
Pernikahan merupakan sarana yang digunakan oleh sepasang laki-laki dan perempuan untuk melegalkan sebuah hubungan antara keduanya di mata hukum. Melalui pernikahan tersebut, diharapkan pasangan laki-laki dan perempuan, yang kemudian disebut suami dan isteri menjalani sebuah relasi yang baik, saling mengasihi, melindungi dan memberikan kasih sayang sebagaimana hakikat kemanusiaan. Penikahan adalah sebuah gerbang dalam membentuk sebuah institusi atau lembaga yang dinamakan keluarga.
Indonesia sendiri memiliki perbedaan definisi tentang pernikahan. Definisi yang diakui secara legal tertera dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sebagaimana dalam Pasal 1 UU tersebut, yang dinamakan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Subekti & Tjitrosudibio, 2014). Bunyi pasal tersebut mengandung tiga dimensi, yakni dimensi hukum, dimensi agama, dan dimensi sosial. Dimensi hukum dapat dilihat pada kata “ikatan lahir”, menunjukkan bahwa adanya sebuah ikatan secara formal dan sah di mata hukum positif atau hukum formal (Amri, 2020).
Kata “ikatan batin” dan berdasarkan “Ketuhanan Yang Maha Esa” mewakili dimensi agama, bahwa pernikahan yang sah itu harus dilaksanakan secara ritual yang diajarkan agama. Sedangkan dimensi sosialnya dapat dilihat pada kata “membentuk keluarga yang bahagia”, melalui pernikahan diharapkan terbentuk lembaga atau agen sosialisasi di ranah terkecil dalam kehidupan berupa keluarga (Amri, 2020). Keluarga menjadi tempat membentuk suatu tatanan sosial yang baik, yang kemudian diharapkan berdampak luas untuk lingkungan sosial dan negara.
Sebagai negara yang menjunjung nilai-nilai ketuhanan, dengan diperkuat oleh Sila Pertama, maka dimensi agama dalam ketentuan UU Nomor 1 Tahun 1974 menjadi sangat diperhatikan. Lebih lanjut, UU tersebut mengatur tepatnya dalam Pasal 2 ayat (1), bahwa perkawinan itu sah apabila menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya (Subekti & Tjitrosudibio, 2014). Pasal tersebut memunculkan pro dan kontra dalam masyarakat, terutama yang menyangkut hal agama dan Hak Asasi Manusia. Semua kalangan agama (non-sekuler) melarang keras adanya pernikahan berbeda agama karena ajaran kitab agama-agama di Indonesia memang tidak membenarkan hal tersebut. Sedangkan kalangan yang berhaluan sekuler atau mengedepankan Hak Asasi Manusia mengingikan sebuah pengakuan akan adanya pernikahan berbeda agama.
Pada prinsipnya, semua agama yang ada di Indonesia melarang adanya pernikahan berbeda agama. Islam melarang menikahi laki-laki atau perempuan yang tidak beriman dan bukan bagian dari Islam sebagaimana yang tertera dalam Al- Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 221, Surah Al-Maidah ayat 5 dan Surah Al-Mumtahanah ayat 10. Ajaran Kristen juga melarang orang Kristiani menikahi laki-laki atau perempuan yang bukan Kristen, sebagaimana yang tertera dalam Injil Korintus 6:14-18 dan Kanon 1086. Begitu juga dalam ajaran Budha, bahwa pernikahan akan sah jika kedua mempelai mengucapkan “Atas nama Budha, Dharma dan Sangka”, dan itu tidak mungkin dilakukan oleh mempelai yang memiliki agama yang berbeda (Atmadjaja, 2016).
Ajaran Islam tidak memperbolehkan seorang muslim menikah dengan orang yang bukan muslim. Orang yang bukan muslim yang dilarang menikah dengan orang muslim dapat dikategorikan ke dalam tiga golongan. Ketiga golongan itu tertera dalam Al-Qur’an, yakni orang musyrik (Al-Baqarah ayat 221), orang kafir (Al-Mumtahanah ayat 10), dan orang Ahli Kitab (Al-Maidah ayat 5).
Penafsiran ketiga ayat tersebut memiliki perbedaan di kalangan internal umat muslim. Ada yang berpendapat mengharamkan dengan menyamakan semua golongan yang disebutkan dalam ketiga ayat tersebut, dan ada pula yang membedakannya, sehingga dapat dibedakan hukum menikahi masing-masing golongan tersebut. Kalangan pertama yang mengharamkan diwakili oleh pemikiran mufasir, yakni Hamka dan M. Quraish Shihab. Sedangkan sebagai antitesa dari kedua tokoh tersebut adalah Nurcholis Madjid, dkk.
