
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika untuk diproses ke tahap selanjutnya. Tentu, hal ini menjadi momentum yang positif seiring dengan banyaknya kritikan terkait undang-undang tersebut selama ini.
Seperti diketahui, bahwa UU Nomor 35 Tahun 2009 memiliki banyak kritik dalam pelaksanaannya saat ini. Kini, setalah hampir 13 tahun berjalan, undang-undang tersebut memberikan dorongan bagaimana perubahan yang harus dilakukan terkait pasal-pasal yang ada dalam uu tersebut. Upaya untuk melakukan perubahan paradigma hingga model penegakan hukum yang integral dan berkualitas menjadi hal yang perlu dilakukan dalam perubahan undang-undang ini.
Beberapa poin yang akan direvisi dalam perubahan undang-undang ini, yaitu: Pertama, zat psikoaktif baru (New Psychoactive Substance/NPS). Kedua, penyempurnaan terhadap ketentuan mengenai rehabilitasi. Ketiga, tim asesmen terpadu. Keempat, Penyidik Badan Narkotika Nasional serta kewenangannya. Kelima, syarat dan tata cara pengambilan dan pengujian sampel di laboratorium tertentu, serta penetapan status barang sitaan. Keenam, penyempurnaan ketentuan pidana (kemenumham.go.id).
Beberapa poin di atas menunjukkan bahwa setidaknya ada persoalan yang cukup serius dengan penanganan dan penegakan hukum terkait narkotika. Persoalan ini masih memberikan ekses negatif dalam pelaksanaannya yang belum memberikan konsepsi jelas tentang pecandu narkotika, penyalahguna narkotika, dan korban penyalahgunaan narkotika dengan bandar ataupun pengedar narkotika. Hal ini menimbulkan ketidakadilan dalam penanganannnya (kemenkumham.go.id).
Seperti diketahui, bahwa penegakan yang seharunsnya menindak penyalahgunaa narkotika, dengan kewajiban bagi seluruh lembaga pengadilan di Indonesia, agar dapat dihukum rehabilitasi bagi pecandu dan penjara bagi pengedarnya masih sulit. Problem yang dihadapi selama ini terkait dengan penegakan hukum sangat mempengaruhi, karena penegak hukum tidak melaksanakan secara murni Pasal 127 UU Narkotika. Penegak hukum lebih memilih menggunakan beberapa pasal diantaranya Pasal 111 dan 112, karena adanya unsur memiliki dan menguasai Narkotika (Tempo.co, 24/5/2022).
Oleh karena itu, sejatinya diperlukan sebuah konsep penanganan terhadap pecandu narkotika, penyalaguna narkotika, dan korban penyalahgunaan narkotika agar difokuskan pada upaya rehabilitasi.Transformasi ke arah paradigma harus didorong dalam perubahan undang-undang tersebut.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa pengutamaan pendekatan rehabilitasi dibandingkan dengan pidana penjara merupakan bentuk restorative justice dalam sistem hukum Indonesia. Pendekatan ini melihat upaya penyelesaian perkara pidana yang lebih menekankan pemulihan kembali keadaan korban ke keadaan semula. Selain itu, kebijakan untuk lebih mengedepankan upaya restorative justice seperti ini sejalan dengan upaya untuk mengurangi over crowded lembaga pemasyarakatan.
Meskipun demikian, nampaknya masih banyak pekerjaan yang perlu didorong terkait dengan problem narkotika di Indonesia yang belum menjadi perhatian dalam perubahan undang-undang ini. Dalam hal ini, undang-undang Narkotika masih akan terlihat melanggengkan ketentuan hukum yang melanggengkan aspek-aspek yang bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM, sebut saja hukuman mati.
Penerapan hukuman mati sejatinya memang merupakan isu yang melahirkan pro dan kontra. Hal ini dapat dilihat di mana aspek hukuman mati memiliki aspek sejarah dan nilai yang melegitimasi pandangan tersebut di Indonesia. Di sisi lain, hukuman mati juga mendapatkan banyak kritik karena hak hidup adalah karunia yang melekat pada individu yang tidak bergantung pada hukum, bersifat universal, fundamental, dan tidak dapat dicabut. Silang pendapat itu juga dapat dilihat dari fakta bahwa beberapa negara telah menghapus penerapan hukuman mati. Sebaliknya, beberapa negara juga masih menerapkannya, termasuk Indonesia.
Namun, isu terkait dengan pertanyaan apakah fakta hukuman mati dapat berdampak langsung terhadap penyelesaian persoalan narkoba di Indonesia tentu menjadi hal yang krusial untuk didiskusikan. Hal ini penting agar sistem hukum memiliki arah yang jelas dan penghormatan terhadap HAM, termasuk hak hidup.
Jika asumsi yang berkembang pada saat ini adalah untuk membuat efek jera bagi para tersangka dan pelajaran untuk masyarakat umum. Pasalnya, berbagai penelitian ilmiah yang ada secara konsisten cukup membuktikan klaim hukuman mati dapat memberikan efek jera adalah tidak benar (Suarkebebasan.id, 20/4/2022).
Sebagai penutup, revisi atau perubahan UU Narkotika adalah keniscayaan. Transformasi dan pendekatan yang akan dibahas nantinya memberikan harapan akan paradigma dan pendekatan baru dalam UU Narkotika di Indonesia. Namun, tantangan untuk memenuhinya sistem hukum yang lebih modern dan aktual menjadi hal yang harus terus diperjuangkan dalam isu besar penegakan hukum terkait narkotika di Indonesia.
Referensi
https://www.kemenkumham.go.id/berita/revisi-ruu-narkotika-dpr-bahas-enam-poin-usulan-pemerintah Diakses pada 15 Juni 2022, pukul 17.00 WIB.
https://nasional.tempo.co/read/1594498/revisi-uu-narkotika-dpr-dorong-penguatan-rehabilitasi/full&view=ok Diakses pada 15 Juni 2022, pukul 14.00 WIB.
https://suarakebebasan.id/cerita-webinar-forum-kebebasan-tentang-polemik-hukuman-mati-di-indonesia/ Diakses pada 15 Juni 2022, pukul 15.15 WIB.

Galang Taufani adalah Managing Editor di Suara Kebebasan. Galang adalah lulusan program Sarjana Hukum (2013) dan Magister Hukum (2016) di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Sebelum bergabung di Suara Kebebasan, Galang pernah bekerja sebagai wartawan, peneliti, dan dosen sejak tahun 2013. Galang menulis banyak karya berupa buku, jurnal, dan artikel ilmiah. Bidang yang digeluti olehnya, yaitu adalah bidang Hukum, Kebijakan Publik, Pajak, Filsafat, dan Sastra.