Tahun 2019 sudah lewat, pemilihan umum sudah usai, tahun 2020 sudah mulai masuk pertengahan, namun perpolitikan di Indonesia masih tetap panas. Bak tak mengenal kata usai, banyak rakyat dan tokoh nasional yang mempertanyakan kembali integritas kepemimpinan di Indonesia dan juga menggugat presiden terpilih yang dianggap tak mampu memberi rakyat kesejahteraan.
Wabah pandemi saat ini memang membuat pikiran semerawut, bukan hanya karena banyak orang kehilangan pekerjaan dan juga mengurangnya pendapatan, tetapi karena virus yang menyebar keseantero dunia ini juga membuat kita tidak bisa beraktivitas seperti biasa, tak bisa lagi nongkrong di kafe, berlibur ke tempat wisata, serta membuat kita tak bebas kemana-mana.
Ketidakpastian ekonomi, rasa frustasi akibat wabah yang berkepanjangan, ditambah grafik peningkatan pasien yang terinfeksi virus yang terus naik, membuat pikiran tambah semrawut. Di saat kepanikan melanda semua orang, fenomena klasik dalam pencaturan politik muncul kembali, yaitu:“Makzulkan Presiden Terpilih”.
Ketidakpuasan terhadap kebijakan dan peristiwa yang menimpa bangsa kita akhir-akhir ini (baik itu musibah banjir, wabah penyakit, krisis ekonomi), semua dihubungkan dengan kebijakan pemerintah. Banyak orang yang menghujat presiden bukan karena alasan-alasan ekonomi atau politik, tetapi alasan mistis seperti, bencana muncul karena murka Tuhan atas terpilihnya Jokowi, atau aura Jokowi tidak cocok memimpin bangsa ini dan lain sebagainya.
Kekesalan ini kemudian memuncak dengan diselenggarakannya seminar online yang bertajuk ‘Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan’, yang direncanakan oleh mahasiswa FH UGM beberapa waktu lalu yang sempat heboh di jagad media sosial.
Walaupun secara resmi panitia seminar mengumumkan forum tersebut batal diselenggarakan, namun ini sudah menjadi sinyal, bahwa krisis multidimensi yang tengah menimpa bangsa ini, membuat masyarakat melemparkan beban kesalahan kepada para pemimpin negeri, khususnya presiden.
Saya pribadi bukan pendukung Jokowi atau oposisi, terlepas dari dua kubu tersebut. Yang jadi titik pangkal kritik saya dalam tulisan kali ini adalah, pada persepsi masyarakat mengenai fungsi dan peran presiden atau kepala negara terhadap diri mereka. Yang harus kita kritisi adalah, apakah seluruh kehidupan kita (baik kebahagiaan atau kemakmuran) terletak di tangan seorang kepala negara? Apakah dengan mengganti kepala negara semua masalah otomatis beres?
Jika jawabannya tidak, maka dorongan untuk memakzulkan presiden itu sendiri kurang tepat atau berfaedah, sebab yang mereka lakukan adalah menurunkan seorang individu dan mengganti individu lain. Jika mereka selalu berpikir bahwa presiden yang tepat akan merubah (secara otomatis) kehidupan dan nasib mereka, maka sudah seharusnya mereka bersiap-siap kecewa.
Pun yang harus dipikirkan juga, pemakzulan presiden hanya menciptakan instabilitas politik di tanah air yang berujung kepada krisis yang tak berkesudahan. Jika para tokoh dan masyarakat hanya memiliki solusi sederhana, yaitu melengserkan presiden dan mengganti presiden baru, hingga hari kiamat dan Dajjal berkuasa, mimpi mereka tentang sosok ideal presiden yang mampu membahagiakan seluruh rakyat, tidak akan pernah terwujud.
Mitologi Kepemimpinan di Indonesia
Kalau kita membuka kitab-kitab klasik mengenai sejarah kerajaan di Nusantara, misalnya kitab Kakawin Negarakertagama karangan Mpu Prapanca, di setiap seorang raja mangkat dan diganti oleh penerusnya (raja baru), maka si raja yang diangkat tersebut akan diberi gelar setinggi langit, dipuja-puja dan disakralkan sebagaititisan sang dewa.
Misalnya Raja Hayam Wuruk yang bergelar Paduka Bhatara Sri Rajasanagara Dyah Sri Hayam Wuruk, dalam kitab Negarakertagama dianggap sebagai raja Gunung Semeru, alias titisan Maha Dewa Siwa. Sedangkan Ibunya, Tribhuwana Wijayatunggadewi, yang diberi gelar Sri Tribhuwanottunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani, dianggap sebagai salah satu titisan (awatara) Dewa Sri Wisnu.
Gelar-gelar dan juga atribut sakral yang diberikan pada seorang raja berfungsi untuk mengikat kepercayaan rakyatnya bahwa sang raja yang diayominya adalah seorang dewa yang akan memberikan kemakmuran dan kebahagiaan untuk hidup mereka, sehingga setelah sang raja wafat, rakyat akan mengingat kebesaran sang raja dan memuja kejayaan dan kemakmuran yang diberikan pada mereka atau nenek moyang mereka.
