Mural dan Kebebasan Berbicara

435

Beberapa waktu lalu, isu mengenai mural menjadi isu yang diperbincangkan oleh banyak warga Indonesia, khususnya di media sosial. Hal ini diawali dari peristiwa dihapusnya sebuah mural di Kota Tangerang yang menggambarkan Presiden Jokowi dengan ditambahkan tulisan “404 Not Found” di wajahnya.

Mural tersebut dihapus oleh aparat keamanan. Tidak tanggung-tanggung, bahkan orang yang membuat mural tersebut juga dikejar dan ditangkap oleh penegak hukum. Pihak kepolisian sendiri mengatakan bahwa penangkapan tersebut dikarenakan presiden adalah lambang negara, dan penggambaran mural Presiden Jokowi tulisan “404 Not Found” di wajah Beliau adalah bentuk penghinaan kepada presiden (Detik.com, 14/8/2021).

Tidak bisa dipungkiri, pandangan bahwa presiden sebagai tokoh yang tidak boleh diejek atau dihina karena posisinya sebagai kepala negara dan juga kepala pemerintahan merupakan pandangan yang cukup umum dan diyakini oleh tidak sedikit masyarakat Indonesia. Bagi sebagian kalangan, tindakan yang dianggap mengejek atau menghina presiden merupakan tindakan yang patut diproses hukum karena dilihat sama dengan menghina negara itu sendiri.

Tetapi di sisi lain, tidak sedikit pula pihak-pihak yang mengeluarkan kritik keras terhadap tindakan yang diambil oleh aparat penegak hukum tersebut, baik dari organisasi sipil hingga masyarakat umum. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta misalnya, mengeluarkan kritik keras, dan menyatakan bahwa kepolisian tidak bisa menjerat pembuat mural tersebut dengan justifikasi bahwa presiden adalah lambang negara (cnnindonesia, 18/8/2021).

Indonesia sendiri memiliki sejarah yang panjang terkait dengan kriminalisasi terhadap orang-orang yang dianggap menghina kepala negara atau melawan panglima tertinggi. Selama rezim Orde Baru berkuasa misalnya, tidak sedikit dari orang-orang yang dianggap melancarkan kritik atau mengejek Presiden Suharto yang ditangkap, dipenjarakan, hingga dihilangkan.

Kejatuhan rezim Suharto pada tahun 1998 sendiri telah sedikit banyak mengubah hal tersebut. Angin segar reformasi telah membuka pintu yang lebar dan kemudahan yang lebih luas bagi masyarakat utuk terlibat dan berpartisipasi dalam kegiatan politik elektorial, seperti mendirikan partai dan terlibat dalam pemilihan umum.

Tidak hanya sampai di situ, reformasi juga telah membuka ruang yang luas bagi masyarakat untuk mengeluarkan ekspresi dan mengutarakan pandangannya, termasuk terhadap pemimpin tertinggi. Pada tahun 2006 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden karena pasal-pasal tersebut menghalangi kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat (m.solopos.com, 23/7/2019).

Hal ini tentu merupakan sesuatu yang patut diapresiasi. Pasal penghinaan presiden dan wakil presiden merupakan produk hukum warisan kolonial yang sangat tidak cocok lagi diimplementasikan di ekosistem demokrasi modern. Presiden dan wakil presiden bukanlah merupakan titisan Yang Maha Kuasa atau seseorang yang memiliki superioritas dibandingkan masyarakat umum, melain tidak lebih dari pegawai rakyat yang dipilih serta digaji dari uang masyarakat.

Namun, keluarnya putusan MK ini bukan berarti lantas membuat masalah menjadi selesai. Putusan dari lembaga yudikatif saja tidak akan membawa hasil yang berarti bila putusan tersebut juga tidak diikuti oleh perangkat-perangkat negara dari lembaga-lembaga lain, seperti aparat penegak hukum misalnya.

Kembali ke persoalan mural di Tangerang yang mengkritik Presiden Jokowi tersebut, mural sebagai bentuk kritik bukanlah hal yang baru dan hanya terjadi di Indonesia saja. Di berbagai negara, mural digunakan sebagai salah satu medium untuk menyampaikan berbagai kritik sosial, khususnya kepada mereka yang memiliki wewenang dan kekuasaan (frieze.com, 17/7/2019).

Mural sebagai medium untuk menyampaikan kritik bukan juga tanpa pro dan kontra. Salah satu pandangan yang kontra terhadap cara bentuk penyampaian kritik tersebut adalah bentuk penyampaian tersebut dilakukan melalui cara merusak fasilitas umum atau properti milik orang lain.

Argumen tersebut tentu merupakan hal yang bisa diterima, dan perusakan fasilitas umum atau properti orang lain tentu tidak bisa dijustifikasi dengan alasan sebagai cara untuk mengekspresikan kritik. Tetapi, terkait dengan kasus mural di Tangerang, aparat penegak hukum justru menggunakan justifikasi yang sangat berbeda, karena pembenaran yang disampaikan oleh aparat penegak hukum adalah karena mural tersebut dianggap menghina presiden yang dianggap sebagai lambang negara.

Terlabih lagi, pandangan bahwa presiden merupakan lambang negara adalah hal yang sangat keliru. Dalam Pasal 36A UUD 1945 dan Pasal 1 ayat (3) jo Pasal 46 UU No. 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, Dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan, menyebutkan bahwa lambang negara Indonesia bukanlah presiden, atau juga wakil presiden, melainkan Garuda Pancasila (cnnindonesia, 18/8/2021).

Beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi sendiri telah memberi instruksi kepada penegak hukum untuk tidak bersikap terlalu reaktif terhadap kasus-kasus seperti mural “404: Not Found” (amp.beritasatu.com, 20/8/2021). Instruksi ini tentu merupakan hal yang positif, dan diharapkan instruksi tersebut bisa dijalankan sebaik-baiknya oleh aparat keamanan dari tingkat yang paling bawah hingga yang tertinggi.

Sebagai penutup, kebebasan berekspresi dan menyampaikan kritik kepada para pemimpin dan pejabat negara merupakan salah satu pilar demokrasi yang paling fundamental. Sudah menjadi kewajiban negara, bila kita ingin mempertahankan dan memperbaiki demokrasi kita, untuk menegakkan pilar tersebut sekuat-kuatnya.