Mengapa ide-ide mengenai kebebasan sulit berkembang di Indonesia? Mengapa banyak orang merasa risih dengan gagasan mengenai kebebasan dan demokrasi? Apakah gagasan mengenai kebebasan individu, demokrasi, hak berekspresi, keterbukaan, penghargaan terhadap hak privat orang lain dan sebagainya masih sangat asing dan tidak membumi di Indonesia?
Selama ini, tidak sedikit orang Indonesia yang yakin bahwa individualisme adalah egoisme, kebebasan adalah ‘semau gue’, dan liberalisme akan merusak budaya luhur bangsa Indonesia. Buku buku yang terbit di Indonesia lebih banyak mengkampanyekan bahwa gagasan kebebasan dan liberalisme adalah sebuah ideologi rusak dan tidak bermoral.
Dalam kata pengantar editor buku Libertarianisme: Perpektif Kebebasan atas Kekuasaan dan Kesejahteraan, tantangan yang dihadapi oleh para aktivis kebebasan dan pejuang kebebasan adalah stereotipe negatif masyarakat yang menyamakan kebebasan dengan keliaran; sebuah sikap yang jauh dari tanggung jawab, kedewasaan, dan moralitas (Suara Kebebasan, 2019).
Dalam rezim Orde Lama dan Orde Baru, istilah-istilah seperti liberalisme, kebebasan individual, demokrasi, dan hak kebebasan berbicara, adalah istilah-istilah haram yang tabu diucapkan. Setiap individu yang berusaha membawa gagasan mengenai kebebasan dan juga mengkritik pemerintah yang tidak demokratis, pasti akan dituduh anti Pancasila, anti pemerintah, subversif dan ujung-ujungnya menghilang entah kemana.
Setelah reformasi bergulir dan runtuhnya rezim totaliter, tetap saja istilah-istilah kebebasan individu, liberalisme, pasar bebas atau kapitalisme masih menjadi hal yang tabu. Padahal, spirit reformasi yang digaungkan oleh para mahasiswa dan rakyat pada dekade 90-an, adalah menciptakan pemerintah yang demokratis dan masyarakat yang bebas.
Hanya istilah “demokrasi” saja yang nampaknya masih bisa diterima dan dipandang positif oleh sebagian besar masyarakat. Namun, istilah itu juga masih membuat masyarakat bingung dalam memaknai demokrasi. Kebanyakan orang berpikir bahwa pengaplikasian demokrasi adalah pemilihan umum. Yang lebih parah lagi, ada sekelompok orang menganggap bahwa demokrasi adalah kekuasaan mayoritas yang mutlak.
Pandangan “sesat” semacam ini justru telah mendistorsi makna demokrasi itu sendiri yang sebenarnya adalah sistem politik bernegara yang berlandaskan pada kebebasan sipil. Karena, tujuan dari demokrasi adalah menampung tiap aspirasi masyarakat dan menjaga hak-hak aspirasi tiap orang untuk turut berpolitik.
*****
Bagi penulis, penyebab dari jeleknya citra liberalisme/libertarianisme dan penolakan masyarakat Indonesia tentang kebebasan individu, dikarenakan akses literatur tentang kebebasan, pasar bebas, individualisme, dan pluralisme yang sangat terbatas. Masyarakat bawah dan menengah menjadi asing terhadap gagasan tersebut karena buku-buku atau artikel yang memperkenalkan gagasan tersebut pada dekade 70, 80, 90-an sangat minim bahkan tidak ada.
Sebaliknya, buku-buku yang mengulas mengenai gagasan kebebasan baik dari sisi ekonomi, politik, filsafat dan sosiologi baru mulai marak pada masa era reformasi. Literatur mengenai kebebasan dan demokrasi yang mengulas secara proporsional juga mulai banyak ditulis lewat artikel di surat kabar dan juga di internet. Namun, tetap saja jumlahnya masih minim dibanding dengan propaganda yang merusak wajah kebebasan dan libertarianisme lewat berbagai macam buku-buku yang beredar di pasaran dan artikel yang menghiasi media massa.
Misalnya, Novel KEMI karangan Adian Husaini (2010), yang menggambarkan seorang anak yang terjebak oleh ideologi liberalisme dan akhirnya “tersesat” oleh ideologi buatan Barat tersebut. Begitu juga dengan buku seperti Indonesia Tanpa Liberalisme: Mungkinkah?, karya Robi Nurhadi (2013), yang menjelaskan bahwa liberalisme adalah pandangan yang mencengkram di Indonesia. Liberalisme dipandang sebagai sebuah ideologi jebakan yang menghanyutkan anak muda padahal (dalam buku tersebut) ia akan menghancurkannya.
