Kebebasan adalah sesuatu yang harus diupayakan, sesuatu yang harus diperjuangkan, dan sesuatu yang harus dijaga terus-menerus. Ia bukanlah sebuah pemberian yang ada begitu saja, tanpa kita berusaha merawatnya. Ketika kita menganggap sesuatu sebagai sebuah pemberian gratis, kita cenderung menyepelekannya dan kurang menghargainya. Banyak dari kita yang salah memahami arti kebebasan. Kebebasan kerapkali dimaknai atau diasosiasikan dengan hal-hal negatif, seperti sikap egois, tidak peduli, tidak bertanggung jawab dan sejenisnya. Pemahaman semacam ini membuat kita kerap enggan membicarakan kebebasan. Mengapa harus membicarakan dan –apalagi– memperjuangkan sesuatu yang buruk?
Bersikap kritis terhadap kebebasan adalah satu hal, tapi hal yang lain ketika kita memaknainya dengan sempit. Kebebasan adalah tentang kita dan mengapa kita ada di sini dengan semua gagasan, kepercayaan, sikap, dan tindakan kita. Kebebasan adalah kita dan bagaimana kita menjalani hidup dan mencari jalan keluar. Kebebasan adalah ekspresi dan suara kita. Seperti yang dikatakan Frederic Bastiat, dalam kenyataannya, kebebasan telah lama ada sebelumnya yang membuat hukum ada. Sejarah juga menunjukkan betapa besar harga yang harus dipertaruhkan untuk mewujudkan kebebasan dan kita adalah bagian dari sejarah tersebut, sejarah tentang kebebasan.
Lebih jauh lagi, kalau kita mau jujur, orang-orang yang selama ini bersikap antipati terhadap kebebasan juga memerlukan kebebasan untuk menyalurkan sikapnya itu. Kelompok-kelompok anti-kebebasan tak mungkin bisa menyuarakan pandangan mereka di negara yang represif dan anti-kebebasan. Contoh klasik dalam hal ini barangkali adalah organisasi-organisasi keagamaan semacam Hizbut Tahrir. Kelompok yang sering mengecam konsep kebebasan ini justru mendapatkan kebebasan di negara-negara bebas, seperti di Eropa dan Amerika. Di negara asalnya di Timur Tengah, Hizbut Tahrir dimusuhi dan dilarang.
Orang yang paling memahami dan menghargai kebebasan biasanya bukanlah mereka yang hidup dalam suasana kebebasan, tapi justru mereka yang hidup di bawah rezim yang represif dan otoriter. Manusia akan menyadari betapa pentingnya kebebasan bukan ketika mereka memilikinya, tapi justru saat mereka kehilangannya. Kebebasan politik adalah tangga pertama menuju kebebasan-kebebasan lain. Kita telah memiliki kebebasan politik sejak 15 tahun terakhir. Tapi kebebasan politik tak akan berarti apa-apa. jika tak diiringi dengan kebebasan-kebebasan lain. Untuk hidup dengan layak, kita memerlukan kebebasan ekonomi. Untuk berpikir sehat kita memerlukan kebebasan berekspresi. Untuk bersikap jujur, kita memerlukan kebebasan berkeyakinan. Dalam 15 tahun terakhir, inilah yang kita rawat dan perjuangkan.
Memahami kebebasan juga membutuhkan media dan informasi yang tepat. Lingkungan sekitar kita, termasuk keluarga dan teman-teman dekat juga ikut mempengaruhi bagaimana kita memaknai kebebasan dan mengaitkannya dengan konteks di mana kita berada dan posisi kita saat ini. Di tengah maraknya pro dan kontra soal kebebasan, masing-masing kita jelas mempunyai pilihan dalam memaknai kebebasan. Tidak ada yang salah dengan itu. Kebebasan justru memungkinkan kita memiliki perbedaan dalam melihat berbagai hal di sekitar kita.
Suara Kebebasan yang hadir dalam bentuk situs web adalah sebuah upaya merawat dan memperjuangkan kebebasan, yang sudah kita mulai. Situs ini ditujukan kepada siapa saja yang peduli terhadap isu kebebasan, khususnya para mahasiswa dan anak-anak muda yang lahir menjelang dan setelah era reformasi 1998. Yang jelas, menjadi tugas kita semua untuk merawat kebebasan bersama-sama. Tujuannya sederhana: agar kita terus ingat betapa pentingnya menghargai dan merawat kebebasan.
Mari bersuara untuk kebebasan! Selamat membaca!

Adinda Tenriangke Muchtar adalah Chief Editor Suara Kebebasan. Ia juga adalah Direktur Eksekutif The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII). Adinda menyelesaikan studi PhD Studi Pembangunan di Victoria University of Wellington, Selandia Baru (2018) dengan beasiswa NZAID. Adinda mendapatkan Master of Internatio-nal Studies dari The University of Sydney (2003) dengan beasiswa AusAID dan gelar Sarjana Sosial dari Departemen Hubungan Internasional FISIP UI (2001). Fokus kajiannya adalah pembangunan dan kebijakan publik, demokrasi dan tata kelola pemerintahan, pemberdayaan perempuan, dan bantuan pembangunan internasional. email: adinda.muchtar@suarakebebasan.org