
Artikel Dasar Libertarianisme kali ini membahas kiprah dan gerakan kebebasan yang dilakukan oleh Mori Arinori. Galang Taufani, Editor Pelaksana Suara Kebebasan, mengangkat pembahasan mengenai hal ini dari artikel “Mori Arinori: The Japanese Tocqueville?” yang ditulis oleh Lawrence W. Reed.*
Pada awal tahun 1830-an, filsuf dan sejarawan politik Prancis Alexis de Tocqueville melakukan tur ke Amerika. Dia mengumpulkan pengamatannya dalam karya yang berjudul “Democracy in America”, yang secara luas diakui sebagai studi klasik tentang lingkungan budaya dan politik suatu negara yang saat itu baru berusia setengah abad. Tiga setengah dekade kemudian, diketahui juga bahwa ada penulis dari belahan dunia lain, Jepang, yang mempelajari Amerika, yang karyanya diidentikkan dengannya, yang bernama Mori Arinori
Buku Arinori, muncul pada tahun 1871, beresonansi dengan pemahaman yang mendalam tentang Amerika dari perspektif asing yang unik. Berjudul Life and Resources in America itu layak mendapat lebih banyak perhatian dan penghargaan daripada yang pernah diterimanya.
Siapa sebenarnya pria yang menarik ini? Dengan ukuran apa pun, hidupnya yang singkat itu luar biasa. Lahir pada bulan Agustus 1847 dalam keluarga samurai (bangsawan militer turun-temurun), ia mendaftar pada usia 18 tahun di University College London di Inggris Raya. Di sana, ia belajar di angkatan laut, fisika dan matematika, dan untuk pertama kalinya mengenal ide-ide liberal klasik. Restorasi Meiji membawanya kembali ke Jepang dengan keinginan untuk maju di negara asalnya banyak dari apa yang dia pelajari di Inggris.
Selama di London, ia mengunjungi sekolah tunanetra yang dikelola secara pribadi oleh sebuah organisasi Kristen. Hal ini sangat membuatnya terkesan, mendorongnya untuk memuji Kekristenan karena membantu menciptakan “tingkat pencerahan yang luar biasa” di negara-negara di mana itu berlaku. Dia juga menulis menyetujui pemisahan gereja dan negara, menunjukkan sekali bahwa Rusia akan sangat diuntungkan jika orang berhenti menyembah Tsar dan jika politik dan agama menjauhi satu sama lain. Dia kukuh membela pemerintah sekuler dan kebebasan penuh beragama pada saat yang sama.
Apresiasi Mori yang semakin meningkat terhadap nilai-nilai liberal dan Kristen yang mendorongnya membahas konfusianisme, yang telah diimpor ke Jepang dari Cina. Ia juga mengeksplorasi gagasan, murid dan penafsir Konfusius yang paling penting, Mencius, mendukung perdagangan bebas yang sama, pajak rendah, dan ekonomi laissez-faire yang disukai Mori 2.000 tahun kemudian, tetapi Mori mempermasalahkan elemen Konfusianisme yang lebih statis.
Mori meluangkan waktu dari pengalamannya di London untuk mengunjungi AS pada bulan Agustus 1867. Saat itu, ia baru berusia 20 tahun di mana empat tahun kemudian, dia akan dinobatkan sebagai Duta Besar pertama Jepang untuk Amerika.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa banyak pegamatan dari Arinori tentang Amerika terdengar positif sebagai Tocquevillian. Misalnya, ia menjelaskan bahwa rahasia pertumbuhan yang tak tertandingi dan kekuatan Amerika Serikat yang meningkat setiap hari adalah bahwa Pemerintah, dalam pekerjaan praktisnya, dibatasi pada batas-batas yang paling sempit; bahwa itu adalah agen, bukan tuan, dari orang-orang. Sebuah pemerintahan republik yang makmur, bahagia dan permanen hanya dapat dijamin ketika orang-orang yang hidup di bawahnya berbudi luhur dan berpendidikan.