Hamka dan M. Quraish Shihab memberikan fatwanya bahwa hukum menikahi orang musyrik dan orang kafir adalah haram. Kedua tokoh ini memiliki dasar pemikiran bahwa menikahi orang non-Islam akan memiliki dampak yang tidak baik bagi kebahagiaan dan akidah seorang muslim. Menikahi seorang non-muslim kemungkinan akan berdampak pada keturunan yang tidak mengikuti agama pasangan yang bukan muslim, hal tersebut akan bersebreangan dengan sabda Nabi SAW yang menginginkan banyaknya umat Islam di hari akhir. Ketika seorang muslim menikah dengan orang non-muslim yang nanti seorang anak kemungkinan tidak mengikuti ajaran Islam, maka orang tua yang muslim tidak bisa mewariskan agamnya, sehingga ketika telah wafat tidak ada yang mendoakannya. Tujuan pernikahan dalam Islam yakni ibadah, dan ibadah tidak akan diperoleh dari pernikahan dengan orang yang tidak mengakui Allah SWT sebagai Tuhan atau tidak mengakui kenabian Muhammad SAW. Nilai yang terkandung dalam agama akan menjadi didikan orang tua terhadap anaknya, orang tua yang berbeda agama membuat nilai yang diterima oleh anaknya menjadi terombang-ambing tanpa arah, sehingga anak tidak memiliki tujuan yang satu (Nasution, 2011).
Kedua tokoh mufasir tersebut menyamakan antara kafir dengan musyrik, persamaan tersebut bukan pada tekstualnya, melainkan pada substansinya. M Quraisy Shihab menyamakan keduanya dengan dasar penganalogian antara koruptor dengan pencuri, keduanya memiliki perbedaan penyebutan tetapi sama pada substansinya, yaitu mengambil hak orang lain. Haramnya pernikahan beda agama hanya sebatas pada golongan kafir atau musyrik saja, tidak berlaku pada ahli kitab. Bagi kaum muslimin yang hendak menikah dengan wanita ahli kitab diperbolehkan dengan syarat wanita ahli kitabnya adalah orang yang memiliki akhlak baik, tidak pernah berlaku jahat (baik-baik). Persyaratan tersebut akan menjadikan perempuan ahli kitab sebagai ladang dakwah bagi laki-laki muslim untuk disadarkan dan diajak menuju jalan Islam sedikit demi sedikit. Karena tujuan menikahi perempuan ahli kitab itu adalah jalan dakwah, maka laki-laki muslim yang akan menikahinya haruslah memiliki keimanan yang kuat. Jangan sampai laki-laki muslim yang lemah iman, menikahi perempuan ahli kitab yang militan karena dampaknya seorang muslim itu akan gampang dibawa oleh yang bukan muslimah. Pendapat kedua tokoh mufasir di atas dikuatkan dengan pendapat Ar-Razi, seorang mufasir yang menyusun kitab tafsir Kabir. Ar-Razi memandang bahwa kafir haram dinikahi, baik kafir yang musyrik (menyembah Latta, Uzza, Manat dan Hubal) atau kafir ahli kitab (meyakini bahwa Uzair dan Isa adalah anak Allah) (Nasution, 2011).
Berbeda dengan kedua mufasir di atas, Nurcholis Madjid yang merupakan seorang intelektual atau cendikiawan muslim membedakan antara arti kafir musyrik dengan ahli kitab. Perbedaan makna yang dilakukan oleh Nurcholis Madjid membuat pandangannya mengenai pernikahan beda agama juga berbeda dengan kedua tokoh mufasir di atas.
Nurcholis Madjid memandang bahwa ayat tentang larangan menikahnya seorang muslim dengan orang musyrik karena saat itu dikhawatirkan kaum musyrik melakukan penyerangan terhadap kaum muslim yang masih sedikit jumlahnya. Kata musyrik tidak hanya merujuk pada orang di luar Islam, orang Islam saja bisa dikatakan musyrik, jika ia melakukan penyekutuan terhadap Allah SWT, seperti mempercayai peramal, berbuat ria, dan menuruti hawa nafsu (Nasution, 2011).
Jika musyrik saja diperbolehkan menikah atau dinikahi oleh muslimin, maka ahli kitab dalam pandangan Nurcholis Madjid juga pastinya diperbolehkan menikah atau dinikahi oleh kalangan muslim. Tentunya yang menjadi landasan pendapatnya itu tidak akan lepas dari Surah Al-Maidah ayat 5. Bahkan, Nurcholis Majid memperluas makna ahli kitab tidak sebatas kalangan Yahudi dan Nasrani saja, tetapi semua umat beragama yang memiliki kitab, termasuk Hindu, Budha, Kong Hu Cu, dan lain sebagainya. Pendapatnya ini juga memiliki dukungan dari Ibn Jarir Atobari, seorang mufasir yang berpandangan bahwa kaum musyrik (non-muslim) yang menjadi rival muslimin ketika di Makkah itu tidak memiliki kitab suci, sedangkan kalangan non-muslim saat ini memiliki kitab suci (Nasution, 2011).
