Mitos Kaum Sosialis tentang Pasar Bebas dan Persaingan

    851

    Jika kita membuka literatur ekonomi sosialis, sistem kapitalisme yang berlandaskan pada persaingan, penawaran dan permintaan, serta pasar yang bebas, dianggap akan melahirkan kontradiksi-kontradiksi yang berakhir dengan sebuah krisis. Setidaknya, begitulah pandangan kaum sosialis dan Marxis, seperti yang termuat dalam risalah Henryk Grossman, Ernst Mandel, Karl Polanyi hingga tokoh kiri Indonesia, seperti Roestam Effendi dan Sakirman.

    Pandangan ini diyakini hingga kini. Bahkan, pada masa dahulu, Indonesia pernah meyakini bahwa kapitalisme akan berujung pada kebangkrutan. Sehingga, pada era demokrasi terpimpin (Orde Lama), dibuatlah konsep Dekon atau Deklarasi Ekonomi, yang intinya adalah sentralisasi ekonomi. Sentralisasi tersebut diantaranya adalah melalui pemusatan produksi kebutuhan rakyat pada pemerintah dan menasionalisasi bank-bank asing.

    Pemerintah pada masa Orde Lama meyakini, bahwa krisis-krisis dan kesulitan ekonomi karena praktik ekonomi Indonesia masih setengah feodal dan setengah kolonial (Aidit, 1963). Sehingga, pemerintah berusaha untuk mengikis feodalisme itu dengan melakukan pembersihan terhadap tuan tanah dan mengikis sisa-sisa kolonialisme itu dengan melakukan nasionalisasi perusahaan asing.

    Dengan mengikis sisa-sisa feodalisme dan kapitalisme, serta penguasaan alat produksi oleh pemerintah, rezim Orde Lama berharap agar kebutuhan pokok masyarakat dapat terpenuhi. Karena, perusahaan negara dapat membuat produk semata-mata untuk memenuhi kebutuhan rakyat dan bukan para kapitalis. Pola ini nampaknya ditiru Indonesia  dengan mengambil contoh dari China dan Uni Soviet.

    Negara sosialis yang dicontoh oleh Indonesia pada prinsipnya adalah meniadakan persaingan, menihilkan sistem penawaran dan permintaan, dan mengikis habis ekonomi kapitalisme. Sistem ekonomi sosialis yang tersentral, diyakini sebagai sistem yang tidak mengenal krisis.

    Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sakirman, seorang ekonom Marxis Indonesia, “maka pasar dunia baru (Blok Sosialis) tidak mengenal menenal krisis dan tidak kesulitan dalam menjual produksinya, sebab bertambahnya produksi tidak dasarkan pada nafsu untuk mencari untung sebanyak-banyaknya, tapi ditujukan untuk memenuhi secara maksimal kebutuhan materil dan kulturil seluruh rakyat(Sakirman, 1953).

    Negara-negara sosialis seperti Uni Soviet, memproduksi barang menurut Gosplan, yaitu lembaga otoritatif yang menentukan kebutuhan dan mengatur barang-barang yang diproduksi. Gosplan meneliti apa yang menurut mereka penting bagi masyarakat dan memprioritaskan suatu barang produksi, yang semuanya dikontrol penuh oleh partai komunis.

    Pada akhir dekade 50-an, Prof. Wartheim, ahli politik berdarah Belanda, mengunjungi Uni Soviet. Beliau menulis, “Toko-toko sudah jauh lebih penuh daripada beberapa tahun yang lalu, harga-harga dari tahun ke tahun diturunkan dan orang-orang berjejal-jejal (antri) untuk memenuhi nafsu belinya.

    Ketika memperingati hari Revolusi Oktober yang ke-37, Ketua Gosplan, Maxim Saburov, menerangkan bahwa produktivitas kerja Uni Soviet naik 7% (Njoto, 1962).

    Dari sini kita dapat menggambarkan bahwa Uni Soviet adalah sebuah contoh keberhasilan sosialisme dan komunisme. Mereka telah berhasil meningkatkan produktivitas, sehingga pemerintah menurunkan harga barang lebih dari 3 kali setahun. Jumlah barang konsumsi yang diproduksi pabrik-pabrik milik negara sangat cukup untuk memenuhi “nafsu belanja” warga Soviet.

    Yang tergambar dalam pikiran kita, bahwa perkembangan ekonomi Soviet yang luar biasa. Menandakan bahwa negara Soviet telah melewati fase “lepas landas” dan memasuki fase negara dengan “konsumsi tinggi” (meminjam istilah Rostow).

     

    Ilusi Sosialisme

    Mungkin surplus barang dan juga kebutuhan pokok memang terjadi dahulu pada dekade 1950 sampai 1960-an. Tapi faktanya, pada tahun 1970 sampai 1990, orang-orang Soviet mengantri bukan karena daya beli mereka tinggi, tetapi karena kelangkaan barang konsumsi. Uni Soviet sebagai negara sosialis terbesar bahkan pernah mengalami krisis pensil, krisis tisu toilet, krisis permen, krisis sepatu bahkan krisis-krisis yang tidak akan kita jumpai di negara demokratis. Apa sebabnya? tentu saja karena sentralisasi ekonomi.

    Seluruh komoditas dalam negeri yang tersebar di Uni Soviet diproduksi oleh negara. Perusahaan dan toko (yang juga milik negara) bekerja untuk “memenuhi kebutuhan” bukan untuk mencari keuntungan. Memang terdengar moralis, tapi efeknya setiap komoditas yang boleh dimiliki rakyat harus dibatasi, dan dijatah.

