Bila Anda pergi ke daerah Majalengka di Jawa Barat, Anda bisa mampir ke salah satu bandar udara paling sepi di dunia. Bandara Internasional Kertajati, yang dibuka pada tahun 2018 lalu, hingga bulan Juli 2019 hanya melayani 12 rute domestik karena aksesnya yang jauh dari pusat perkotaan.
Proyek pembangunan bandara tersebut tentu tidak mengeluarkan dana yang sedikit. Dokutip dari BBC Indonesia (02/07/2019), pembangunan bandara tersebut memakan biaya 2,6 triliun rupiah yang diambil dari dana masyarakat. Hal ini tentu merupakan sesuatu yang sangat disayangkan, dimana dana publik yang sangat besar dihamburkan untuk sesuatu dengan manfaat yang tidak sepadan.
Bayangkan saja, berapa banyak sarana kesehatan atau sekolah yang dapat dibangun dengan dana yang sedemikian besar. Saya mengkhayalkan bila ada perusahaan swasta yang mengeluarkan dana sedemikian besar dengan return yang sangat jauh dari harapan, para investor perusahaan tersebut pasti akan segera angkat kaki secara berbondong-bondong dan para pemilik saham akan menuntut eksekutif perusahaan untuk segera diberhentikan.
Bandar Udara Kertajati tentu bukan merupakan satu-satunya contoh nyata dari penghamburan dana publik oleh pemerintah. Di berbagai kota dan daerah, kita dapat menyaksikan dengan mudah banyaknya sarana infrastruktur, seperti jalan layang, rel kereta, hingga bangunan-bangunan terbengkalai yang tidak diselesaikan yang didanai oleh uang masyarakat.
Lantas, bagaimana cara kita untuk memperbaiki situasi tersebut? Apakah ada cara yang dapat dilakukan agar para pengambil kebijakan untuk lebih peduli dan berhati-hati dengan penggunaan dana masyarakat yang mereka keluarkan?
*****
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, izinkan saya menggambarkan ilustrasi sederhana. Bayangkan bila Anda pergi ke sebuah mall dan ingin membeli makanan untuk makan siang. Anda membeli makanan tersebut dengan menggunakan uang hasil kerja keras Anda, dan makanan tersebut untuk diri Anda sendiri.
Setelah itu keesokan harinya, Anda kembali pergi ke pusat perbelanjaan yang sama. Tiba-tiba ada orang tak dikenal yang memberi Anda uang. Ia menginginkan Anda menggunakan uang tersebut untuk membelikan makanan yang nanti akan diberikan kepada sepupu jauh orang asing tersebut, yang juga Anda tidak kenal sama sekali.
Bila di situasi demikian, kira-kira di situasi apakah Anda akan lebih peduli dan hati-hati dalam memilih makanan yang akan Anda beli? Apakah ketika Anda membeli makanan dengan menggunakan uang Anda dan untuk diri Anda sendiri, atau ketika Anda membeli makanan dengan menggunakan uang dari orang yang tidak Anda kenal dan untuk saudara orang tersebut yang Anda juga smaa sekali tidak pernah temui?
Inilah yang menjadi salah satu topik yang dibahas oleh ekonom kenamaan Amerika Serikat yang juga pemenang Nobel Ekonomi tahun 1976, Milton Friedman, dalam salah satu wawancaranya yang disiarkan oleh Free to Choose Network.
Friedman mengatakan bahwa ada 4 cara seseorang mengeluarkan uang mereka. Pertama, seseorang dapat menggunakan uangnya untuk dirinya sendiri. Kedua seseorang dapat menggunakan uangnya untuk orang lain. Ketiga seseorang dapat menggunakan uang orang lain untuk dirinya sendiri. Sementara yang terakhir adalah, seseorang dapat menggunakan uang orang lain untuk sesuatu yang diperuntukkan juga bagi orang lain.
Friedman dalam wawancaranya menjelaskan perbedaan konsekuensi dari empat cara tersebut. Cara yang pertama, bagi Friedman merupakan cara yang terbaik dan paling efisien. Apabila seseorang mengeluarkan uangnya untuk dirinya sendiri, maka ia akan sangat berhati-hati terhadap produk yang akan ia dapatkan, dan juga jumlah uang yang ia keluarkan.
Contoh sederhananya adalah ilustrasi tentang seseorang yang pergi ke mall untuk mencari makan siang yang saya gambarkan sebelumnya. Bila ia membeli makanan dengan menggunakan uangnya dan untuk dirinya sendiri, maka ia akan benar-benar berhati-hati untuk memilih makanan terbaik yang bisa ia dapatkan dengan harga yang sesuai dengan kemampuannya.
Dalam cara kedua, ketika seseorang menggunakan uangnya untuk orang lain, ia akan tetap peduli dan berhati-hati terkait berapa banyak jumlah uang yang ia akan keluarkan. Meskipun demikian, orang tersebut akan cenderung tidak terlalu berhati-hati atas pilihan produk yang akan ia ambil, karena bukan dirinyalah yang menjadi pengguna atau penikmat dari produk tersebut.
