Persoalan hukum dan HAM adalah masalah yang menarik untuk disoroti dan ditelaah implementasinya. Sebab, dengan mengukur sejauh mana kedua hal tersebut berhasil ditegakkan, maka kita bisa menilai apakah pemerintah dan institusi negara telah menjalankan tugasnya dengan baik atau tidak.
Kita pun tahu, tahun 2021 hanya tinggal beberapa hari lagi kita lalui dan tahun 2022 tidak berapa lama lagi segera kita masuki. Tindakan terbaik yang kita dilakukan ketika tahun berlalu adalah dengan merenungi dan melakukan introspeksi, khususnya merenungkan sudah sejauh mana pemerintah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM dan penegakan hukum yang terjadi di negeri ini
Sebagai sebuah negara yang berlandaskan hukum, sudah seharusnya masalah penegakan hukum dan penghormatan HAM menjadi prioritas utama yang harus ditegakkan pemerintah. Sebab, sebagus apapun program pembangunan yang dirancang tetapi tidak didasari pada penghormatan atas HAM dan supremasi hukum yang adil, semua itu akan sia-sia belaka.
Di penghujung tahun 2021 ini, amat baik kiranya jika penulis mengajak para pembaca untuk kembali merenungkan beberapa kasus hukum dan pelanggaran HAM yang mengganjal nurani kita dan menelaah apa yang terjadi jika pelanggaran-pelanggaran itu tidak ditanggulangi.
Penegakan HAM di masa Pandemi
Belakangan ini, masalah penegakan hukum dan hak asasi memang mendapat banyak tantangan. Pandemi COVID-19 yang telah menjalar ke seluruh tanah air membuat pemerintah mendapat pembenaran untuk memberlakukan ‘tangan besi’ dengan membatasi kebebasan dan aktivitas masyarakat.
Tantangan dalam penegakan Ham pada masa pandemi ini dibenarkan pula oleh Ahmad Taufik Damanik selaku Ketua Komnas HAM. Taufik mengatakan, lantaran situasi pandemi COVID-19, pemerintah seolah mendapat legitimasi untuk membatasi kegiatan masyarakat demi kesehatan dan keselamatan publik.
Dengan dalih “keselamatan publik” inilah banyak petugas di lapangan yang melakukan penertiban tanpa melihat dan menghormati hak individual warga. Belum lagi, kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu diatasi, kini negara justru seolah memberi ruang untuk praktik-praktik pelanggaran HAM.
Tercatat selama tahun 2021 ini, Komnas HAM mencatat, terdapat 2.331 kasus aduan dugaan pelanggaran HAM selama tahun 2021. Jumlah tersebut merupakan hasil konversi dari 3.758 berkas yang diterima Komnas HAM sampai bulan September 2021.
Taufan mengatakan bahwa angka pengaduan selama pandemi mengalami beberapa lonjakan. Misalnya, bulan pada Maret dan September ketika pemerintah mulai mengetatkan pembatasan (Sindonews.com, 4/10/2021).
Ambil saja contoh sikap petugas keamanan (polisi dan satpol PP) di beberapa wilayah yang secara semena-mena melakukan tindakan represi terhadap kebebasan warga negara, seperti menghapuskan mural (coretan dinding) yang bernada kritis terhadap pemerintah dan membanting demonstran yang tengah menyampaikan aspirasinya di depan Kantor Pemerintah Kabupaten Tangerang.
Begitu pula dengan tindakan arogansi anggota Satpol PP di Gowa, Sulawesi Selatan yang secara tidak manusiawi memukul seorang perempuan pemilik cafe. Insiden itu membuat masyarakat gempar dan mengutuk tindakan aparat yang secara serampangan menggunakan jabatan untuk menganiaya warga biasa.
Belakangan, kasus pemukulan ini malah berujung pada tindakan kriminalisasi dan penahanan pemilik kafe tersebut. Dengan dalih melanggar UU ITE, korban pemukulan justru ditangkap dan dipenjara tanpa ada perlindungan oleh negara.
Memang tak bisa disangkal lagi, UU ITE merupakan biang utama di balik melonjaknya kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Adanya UU ITE, membuat banyak oknum pejabat membungkam sikap kritis netizen dalam menyikapi kebijakan dan tindakan pejabat aparatur negara yang dinilai tidak memuaskan dalam bekerja.
Fakta-fakta ini secara tidak langsung membenarkan ucapan Ahmad Taufik yang mengatakan bahwa selama pandemi perlindungan atas hak asasi, kebebasan berpendapat dan berekspresi belum dijamin seluruhnya oleh negara.
