Mispersepsi Aturan Mengenai Ujaran Kebencian

189
Sumber gambar: https://fee.org/resources/hate-speech-laws-the-best-arguments-for-them-and-against-them/

Artikel Dasar Libertarianisme kali ini membahas mengenai ujaran kebencian (hate speech). Galang Taufani, Editor Pelaksana Suara Kebebasan, mengangkat pembahasan mengenai hal ini dari artikel “Hate Speech Laws: The Best Arguments for Them—and Against Them”, yang ditulis oleh Julian Adorney.*

Apakah sejatinya ujaran kebencian (hatespeech), dan mengapa hal ini begitu kontroversial? Banyak perdebatan tentang apakah seharusnya ujaran kebencian perlu diatur atau tidak dan bagaimana melihat ujaran kebencian dalam kehidupan. Ujaran kebencian adalah masalah, namun hukum ujaran kebencian bukanlah solusi yang tepat.

Ujaran kebencian sulit untuk didefinisikan tetapi definisi yang tepat barangkali bisa dikatakan sebagai “Setiap bentuk ekspresi yang dimaksudkan oleh penutur untuk menjelek-jelekkan, mempermalukan, atau menghasut kebencian terhadap suatu kelompok atau golongan orang atas dasar ras, agama, warna kulit[,] identitas seksual, identitas gender, suku, kecacatan, atau kebangsaan asal.”

Ujaran kebencian dapat memiliki dampak negatif yang parah pada targetnya, yang merupakan salah satu alasan orang-orang di setiap sisi masalah ini mengutuknya. Namun, apakah ujaran kebencian harus dilarang atau tidak dengan  hukum nampaknya masih kurang jelas untuk melihat hal itu.

Mereka yang akan melarang ujaran kebencian mengutip dampaknya terhadap para korban. Mereka juga berpendapat bahwa budaya ujaran kebencian mengarah pada kekerasan kriminal, bahkan genosida. Sebagian besar pembela kebebasan berbicara mengecam ujaran kebencian, tetapi membela hak untuk mengucapkannya. Mereka berpendapat bahwa membuat undang-undang ujaran kebencian tidak berhasil, dan seringkali menjadi bumerang. Mereka juga berpendapat bahwa kita harus membedakan keburukan dari kejahatan, dan bahwa keburukan lebih baik ditangani melalui tindakan non-pemerintah

Ada perbedaan antara sifat buruk (vices) dan kejahatan (crimes), serta lantas apa perbedaannya? Istilah inilah yang menjadi perbedaan dan inti mengapa begitu banyak pendukung kebebasan berbicara menganggap tidak adil bagi pemerintah untuk memenjarakan, mendenda, atau menyensor seseorang atas ujaran kebencian. Seperti yang ditulis oleh pengacara abolisionis, Lysander Spooner, dalam esainya yang berjudul “Vices Are Not Crimes”,  terminologi “vices” adalah tindakan yang dilakukan seseorang untuk merugikan dirinya sendiri atau propertinya, sedangkan  “crimes” tindakan yang dilakukan seseorang untuk merugikan orang atau properti orang lain.

Sifat buruk atau “vices” juga dapat menyebabkan kesusahan bagi orang-orang di sekitar kita, tetapi melakukan sesuatu yang tidak disukai seseorang tidak dengan sendirinya merupakan pelanggaran hak. Spooner berargumen bahwa hanya tindakan yang melanggar hak orang lain—yaitu orang atau properti mereka—yang harus dianggap sebagai kejahatan (crimes).

Sebagai salah satu contoh misalnya, berbaring di sekitar rumah sepanjang hari dalam keadaan mabuk adalah sifat buruk. Itu menjengkelkan, dan membebankan biaya sosial pada teman dan keluarga, tetapi itu tidak melanggar hak siapa pun. Jika teman dan keluarga bosan, mereka dapat menggunakan hak mereka sendiri untuk berhenti menghabiskan waktu bersama. Sebaliknya, membakar rumah tetangga adalah kejahatan.  Tindak tersebut jelas telah melanggar hak properti tetangga. Mereka yang melakukan kejahatan tunduk pada penggunaan kekuatan (termasuk kekuatan pemerintah) untuk membela dan memulihkan korban.

