dan rezim Saddam Hussein di Irak.
Sebagaimana berbagai perang lain yang sudah dilancarkan umat manusia sebelumnya, ribuan warga sipil pun menjadi korban atas invasi AS dan sekutunya. Untuk Perang Irak misalnya, berdasarkan data yang dihimpun oleh Iraq Body Count Project, ada lebih dari 116.000 warga sipil Irak yang tewas dalam kurun waktu 8 tahun sejak Amerika Serikat dan sekutunya melancarkan invasi (2003-2011). Jumlah tersebut lebih dari 30 kali lipat dari jumlah nyawa yang melayang dalam Serangan 11 September.
Tidak bisa dipungkri bahwa Serangan 11 September merupakan sesuatu yang sangat keji dan tidak berperikemanusiaan. Sudah selayaknya semua pihak yang bertanggung jawab atas serangan tersebut mempertanggungjawabkan perbuatannya. Namun, bukan berarti lantas hal tersebut dapat menjustifikasi tindakan pembunuhan ribuan warga sipil yang tidak bersalah, yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan serangan tersebut, dengan mengatasnamakan pembelaan atas Serangan 11 September.
Sebagai penutup, perang merupakan sesuatu yang hadir dalam peradaban manusia bahkan lebih awal dari peradaban itu sendiri. Oleh karena itu, menghapuskan perang secara total dari muka bumi hampir bisa dikatakan merupakan sesuatu yang utopis dan hampir mustahil. Namun, bukan berarti lantas kita dapat melakukan perang secara membabi buta dan tidak ada tata cara perang yang dapat diperbaiki.
Tidak melakukan agresi atau tindakan kekerasan terhadap seseorang yang tidak bersalah merupakan salah satu etika dasar yang universal dan hal tersebut berlaku untuk semua pihak, baik yang mengatasnamakan individu, kelompok, ataupun aparatur negara dan harus dijunjung tinggi oleh siapapun. Prinsip tersebut sangat penting karena hak setiap individu sangat berharga dan tidak dapat digantikan oleh apapun.

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.