Mori, yang lahir di negara Jepang yang pada waktu itu adalah negara yang feodal dan terisolasi, semakin bersemangat dan terhipnotis dengan prinsip “liberalisme klasik”, yaitu pemerintahan terbatas, supremasi hukum, kepemilikan pribadi, pasar bebas, dan individualisme.
Kekaguman lainnya adalah bahwa kewirausahaan swasta sebagai mesin kemajuan dan inovasi menjadi hal yang tidak dapat dipungkiri berdasarkan pengalamannya di Amerika.
Ia melihat bahwa pada waktu itu tidak ada sekolah umum di Amerika yang mengajarkan prinsip-prinsip dasar perdagangan, dan karenanya telah didirikan puluhan institusi oleh individu-individu swasta untuk mempelajari hal tersebut. Ia menjelaskan bahwa kursus pengajaran mereka sangat lengkap dan mencakup semua yang diperlukan untuk kehidupan komersial. Dan karena asosiasi ini berada di bawah satu kepala, peraturannya sedemikian rupa sehingga seorang siswa, setelah menyelesaikan studi di salah satu sekolah, dapat mengambilnya lagi dan melanjutkannya di sekolah lain dalam rantai tersebut tanpa biaya tambahan.
Gambaran perguruan tinggi komersial Amerika itu begitu mengesankan Mori sehingga sekembalinya dari AS, ia mendirikan yang pertama di Jepang. Hari ini dikenal sebagai Universitas Hitotsubashi, yang secara luas dianggap sebagai tempat terbaik untuk belajar ekonomi, serta salah satu universitas terbaik di dunia. Ia juga mendirikan Meiroku (Meiji Society), yaitu masyarakat intelektual pertama di Jepang yang merupakan think thank informal pertama di Jepang yang menerbitkan jurnal opini.
Meiroku Society adalah salah satu lembaga paling signifikan dalam Pencerahan Jepang., Perhimpunan ini berusaha untuk mempromosikan reformasi liberal moderat dalam konteks budaya Jepang, ajaran moral dan disiplin diri, toleransi beragama, penolakan takhayul dan memeluk akal, milik pribadi, dan keterbukaan untuk koneksi dengan seluruh dunia.
Dengan berakhirnya Keshogunan, gagasan yang dulunya tak terpikirkan ini bisa berakar di Jepang. Mori memperjuangkan arah baru ini, meskipun bukan tanpa beban sesekali yang tampak kontradiktif. Misalnya, karena dia pikir orang Jepang jauh di belakang Barat dalam apa yang mereka ketahui dan pikirkan, dia mendukung peran yang lebih aktif bagi pemerintah dalam pendidikan. Dia percaya bahwa prasyarat moral dan intelektual tertentu harus berakar sebelum reformasi politik yang luas dapat diberlakukan dan dipertahankan, meskipun pertanyaan tentang siapa yang paling mampu mencapai itu (lembaga pemerintah atau swasta) lebih dari sedikit bisa diperdebatkan.
Dalam konteks ini, adalah masyarakat yang ingin diubah Mori dari kegelapan moral, sosial, ekonomi, dan politik. Perempuan di Jepang, misalnya, secara tradisional berada di bawah laki-laki dalam segala hal; reformasi dilakukan untuk bergerak menuju hak dan kondisi yang lebih setara untuk kedua jenis kelamin, meskipun hal ini tidak bisa dilakukan dalam semalam. Di arena lain, kebijakan luar negeri, Jepang dalam masa hidup Mori bertransisi dari masyarakat tertutup ke masyarakat terbuka. Melahirkan ekonomi baru dari koneksi ekonomi global. Hal ini tidak mudah dilakukan karena akan menjadi protes bergelombang yang membutuhkan konsensus populer bahwa bisnis yang dulu terisolasi dan dilindungi sekarang harus bersaing atau menghilang.