Lama-lama munculah mitos kepemimpinan dan juga mitos sang pemimpin. Kebesaran raja-raja Majapahit dan juga megahnya gelar-gelar para raja membuat generasi setelahnya begitu mendambakan dan memitoskan prihal raja di masa lampau. Rakyat mencari-cari pemimpin yang wibawa dan karakternya sama seperti Maharaja Kertarajasa dan Maharaja Hayam Wuruk.
Ketika Majapahit runtuh dan raja-raja baru bermunculan, orang-orang masih membaca kidung dan hikayat Majapahit. Mereka mengenang kejayaan nenek moyang mereka dan menghujat para raja yang tak mampu memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan sebagaimana yang diberikan oleh raja-raja terdahulu. Pola pikir seperti ini berlangsung hingga sekarang.
Ya, masyarakat kita terkurung oleh pola pikir mitologis dan utopia. Mereka menginginkan seorang pemimpin seperti Hayam Wuruk yang menyatukan Nusantara atau Kertarajasa yang berhasil mengalahkan Tentara Mongol-China. Rakyat kita masih terbuai dalam sosok pemimpin imajiner yang membuat mereka “gagal move on” dan tak mau melihat masa depan secara realistik.
Selain “mensakralkan” raja-raja Nusantara, mereka juga mulai memitoskan sosok Sukarno dan Suharto sebagai dua pemimpin yang paling ideal dan sempurna. Sukarno dipuja puja sebagai pemimpin yang berani dan Suharto dipuja-puja sebagai pemimpin visioner yang mampu membangun bangsa.
Dalam mencari dan memilih kepala negara, rakyat kita tidak berpatokan pada nalar dan mengkritisi program-program kerja Capres-Cawapres secara rasional, melainkan mereka memilih pemimpin yang auranya “mirip” dengan kedua tokoh tersebut. Misalnya, berwibawa dan gagah seperti Sukarno, serta visioner seperti Suharto. Dapat ditebak, setiap pemilu berlangsung dan pemimpin berganti, banyak orang akhirnya selalu kecewa dan terus kecewa karena tidak menemukan sosok pemimpin ideal mereka seperti dalam imajinasinya.
Setelah mengalami kekecewaan karena gagal menemukan sosok “ideal” , akhirnya muncul di tengah-tengah masyarakat sebuah mitos mengenai “Ratu Adil”, yaitu sosok pemimpin sejati yang mirip Sukarno- Suharto, serta dipercaya akan membawa Indonesia meraih kejayaan seperti di zaman lampau.
****
Alkisah di sebuah desa pelosok daerah bernama Desa Sukaslamet,brakyat desa mendambakan sosok presiden datang menjenguk mereka dan menjadi tamu agung di desa tersebut. Mereka berharap dengan mengambil perhatian sang presiden, maka otomatis membuat daerah mereka menjadi lebih sejahtera dan makmur.
Akhirnya diutuslah Mantri Garam (yang mengurus stok garem di desanya) pergi ke kota untuk mengundang presiden ke wilayah mereka. Namun, sang mantri gagal dan akhirnya bertemu seorang tukang obat di pasar. Setelah saling curhat, akhirnya si tukang obat yang pandai berpidato tersebut kasihan sehingga mengantar si Mantri Garam tersebut pulang ke Desa Sukaslamet.
Lucunya, warga desa malah menganggap bahwa si Tukang Obat itulah “ sang tamu agung”, sehingga semua warga desa bersorak-sorak memuja-muja, para pamong desa menyembah, dan hari itudiadakan perjamuan pesta besar-besaran. Berbekal kemampuan berpidato, si Tukang Obat merangkai kata-kata manis dan memutar-mutar lidah menyusun kalimat yang indah.
Beramai-ramai rakyat meminta modal uang untuk usaha mereka, meminta penambahan jumlah sapi untuk peternakan mereka, meminta bahan pakaian, meminta modal untuk membangun desa, dan meminta banyak lagi yang diluar akal sehat. Si Tukang Obat hanya cengengesan sambil mengobral janji.
Sampai akhirnya si Mantri Garam berkata jujur bahwa orang yang menjadi tamu agung trersebut adalah tukang obat, bukan presiden. Mendengar itu warga dan pamong desa merasa marah bercampur sesal, karena merasa diri mereka begitu bodoh sehingga mengira Tukang Obat sebagai presiden.
Cerita di atas adalah sebuah alur film yang berjudul “Tamu Agung”, besutan sutradara Usmar Ismail pada tahun 1955. Film yang dibintangi oleh Cassin Abbas tersebut merupakan sindiran kepada rakyat pada masa dahulu, yang terlalu terobsesi pada pribadi dan wibawa presiden Sukarno. Mereka menganggap bahwa presiden Sukarno adalah dewa yang ucapannya bagaikan mantera.
Film tersebut ingin mengingatkan pada kita semua, bahwa berharap terlalu jauh pada sosok pemimpin atau presiden, tidak akan merubah keadaan mereka, kepala negara juga manusia biasa yang memiliki keterbatasan. Di akhir kisah, warga desa merasa sadar bahwa yang harusnya dilakukan untuk merubah nasib mereka dan memakmurkan desa adalah bekerja lebih giat, bukan berpangku tangan dan menaruh harapan palsu pada “sang tamu agung”.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com