Ujaran kebencian adalah sifat buruk, seperti halnya mabuk setiap hari, adalah perilaku buruk yang dapat menyusahkan orang-orang. Oleh karena itu, pertanyaan yang relevan bukanlah, “apakah sifat buruk X baik atau buruk?” Pertanyaan yang relevan adalah, “Apakah kita dibenarkan mengirim orang bersenjata untuk mengancam dan memenjarakan orang yang melakukan kejahatan X?” Jawaban tegasnya adalah tidak. Penggunaan kekuatan pemerintah (seperti negara mengirim polisi untuk menyeret seseorang ke penjara) hanya dibenarkan dalam menanggapi pelanggaran hak (seperti pembunuhan atau pembakaran). Memenjarakan seseorang karena menggunakan cercaan rasial tidak dapat dipertahankan secara moral.

Lantas, bagaimana kita membedakan kejahatan dari non-kejahatan (termasuk kejahatan dan kebajikan)? Menurut liberalisme klasik, hak dasar dari mana semua hak lainnya muncul adalah hak atas kepemilikan. Hak milik bukan hanya hak untuk memiliki tanah. Sebaliknya, hak ini terdiri dari dua unsur: Pertama, kepemilikan diri (self-ownership) sebagai manusia, di mana setiap individu memiliki hak yang tidak dapat dicabut atas dirinya. Kedua, properti dalam barang. Setiap individu memiliki hak untuk memiliki barang eksternal. Misalnya, jika individu membuat mesin cetak, maka ia berhak menggunakan mesin itu sesuai keinginannya.

Filsuf besar John Locke menuliskannya secara ringkas dalam “The Second Treatise of Government”: “every Man has a Property [that is, ownership] in his own Person. This no Body has any Right to but himself. The Labour of his Body, and the Work of his Hands, we may say, are properly his.”

Dalam konsepsi ini, kebebasan berbicara pasti mengalir dari konsep hak kepemilikan. Setiap orang memiliki kepemilikan mutlak atas pita suara, oleh karena itu ia dapat mengucapkan kata-kata apa pun yang diinginkan. Dalam pengertian ini, hak untuk mengatakan kata-kata yang dianggap keji atau menghujat oleh kebanyakan orang—termasuk hak untuk menerbitkan kata-kata tersebut menggunakan alat yang dimiliki secara moral tidak dapat dibatasi. Hak atas tubuh sendiri adalah dasar dari arti menjadi manusia.

Sebaliknya, beberapa orang (dapat dibenarkan) tersinggung oleh penghinaan rasial, tidak ada dan tidak ada hak untuk tidak tersinggung. Pada tingkat moral, setiap orang tidak dapat dianggap bertanggung jawab atas pikiran dan perasaan orang lain. Asumsi hak positif itu (hak positif adalah hak yang membebankan perilaku orang lain) akan membatasi hak orang sendiri. Pada tingkat praktis, undang-undang yang didasarkan pada hak positif untuk tidak tersinggung adalah bencana karena alasannya adalah bahwa pelanggaran secara inheren bersifat subyektif.

Pelajaran yang dapat diambil dalam ulasan di atas adalah bahwa penting untuk memahami definisi secara mendalam terkait dengan ujaran kebencian dan bagaimana seharusnya memposisikan atas ujaran kebencian tersebut yang mana sejatinya ujaran kebencian adalah masalah, namun penting untuk mengkaji hukum terkait hal itu. Oleh karena itu, penting untuk mengkontekstualisasikan hal itu dalam konsep yang tepat dalam kerangka kebebasan yang menjadi hak dasar bagi setiap orang.

 

* Artikel ini diambil dari tulisan Julian Adorney yang berjudul “Hate Speech Laws: The Best Arguments for Them—and Against Them”.  Link artikel: https://fee.org/resources/hate-speech-laws-the-best-arguments-for-them-and-against-them/ /. Diakses pada 18 Januari 2023, pukul 15.30 WIB.