“Tantangan lain adalah terkait dengan penghormatan dan perlindungan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi yang belum sepenuhnya dijamin oleh negara, terutama terkait dengan keberadaan dari UU ITE dan aturan pelaksanaanya,” kata Taufan (Kabar24.com,12/8/2021).
*****
Jika kita kembali kepada data pengaduan HAM selama tahun 2021, maka menurut data “Rekapitulasi Tindak Lanjut Komunikasi Masyarakat berdasarkan Hak Konstitusional” yang dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), kasus terbanyak yang diadukan oleh masyarakat terbagi dalam empat kategori besar
Pertama, masalah Hak Kepastian Hukum dan Keadilan (sebesar 31%). Kedua, Hak atas Kepemilikan dan Perumahan (sebesar 19%). Ketiga, Hak untuk Perlindungan (sebesar 10%). Dan keempat, Hak untuk memperjuangkan hak (sebesar 8%).
Sumber gambar: https://ham.go.id/wp-content/uploads/2021/10/Rekapitulasi-UUD-1945.png
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hak untuk mendapat keadilan hukum, hak atas kebebasan bepikir, hak atas properti, dan hak untuk tidak diagresi menjadi persoalan besar dalam penegakan hukum di Indonesia.
Jika kita telusuri pemberitaan sepanjang tahun 2021, maka kasus kriminalisasi akibat UU ITE, kekerasan aparat, pembatasan kebebasan berekspresi, serta tidak juga hak atas kepemilikan tanah dan properti secara jelas masih terjadi.
Misalnya, kasus kekerasan aparat pada perempuan yang terjadi di Gowa dan tragedi pembantingan mahasiswa yang sedang berdemonstrasi oleh aparat keamanan adalah dua contoh buruk yang menjadi keprihatinan masyarakat.
Begitu pula yang terjadi pada beberapa orang yang menjadi korban “UU ITE”, seperti Jerinx SID yang dipenjara hanya karena mengkritik IDI dan seorang dosen UN Syiah Aceh yang dijerat oleh UU ITE karena mengkritik kepemimpinan kampus.
Sedangkan mengenai pelanggaran hak kepemilikan properti, para korban penggusuran proyek sirkuit Mandalika sebanyak 48 orang hingga kini belum mendapatkan ganti rugi atas tanah mereka. Begitu juga dengan penduduk Jakarta yang menjadi korban penggusuran dari Proyek Rusunami Petamburan hingga kini belum mendapatkan keadilan atas hak-hak mereka.
Kasus-kasus di atas hanya beberapa dari ratusan bahkan ribuan permasalahan HAM yang belum terselesaikan hingga saat ini. Masyarakat yang mengharapkan keadilan atas haknya yang dirampas hingga kini masih gigit jari karena sikap pemerintah yang seolah abai atas persoalan ini.
*****
Fajar 2022 sebentar lagi merekah, sayangnya di tahun baru nanti, kita tetap dibebani oleh bayang-bayang kasus pelanggaran HAM yang tak kunjung diselesaikan (malah muncul terus). Banyaknya kasus HAM yang terbengkalai juga menjadi gambaran buruk bagi kita, jika masalah perlindungan hak dasar saja negara masih abai, bagaimana dengan kita kedepannya?
Bisa saja kedepannya kita menjadi korban kekerasan, penggusuran, atau diskriminasi, dan bahayanya, penghormatan dan perlindungan hukum terhadap masalah hak tersebut masih sangat lemah.
Jika penegakan hukum, penghormatan terhadap hak asasi, dan perlindungan terhadap kebebasan tidak dipandang penting oleh pemerintah, maka secara tak langsung hal ini akan mempengaruhi ekonomi dan iklim investasi. Bagaimana ekonomi bisa tumbuh dan investor asing tertarik menanamkan modalnya jika jaminan keadilan dan perlindungan hak individual diabaikan begitu saja oleh pemerintah?
Referensi
https://ham.go.id/data-pengaduan-ham-2021/ Diakses pada 30 November 2021, pukul 19.16 WIB.
https://kabar24.bisnis.com/read/20210812/15/1428972/upaya-penegakkan-ham-2021-hadapi-banyak-tantangan-ini-alasannya Diakses pada 30 November 2021, pukul 15.29 WIB.
https://nasional.sindonews.com/read/558936/13/2331-kasus-pelanggaran-ham-diadukan-selama-2021-1633338654 Diakses pada 30 November 2021, pukul 15.21 WIB.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com