Penggambarannya adalah, masih menggunakan ilustrasi makan siang, seseorang yang membelikan makan siang untuk orang lain dengan menggunakan uangnya, akan berhati-hati untuk memilih makanan yang harganya sesuai dengan kemampuannya. Akan tetapi untuk produk makanan yang ia pilih, ia tidak akan lebih bersikap hati-hati dan peduli bila dibandingkan bila ia memilih makanan untuk dirinya sendiri.
Cara ketiga yang digambarkan oleh Friedman, ketika seseorang menggunakan uang orang lain untuk dirinya sendiri, tentu ia akan mencari produk terbaik yang dapat ia temukan. Meskipun demikian, ia tidak akan peduli dengan berapa harga yang harus dibayar untuk produk tersebut karena uang yang ia keluarkan bukan miliknya.
Masih menggunakan ilustrasi makan siang, bayangkan bila seseorang pergi makan siang bersama atasannya di sebuah pusat perbelanjaan. Atasannya tersebut mengatakan bahwa ia bisa memilih rumah makan apapun yang ia inginkan dan semua biaya akan ditanggung oleh bos-nya tersebut. Dalam situasi demikian, orang tersebut tentu akan cenderung untuk berhati-hati untuk memilih makanan yang terbaik yang dapat ia temukan, karena produk makanan tersebut unutk dirinya sendiri, dan tidak memperdulikan berapa banyak jumlah uang yang harus dibayarkan untuk makanan tersebut.
Sementara itu, cara keempat dan yang terakhir yang diungkapkan oleh Friedman, merepakan cara paling buruk menurut ekonom kelahiran Amerika Serikat tersebut. Bila seseorang menggunakan uang yang bukan miliknya untuk orang lain, maka bukan hanya ia tidak akan hati-hati dan peduli berapa jumlah uang yang digunakan, namun ia juga tidak akan acuh pada pilihan apa yang akan ia ambil untuk menggunakan uang tersebut.
Cara keempat inilah yang digambarkan pada ilustrasi makan siang saya yang kedua di atas. BIla seseorang diberikan uang oleh orang lain dan diminta untuk membeli makanan yang bukan untuk dirinya, bukan hanya ia tidak akan cederung tidak berhati-hati dan peduli tentang makanan apa yang akan ia pilih. Namun ia juga tidak akan peduli pada berapa banyak uang yang ia keluarkan, karena uang tersebut bukan miliknya.
Friedman mengatakan bahwa cara mereka yang duduk di kursi pemerintahan, dalam mengeluarkan uang untuk membiayai program-program dan proyek-ptoyeknya adalah melalui cara keempat. Para pejabat pemerintah menggunakan dana publik, yang ditarik melalui pajak kepada masyarakat, untuk membiayai berbagai program atau proyek yang tidak diperuntukkan bagi diri mereka.
Oleh karena itu, maka tidak heran kalau banyak dana yang dipergunakan oleh pemerintah untuk membiayai sesuatu dengan cara-cara yang tidak bertanggung jawab. Karena, sekali lagi, para pejabat di pemerintahan menggunakan uang yang bukan miliknya, untuk sesuatu yang bukan untuk diri mereka.
Proyek pembangunan Bandara Kertajati di Majalengka merupakan salah satu contoh nyata dari hal tersebut. Uang yang digunakan untuk proyek bandara tersebut bukan milik dari para pengambil kebijakan. Dana tersebut merupakan milik masyarakat. Selain itu, sangat kecil kemungkinannya para pengambil kebijakan tersebut akan menggunakan bandara Kertajati secara rutin dalam kegiatan mereka sehari-hari.
Oleh karena itu, tidak aneh bila para pengambil kebijakan tersebut bersikap tak acuh untuk berhati-hati memikirkan lokasi terbaik untuk pembangunan bandara, fasilitas apa yang tersedia yang memungkinkan masyarakat dapat mengakses bandara tersebut dengan baik, atau apakah bandara tersebut merupakan sesuatu yang diminati oleh perusahaan penerbangan.
Mereka tidak peduli dengan hal tersebut, karena toh uang yang mereka gunakan bukan milik mereka dan proyek tersebut juga bukan untuk diri mereka. Yang terpenting bagi para pengambil kebijakan adalah, bandara tersebut jadi dan mereka bisa mendapatkan keuntungan politik dengan menyatakan kepada konsituennya bahwa mereka telah berhasil membangun bandara baru.
Program lain yang juga dicontohkan oleh Friedman sebagai bentuk cara keempat adalah program-program sosial yang dibiayai oleh pemerintah melalui dana publik Di Indonesia misalnya, kita bisa mengambil contoh dari program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS, yang terus merugi. Dikutip dari harian Republika (18/07/2019), diprediksi di tahun 2019 BPJS akan mengalami kerugian hingga 28 triliun.