Masih banyak lagi buku-buku semacam itu. Bisa dicek di Google dan ketik kata kunci “liberalisme” atau “buku liberalisme”. Banyak sekali buku-buku yang berpandangan bahwa liberalisme (libertarianisme) sebagai ideologi jahat dan kejam. Pasar bebas (kapitalisme) dianggap sebagai pola ekonomi yang menjunjung kerakusan, tidak humanis, dan menjadi biang dari kemiskinan.
Literatur di Indonesia masih menyudutkan kebebasan individual sebagai sebuah Weltanschauung (pandangan hidup) yang jauh dari nilai-nilai moral. Kebebasan yang tertuang dari buku-buku seperti di atas dianggap sebagai warisan budaya barat yang tak cocok dengan kebudayaan dan norma masyarakat Indonesia.
Citra kebebasan dan liberalisme diperparah lagi ketika propaganda-propaganda anti kebebasan, demokrasi, dan liberalisme “dibumbui” dengan pandangan-pandangan agama. Indonesia yang saat ini perhatiannya sangat besar tertuju pada isu-isu agama, tentu akan menelan mentah-mentah argumentasi dalam buku tersebut. Ya, mereka hanya perlu melihat dalil-dalil dan penulis yang bertitel “ustadz” dan bagi mereka itu tak perlu dikritisi lagi (karena dianggap sebagai kebenaran).
Kesimpulannya, wajar saja jika kita melihat situasi dewasa ini yang cukup memprihatinkan. Mulai dari intoleransi agama, mayoritarianisme, munculnya ormas-ormas radikal, kritik yang berujung penjara, dan juga persekusi hanya karena status di media sosial. Situasi ini terjadi karena masyarakat Indonesia tidak mendapat pemahaman yang benar mengenai kebebasan, pluralisme dan demokrasi.
Minimnya literatur dan buku-buku yang menjelaskan tentang gagasan kebebasan juga turut mempengaruhi mengapa masyarakat kita cenderung distorsif pemahamannya mengenai demokrasi. Demokrasi dianggap hanya sebagai acara voting yang digelar lima tahunan atau disimplifikasi sebagai kekuasaan mayoritas.
Makin merebaknya paham intoleran dalam masyarakat kita, gagalnya pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), dan makin kokohnya peran militer di pemerintahan adalah bukti yang jelas bahwa gagasan kebebasan berbicara dan kebebasan individu, Hak Asasi Manusia, pluralisme, dan demokrasi belum membumi di dalam masyarakat Indonesia.
Masih banyak orang menganggap bahwa demokrasi liberal dan kebebasan adalah ide “Barat”. Padahal David Boaz dalam Alam Pikiran Libertarian, mengatakan bahwa sebelum Adam Smith, John Locke, Thomas Jefferson, serta Abraham Lincoln bicara tentang kebebasan dan hak-hak individual, Lao Tze di China sudah mengutarakan nilai-nilai kebebasan (Boaz, 2019).
Perjuangan untuk membela kebebasan adalah perjuangan yang berkelanjutan. Kita tidak bisa memperjuangkan dan menyebarkan gagasan kebebasan hanya dengan demonstrasi di depan Senayan atau unjuk gigi di lapangan Monas. Membela kebebasan adalah perjuangan yang harus diwarisi dari generasi ke generasi. Karena itu, sangat penting untuk membumikan ide-ide kebebasan yang tepat melalui berbagai medium, seperti tulisan artikel, video, podcast, dan jurnal ilmiah.
Sebab, melalui literasi juga ide-ide kebebasan dapat tersebar luas bahkan hingga lintas generasi. Karena literasi pula pikiran bapak-bapak kebebasan dunia, seperti Adam Smith, John Locke, John Stuart Mill, Thomas Jefferson, dan Abraham Lincoln terekam abadi dan dapat dibaca hingga generasi selanjutnya.
Referensi
Boaz, David. 2018. Alam Pikiran Libertarian: Manifesto untuk Kebebasan. Terjemahan Nanang Sunandar, dkk. Jakarta: INDEKS.
Suara Kebebasan. 2019. Libertarianisme: Perspektif Kebebasan atas Kekuasaan dan Kesejahteraan. Jakarta: Suara Kebebasan.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com