Mori adalah seorang reformis yang radikal. Dalam banyak hal, ia berpendapat bahwa pun berpendapat liberal, reformasi di Jepang tetap tetap harus menghormati sejarah dan budaya Jepang. Reformasi politik, menurutnya, harus dicapai sesering mungkin dengan persetujuan luas daripada dipaksakan secara tiba-tiba dari atas ke bawah. Hal ini sesuai dengan pemikiran Herbert Spencer, di mana dia percaya bahwa perubahan dalam hukum dan pemerintahan akan gagal kecuali transformasi sosial dan budaya yang diperlukan untuk mendukung mereka dibudidayakan terlebih dahulu. Akibatnya, Mori kerap diserang dari dua arah sekaligus—dari kaum liberal Jepang yang tidak sabar dengan sikap moderatnya dan dari elemen anti-reformasi yang memandangnya terlalu radikal.
Setelah tugas duta besar terakhirnya (untuk Inggris, 1879-84), Mori kembali ke Jepang dan kemudian menjadi Menteri Pendidikan di Kabinet Meiji. Di sana, ia mengembangkan metode pengajaran modern, pendidikan bisnis, dan toleransi beragama. Mori dengan tegas menolak ketika menteri pemerintah lainnya mencoba untuk mendorong ide-ide keagamaan seperti Shintoisme di sekolah-sekolah. Dia secara konsisten percaya keyakinan agama adalah masalah individu dan tidak boleh dipromosikan atau dihalangi oleh pemerintah.
Pada 11 Februari 1889, Kaisar Meiji mengumumkan pengenalan Konstitusi Meiji. Peresmian Jepang modern, itu adalah acara publik yang sangat penting bagi bangsa. Sayangnya, Mori tidak hidup untuk melihatnya. Sebelumnya pada hari itu, ketika Mori bersiap untuk berangkat ke upacara di Istana Kekaisaran, seorang pemuda bernama Nishino Buntaro diberikan keinginannya untuk melihat Mori untuk mengungkapkan pandangannya tentang masalah hari itu. Memanfaatkan momen itu, Nishino menarik pisau dari lengan kimononya dan menikam menteri pendidikan itu dua kali di perut. Mori meninggal dalam beberapa jam. Motif si pembunuh adalah balas dendam atas apa yang dia anggap sebagai penolakan Mori terhadap Shintoisme tradisional.
Ironi kematian Mori yang terlalu dini pada usia 41 tahun tidak hilang dari Jepang. Seorang pria yang telah melakukan begitu banyak untuk membawa negaranya keluar dari bayang-bayang feodalisme menuju kebebasan modern telah menjadi korban bayang-bayang itu.
Sebagai penutup, dari artikel tersebut dapat disimpulkan, bahwa dengan menyelami pemikiran Mori memberikan sebuah gambaran bagaimana sejatinya melakukan advokasi untuk reformasi memerlukan strategi dan tantangan yang tidak mudah. Apa yang dilakukan Mori di Jepang barangkali tidak jauh berbeda dengan yang ada di Indonesia, walaupun dengan konteks yang tidak sama persis. Namun, gerakan moderat yang digawangi oleh Mori memberikan inspirasi yang penting, bahwa hal itu mampu mendorong dan menghadirkan reformasi kebijakan yang progresif dan kontekstual, yang kondusif dalam mempromosikan kebebasan di masyarakat.
*Artikel ini diambil dari artikel yang ditulis Lawrence W Reed yang berjudul “Mori Arinori: The Japanese Tocqueville”. Link artikel: https://fee.org/articles/mori-arinori-the-japanese-tocqueville-part-3/r Diakses pada 5 April 2022, pukul 20.00 WIB.

Galang Taufani adalah Managing Editor di Suara Kebebasan. Galang adalah lulusan program Sarjana Hukum (2013) dan Magister Hukum (2016) di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Sebelum bergabung di Suara Kebebasan, Galang pernah bekerja sebagai wartawan, peneliti, dan dosen sejak tahun 2013. Galang menulis banyak karya berupa buku, jurnal, dan artikel ilmiah. Bidang yang digeluti olehnya, yaitu adalah bidang Hukum, Kebijakan Publik, Pajak, Filsafat, dan Sastra.