Tidak jauh berbeda dengan pembangunan Bandara Kertajati, para pengambil kebijakan di pemerintahan membiayai program BPJS bukan dengan menggunakan uang mereka. Selain itu, kecil kemungkinan mereka juga akan menggunakan program tersebut karena sebagian besar program BPJS diperuntukkan bagi kalangan pekerja. Maka dari itu, tidak mengherankan kalau pemerintah menjalankan BPJS secara semena-mena dan tidak bertanggung jawab karena uang yang dipakai merupakan uang publik dan bukan diperuntukan untuk diri mereka sendiri.
Contoh lain yang bisa kita ambil adalah perusahaan-perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan Garuda Indonesia. PLN dan Garuda terus mengalami kerugian dari tahun ke tahun. Dikutip dari Detik Finance (03/10/2018), pada tahun 2018 PLN mengalami kerugian sebanyak 18 triliun rupiah dan dikutip dari CNBC Indonesia (26/07/2019), pada tahun 2019 ini Garuda mengalami kerugian sebesar lebih dari 2,4 triliun rupiah.
Bisa kita bayangkan apa yang akan terjadi bila ada perusahaan swasta yang mengalami kerugian yang sedemikian besar. Para pemegang saham tentu akan semakin khawatir dan dengan cepat memecat para pejabat perusahaan karena mereka tidak bisa menjalankan tugasnya dengan baik.
Para pejabat eksekutif perusahaan yang dimiliki negara juga tidak akan terlalu peduli dengan perusahaan yang mereka jalankan karena perusahaan tersebut bukan milik mereka dan dibiayai dengan dana publik. Selain itu, mereka bisa setiap saat meminta kompensasi atas kerugian yang dialami oleh perusahaan kepada pemerintah dengan menggunakan dana publik yang ditarik dari masyarakat agar perusahaan tetap bisa berjalan, sesuatu yang sangat kecil kemungkinannya untuk terjadi bila ada entitas perusahaan swasta yang mengalami kerugian.
Para pengambil kebijakan di pemerintahan juga tidak akan peduli berapa banyak dana yang akan digelontorkan untuk mengkompensasi kerugian-kerugian yang dialami oleh perusahaan milik negara, karena dana tersebut bukan milik mereka. Justru semakin banyak dana yang mereka keluarkan, maka mereka mendapatkan keuntungan politk yang semakin besar karena mereka bisa berkampanye kepada masyarakat dengan jargon bahwa mereka telah berhasil menyelamatkan perusahaan yang menjadi tulang punggung dan kebanggaan nasional.
Lantas, kembali ke pertanyaan di awal, bagaimana cara kita memastikan agar pemerintah menggunakan uang publik secara lebih berhati-hati dan bertanggung jawab? Apakah kita bisa menggunakan sumber daya yang kita miliki secara lebih efisien dan dapat menghasilkan manfaat semaksimal mungkin?
Bagi saya, tidak ada cara lain untuk memastikan hal tersebut selain mengganti pola penggunaan uang yang selama ini berjalan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Friedman, dari cara yang keempay menjadi cara yang pertama. Kita harus bisa memastikan bahwa ada semakin banyak uang yang dapat digunakan oleh pemiliknya sendiri untuk diri mereka, dan salah satu cara yang paling ampuh untuk mencapai hal tersebut adalah melalui mekanisme privatiasasi.
Pemerintah harus bisa melakukan privatisasi sebesar mungkin dan mengalihkan berbagai program, proyek, serta perusahaan yang dimiliki oleh negara, terlebih lagi yang terus merugi, kepada aktor swasta. Dengan berbagai program dana sosial, pembangunan infrastruktur seperti bandara, jalan dan jembatan serta perusahaan BUMN dialihkan kepada pihak swasta, maka efisiensi dan perbaikan manajemen akan terjadi karena perusahaan swasta menggunakan sumber daya yang mereka miliki untuk keuntungan perusahaan mereka sendiri.
Bila pembangunan dan pengelolaan bandara dialihkan kepada swasta contohnya, maka tentu perusahaan tersebut akan bersikap lebih berhati-hati dalam menjalankan proyeknya. Perusahaan tersebut akan memilih lokasi yang strategis dan fasilitas yang terbaik untuk menarik penumpang transportasi udara. Bila mereka tidak melakukan hal tersebut, niscaya mereka akan mengalami kerugian dan kebangkrutan.
Begitu pula dengan BUMN seperti PLN dan Garuda. Bila perusahaan-perusahaan tersebut dialihkan kepada aktor swata, maka hal tersebut kana semakin mendorong efisiensi sumber daya dan perbaikan manajemen, karena tidak da perusahaan yang ingin merugi. Privatisasi akan mengecilkan insentif perusahaan untuk mengambil langkah yang ceroboh karena bila perusahaan tersebut merugi, maka uang perusahaan tersebut sendirilah yang akan semakin berkurang dan bukan uang publik dan masyarakat.
Karena, seperti yang diungkapkan oleh Friedman, seseorang akan lebih peduli, berhati-hati, dan tidak ceroboh apabila ia mengeluarkan uangnya untuk dirinya sendiri, daripada mengeluarkan uang orang lain untuk sesuatu yang bukan untuk dirinya.

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.