Delapan belas tahun berlalu sejak kasus kematian Munir hingga saat ini, kepastian hukum terhadap kasus ini masih terkatung-katung. Hal ini tentu menjadi catatan kelam dalam sejarah, perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan hak asasi manusia (HAM). Selain itu, hal ini juga menjadi catatan terhadap perlindungan pembela HAM di Indonesia.
Seperti diketahui, Munir, aktivis hak asasi manusia (HAM) yang wafat pada 7 September 2004, adalah satu pendiri lembaga swadaya masyarakat Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan dan Imparsial. Munir menghembuskan nafas terakhir setelah diracun menggunakan senyawa arsenik dalam penerbangannya dari Jakarta ke Amsterdam, Belanda.
Setelah sekian waktu berlalu, hingga kini siapa yang menjadi aktor intelektual dibalik pembunuhan ini juga belum terungkap. Pengadilan hanya mampu menyeret aktor lapangan dan belum mengungkap siapa pelaku utama. Belum lagi terkait dengan polemik yang berkepanjangan terkait dengan polemik Tim Pencari Fakta (TPF) Munir yang seharusnya bisa mendorong penuntasan kasus Munir, namun nyatanya justru menjadi angin lalu. Hal ini tentu menjadi preseden buruk dalam proses penegakan hukum yang dijalankan mengingat kasus ini akan kadaluwarsa pada tahun ini.
Kasus Munir merupakan kejahatan terhadap HAM dan demokrasi. Hal ini sekaligus menjadi gambaran sekaligus jawaban bagaimana persoalan terhadap masih tumpulnya perlindungan terhadap demokrasi dan HAM di Indonesia, khususnya bagi para pembela HAM (human rights defender). Isu pembela HAM saat ini menjadi isu yang krusial mengingat posisinya seringkali berujung pada situasi yang rentan karena seringkali berhadapan dengan aktor kuat dari oligarki kekuasaan.
Pembela HAM atau yang dikenal sebagai human rights defender adalah istilah yang menunjuk pada orang-orang yang secara individu maupun bersama-sama pihak lain bertindak untuk memajukan perlindungan hak asasi manusia. Dalam Declaration on Human Rights Defender, pembela HAM diartikan sebagai setiap orang yang mempunyai hak, secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk memajukan dan memperjuangkan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia dan kebebasan dasar di tingkat nasional dan internasional (law.uii.ac.id, 14/5/2022).
Sepanjang tahun 2021, pembela HAM menjadi salah satu kelompok yang paling dalam bahaya. Amnesty International Indonesia mencatat ada setidaknya 95 kasus serangan terhadap pembela HAM di Indonesia dengan total 297 korban. Kasus tersebut menimpa pembela HAM dari berbagai sektor, mulai dari jurnalis, aktivis, masyarakat adat, hingga mahasiswa. Serangan-serangan ini datang dalam berbagai bentuk, mulai dari pelaporan ke polisi, ancaman dan intimidasi, kekerasan fisik, hingga pembunuhan (Amnesty.id, 13/12/2022).
Oleh karena itu, kasus Munir sebagai simbol perjuangan pembela HAM harus menjadi pelajaran penting bahwa negara harus menuntaskan persoalan-persoalan terkait dengan HAM di Indonesia. Selain itu, perjuangan para pembela HAM, juga harus menjadi perhatian bahwa negara wajib menegakkan hukum dan menjamin perlindungan, pemenuhan, dan penghormatan terhadap HAM, demokrasi, dan keadilan dalam menyelenggarakan fungsinya.
Referensi
https://www.amnesty.id/catatan-akhir-2021-tahun-bahaya-bagi-pembela-ham/ Diakses pada 9 September 2022, pukul 16.00 WIB.
https://law.uii.ac.id/blog/2022/04/14/tragedi-pembela-ham/#:~:text=Pembela%20HAM%20dikenal%20sebagai%20human,memajukan%20perlindungan%20hak%20asasi%20manusia. Diakses pada 10 September 2022, pukul 20.00 WIB.
.

Galang Taufani adalah Managing Editor di Suara Kebebasan. Galang adalah lulusan program Sarjana Hukum (2013) dan Magister Hukum (2016) di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Sebelum bergabung di Suara Kebebasan, Galang pernah bekerja sebagai wartawan, peneliti, dan dosen sejak tahun 2013. Galang menulis banyak karya berupa buku, jurnal, dan artikel ilmiah. Bidang yang digeluti olehnya, yaitu adalah bidang Hukum, Kebijakan Publik, Pajak, Filsafat, dan Sastra.