    Soviet menerapkan sistem kupon penjatahan untuk alkohol, roti, dan sosis, sehingga, masing-masing orang mendapat roti-sosis tidak bisa “memuaskan kebutuhannya.” Mereka hanya boleh mendapat jatah sesuai porsinya yang ditetapkan negara dan ketersediaan barang. Bahkan, jika Anda ingin membeli mobil, maka Anda harus mengambil kupon jatah dulu dan menunggu beberapa tahun untuk bisa mendapatkan mobil tersebut (Russia Beyond, 16/07/2019).

    *****

    Negara sosialis berusaha memproduksi sebanyak-banyaknya berbagai macam barang yang diinginkan rakyat bukan untuk mengambil nilai tambah, tapi semata-mata untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Prinsip ini memang terdengar moralis, tapi toh hal ini justru menciptakan berbagai krisis.

    Menurut ekonom Austria, Ludwig von Mises, di mana negara bersikap anti pada pasar, maka di situ akan terjadi krisis. Keinginan dan kebutuhan individu tidak bisa diramal dan didikte negara. Maka banyak barang-barang lain yang dianggap penting oleh Politburo justru berdebu di gudang, sedangkan apa yang dianggap tak penting justru laku dibeli warga.

    Misalnya, pemerintah menetapkan produksi daging kalkun ditingkatkan untuk menambah asupan kalori dan gizi rakyat. Otomatis produksi lain seperti sepatu atau sayuran tidak diperhatikan karena bukan prioritas utama. Akhirnya, ketika orang-orang butuh sepatu atau sayuran, mereka harus mengambil kupon jatah untuk membelinya dibanding dengan membeli daging kalkun.

    Karena permintaan begitu tinggi namun produksi tak mengejar, mau tak mau Uni Soviet dan negara-negara sosialis lainnya harus mengimpor barang yang tidak mampu mereka produksi, seperti celana jeans, piringan hitam, dan komputer.

    Produksi negara terbesar adalah ekspor minyak, sedangkan pendapatan dari sektor pangan dan barang konsumsi dapat dipastikan defisit karena tidak bertumpu pada mekanisme pasar. Pemerintah menjadi kesusahan karena harus mensubsidi kebutuhan pokok rakyat. Bahkan, Uni Soviet kekurangan modal untuk menutupi kerugian perusahaan negara sehingga mereka meminjam uang pada negara lain.

     

    Ekonomi Pasar Menjadi Pemenang

    Ketika Gorbachev naik menjadi Sekertaris Jendral Partai Komunis Uni Soviet, ia melakukan beberapa terobosan, salah satunya adalah mengkapitalisasi ekonomi tertutup Soviet. Gorbachev menutup perusahaan-perusahaan yang dianggap membebani negara dan memprivatisasi beberapa perusahaan, serta mengizinkan setiap warga untuk memiliki usaha pribadi.

    Walaupun reformasi Gorbachev ini tidak begitu berarti karena keruntuhan Soviet pada tahun 1991, namun hal ini membuat negara-negara sosialis lainnya berpikir ulang untuk mengubah orientasi ekonomi mereka dan menjadi lebih terbuka kepada sistem pasar. Ambruknya negara superpower tersebut, membuat Francis Fukuyama menyebut hal ini sebagai akhir sejarah, atau the end of history. Sebuah akhir dari sejarah, dimana demokrasi dan pasar bebas memenangkan pertarungan melawan komunisme.

    Ambruknya Uni Soviet dan ditinggalkannya pola ekonomi komando oleh banyak negara-negara eks-sosialis membuktikan bahwa persaingan dan pasar bebas sangat dibutuhkan dalam menciptakan kesejahteraan.

    Apa yang dilakukan oleh negara-negara sosialis, seperti penguasaan alat produksi oleh negara, sistem penjatahan barang konsumsi, dan juga memprioritaskan produk apa yang dibuat, justru membuat rakyat kesulitan mendapatkan barang yang dibutuhkan. Ketika pemerintah memprioritaskan untuk memproduksi sayuran, otomatis produksi lain, televisi misalnya, tidak mendapat perhatian, sehingga televisi langka di pasaran.

    Seseorang hanya membeli keju dan sosis mendapat kupon penjatahan oleh negara yang tidak dapat memenuhi keinginannya. Akibatnya, pasar gelap bermunculan agar masyarakat bisa mendapatkan barang yang diinginkan.

    Jika Uni Soviet menjalankan program reformasi dan kapitalisasi ekonomi sejak dekade 1970-an, mungkin Uni Soviet bisa terselamatkan keberadaannya seperti China saat ini. Kalau saja Uni Soviet mempercayai mekanisme pasar dan membuka persaingan yang sehat, di mana produksi barang dilihat dari segi keinginan dan permintaan konsumen, niscaya kelangkaan dapat dicegah.

    Munculnya pasar bebas, berarti memancing setiap orang untuk berwirausaha dan hal ini melahirkan kompetisi yang sehat. Dengan adanya kompetisi atau persaingan, barang-barang tidak hanya akan tersedia di pasaran, tetapi kualitasnya juga terjamin.  Hal ini dikarenakan masing-masing perusahaan akan mengejar apa yang diinginkan konsumen.

     

    Referensi

    Buku & Artikel:

    Aidit. 1963. Dekon dalam Ujian. Yayasan Pembaruan.

    Njoto, 1962. Marxisme Ilmu dan Amalnja. Harian Rakjat. Hlm. 35.

    Sakirman. 1953. Jalan Keluar dari Krisis Ekonomi. Pembaruan.

    Internet:

    https://id.rbth.com/sejarah/81685-ekonomi-soviet-gyx Diakses pada 30 Maret 2020, pukul 03.59 WIB.