Millenial dan Regulasi Ekonomi yang Menyulitkan

    756

    Semilir angin bercampur terik panas mentari bukanlah kombinasi yang disukai orang-orang, termasuk saya yang tengah menunggu pelajaran kewirausahaan selesai dan bel istirahat berbunyi. Tangan Pak Guru sudah meloncat-loncat girang di papan tulis sedari tadi tanpa menyadari kegelisahan anak muridnya di belakang.

    Dering bel yang memekakkan telinga, namun terasa begitu menyenangkan bagi kami akhirnya berbunyi. Pak Guru tampak tidak senang karena waktu berbaktinya habis, mungkin karena itu ia tetap meninggalkan jejak dengan memberi kami tugas untuk membuat suatu produk yang akan diusahakan nanti.

    Bicara mengenai usaha, Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru-baru ini mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektonik (PMSE). PP tersebut mewajibkan online shop punya izin usaha, dimana pemerintah akan memudahkan izin melalui Online Single Submission (OSS). Selain itu, PP tersebut juga mengatakan bahwa pelaku e-commerce asing wajib menunjuk perwakilan di Indonesia; para pedagang diwajibkan memberi info dengan jelas dan jujur, dan Kementerian Perdagangan (Kemendag) akan merilis aturan teknis dan menerima laporan kerugian dari pedagang.

    Yang menjadi sorotan utama bagi banyak orang adalah mengenai bisnis online yang harus memiliki izin usaha. Beberapa orang dan para ahli menyetujuinya karena menganggap selama ini pengangguran yang terjadi banyak disebabkan oleh tidak adanya perlindungan pemerintah mengenai lisensi usaha yang jelas.

    Sebagian lagi menganggap izin usaha dibutuhkan agar usaha-usaha yang selama ini tidak jelas akan digusur dan harus digantikan oleh usaha yang jelas untung dan ruginya. Mereka berasumsi mengenai penipuan bisnis online hanya dapat diselesaikan apabila ada diberlakukannya izin usaha sejak awal. Namun, benarkah penetapan izin usaha akan memberi ruang bebas bagi produsen dan konsumen?

    Salah satu basis utama dalam kegiatan ekonomi adalah supply dan demand. Preferensi konsumen terhadap suatu produk akan menentukan berapa banyak yang akan mereka beli. Sementara, produsen akan melihat fluktuasi pasar dan memperkirakan berapa banyak yang akan dikeluarkan di pasar, dengan pertimbangan, pemasaran, dan faktor lain yang akan menciptakan ekuilibrium harga pasar.

    Singkat kata, dalam mekanisme pasar, produsen tentu sudah tahu dan bisa mandiri melihat usaha yang akan dijalani, serta target pemasarannya terhadap konsumen-konsumen di luar sana. Selain produsen yang sudah hafal betul jalan usahanya, konsumen juga pastinya tahu apa yang ingin dikonsumsi sesuai dengan budget yang dimilikinya.

    Dengan kata lain, deregulasi ekonomi lebih diperlukan untuk menjaga jalannya keharmonisan pasar dibanding harus bertambahnya berbagai regulasi yang justru lebih menyakitkan bagi kedua belah pihak. Market failure memang pasti ada, tapi jangan lupa government failure di Indonesia. Pemerintah berkedok membuat peraturan dengan tujuan ‘melindungi wong cilik‘, padahal dalam praktiknya, peraturan yang berlebihan juga hambatan rantai birokrasi yang panjang juga kerap menjadi medium untuk rent seeking.

    Contoh kegagalan pemerintah dalam mengintervensi kegiatan ekonomi misalnya, dapat dilihat dalam kontrol harga. Jika harga yang ditetapkan pemerintah terlalu tinggi, ada banyak produk yang dijual dibandingkan dengan yang diinginkan orang (supply > demand). Hal sebaliknya terjadi jika penetapan harga berada di bawah level ekuilibrium, yang menyebabkan permintaan yang lebih tinggi dibandingkan persediaan yang dimiliki (supply < demand).

    Dampak lain apabila terlalu banyak ditetapkannya regulasi dalam pasar diantaranya adalah komoditas yang tidak jadi dijual, lapangan kerja yang tidak jadi tercipta, inovasi anak muda yang terhambat, perusahaan yang tidak jadi mulai karena rumitnya sistem, dan masih banyak lagi.

    Selain berdampak pada masalah hubungan produsen-konsumen, jangan lupakan masalah biaya kepatuhan apabila regulasi ekonomi terlalu berlebihan. Saat memulai suatu bisnis, diperlukan beberapa prosedur yang harus dilakukan demi kepatuhan terhadap sertifikasi, administrasi, atau pun pendaftaran yang diharuskan pemerintah.

    Belum lagi biaya tambahan, biaya penalti, biaya uji produk, biaya denda, dan masih banyak lainnya yang akan dikenakan pemerintah untuk bisnis. Biaya eksternal akan datang jika perusahaan mengalami kerugian atas regulasi yang berdampak besar pada penerimaan komoditasnya di pasar.

    Memang, permasalahan terkait kebebasan berusaha (kebebasan ekonomi) tidak harus karena biaya. Dengan membuat barrier to entry dan mengurangi kemudahan dalam menjalani bisnis, pemerintah sudah menyakiti pengusaha kecil. Inovasi dan ide para pengusaha ini terhambat, pengangguran pun dapat bertambah.

    Intinya, dari penjabaran di atas, pemerintah sebaiknya tidak mempersulit setiap individu, termasuk anak muda, yang ingin memulai bisnis usaha dengan menetapkan segala regulasi yang justru ke depannya akan berdampak menyakiti usaha mereka. Daripada regulasi, urusan mengenai perlindungan konsumen dan penegakan hukum harus diutamakan, terutama jika ada penjual atau pembeli daring yang melakukan penipuan. It’s a win-win for both parties in the economy scene!