Lebih lanjut, Nurcholis Majid memaparkan alasan lainnya yang memperbolehkan seorang muslim atau muslimah menikah dengan ahli kitab. Pertama, perbedaan agama adalah sunatullah yang patut diterima sebagai sebuah keharusan. Kedua, pernikahan beda agama akan menjadi perekat hubungan cinta kasih antar umat beragama. Ketiga, kebolehan menikah dengan ahli kitab merupakan sebuah tahapan pembebasan, dari yang sebelumnya haram menikah dengan orang kafir dan musyrik menjadi boleh pada kalangan ahli kitab, dengan perkataan lain bahwa Surah 5 ayat 5 itu merupakan ayat evolusi hukum. Keempat, ayat pernikahan berbeda agama bersifat ijtihadi, yakni disesuaikan dengan waktu, tempat, dan keadaan. Bahkan ada pandangan yang lebih radikal daripada pendapat Nurcholis Madjid. Pendapat ini berasal dari pemikiran Ulil Abshar Abdallah, yang berpendapat bahwa ayat Al-Qur’an yang melarang pernikahan berbeda agama sudah tidak relevan lagi dengan keadaan saat ini, sehingga pernikahan beda agama hukumnya boleh dilaksanakan di era saat ini (Nasution, 2011).
Menyikapi kedua kubu di atas, sudah sepatutnya sebagai seorang muslim tidak lagi saling menghujat pernikahan berbeda agama. Pasalnya, di samping kalangan yang melarang adanya pernikahan beda agama, juga ada kalangan yang memperbolehkan pernikahan beda agama dengan argumen dan dasar hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. Sudah saatnya kalangan umat Islam saling menghargai dan menghormati keputusan saudaranya menikah dengan kalangan non -muslim dengan tetap saling berangkulan satu sama lain. Masyarakat muslim yang mengharamkan pernikahan beda agama juga patut untuk dihormati karena memiliki argumen dan dasar hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
Indonesia sebagai negara hukum yang menaungi berbagai macam perbedaan agama harus bisa merangkul dan bersikap akomodatif terhadap semua kalangan, termasuk dalam hal ini, kalangan yang melarang pernikahan beda agama dan kalangan yang memperbolehkan menikah beda agama. Negara tidak boleh melarang rakyatnya melakukan pernikahan beda agama karena hal itu merupakan hak setiap warga negara untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan, sebagaimana yan tertera dalam ketentuan Pasal 28B ayat (1) UUD 1945. Redaksi yang tertera dalam pasal tersebut berbunyi “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah” (Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2017). Perkawinan yang sah diatur lebih lanjut melalui Undang-Undang Perkawinan.
Sayangnya, dalam undang-undang perkawinan yakni UU No. 1/1974, tepatnya pada Pasal 2 ayat (1), pernikahan hanya akan sah jika dilaksanakan dengan hukum masing-masing agama. Dengan demikian, pasal ini tidak bisa membuka pintu bagi berlangsungnya pernikahan beda agama. Akibatnya, di Indonesia, pasangan yang berbeda agama jika memaksakan menikah, pernikahannya tidak tercatat pada Dinas Catatan Sipil ataupun Kantor Urusan Agama. Hal tersebut akan berdampak pada keberlangsungan pencatatan keluarga dan anak di kemudian hari.
Hemat penulis, sebagai kesimpulan dan jalan tengah dari setiap pro dan kontrak, negara perlu berperan dan memberikan jalan tengah dan merangkul semua golongan. Undang-Undang Perkawinan hendaknya dilakukan perubahan, terutama yang menyangkut pernikahan berbeda agama, sehingga pasangan yang berbeda agama dapat memiliki hak yang sama, yakni dicatat dalam catatan sipil. Perubahan atau revisi terhadap UU perkawinan didasari atas ketidaksejalanannya dengan ketentuan Pasal 28B ayat (1) UUD 1945, sebagaimana disebutkan di atas.
Adapun mengenai semua agama yang memiliki fatwa bahwa pernikahan beda agama dilarang, maka biarkanlah itu hanya sebatas fatwa yang harus ditaati oleh orang-orang meyakininya haram. Melakukan pencatatan teradap pernikahan beda agama bukan berarti menghalalkan dengan mengesampingkan ajaran agama-agama di Indonesia, tetapi mencatat pernikahan agama dalam rangka memberikan hak yang sama terhadap setiap pasangan di Indonesia untuk memiliki pengakuan atas pernikahan (dengan dicatatkan) dan untuk menciptakan kebahagiaan sebagaimana pasangan yang lainnya.
Referensi
Amri, A. (2020). Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam. Media Syari’ah, 48-64.
Atmadjaja, D. I. (2016). Hukum Perdata. Malang: Setara Press.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. (2017). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI.
Nasution, S. (2011). Pernikahan Beda Agama Dalam Al-Qur’an. Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau.
Subekti, R., & Tjitrosudibio, R. (2014). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Balai Pustaka.

Emil Maula sedang menjalani pendidikan tinggi di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Fakultas Syari’ah dan Hukum prodi Hukum Tata Negara (Siyasah). Emil aktif di berbagai kegiatan ekstra kampus, kegiatan sosial kemanusiaan, dan kegiatan kepenulisan dan menghasilkan karya berupa dua buah buku fiksi.