Menyegarkan Kembali Pancasila

    525

    Watak dari Pancasila adalah pluralitas. Artinya ketika disusun, Pancasila bertujuan untuk menghimpun semua kelompok dan manaungi setiap golongan yang masih bernaung dalam panji merah putih. Pancasila tidakbisa dilepaskan dari semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang mencerminkan semangat perbedaan, sebab semboyan tersebut merupakan jiwa dan ruh dari Pancasila yang plural itu sendiri.

    Dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya Pancasila adalah ideologi yang terbuka yang fleksibel. Dalam artian, Pancasila selain terus berdialektika dengan konteks sosial dan zaman, ia dalam dirinya menerima segala perbedaan serta masukan yang positif baik dari agama, ideologi, atau pemikiran filsafat manapun, sebab Pancasila itu sendiri adalah simbol persatuan dari kemajemukan.

    Namun, yang menjadi masalah adalah ketika pemahaman Pancasila yang sebenarnya sangat humanistis dan fleksibel justru ditutupi oleh penafsiran para elit politik dan birokrat yang reaksioner dan bersikap oportunis. Demi meraup suara umum, para politisi berbicara seolah-olah sebagai penafsir yang hakiki, sehingga kadangkala Pancasila yang sebenarnya menaungi dan melindungi hak-hak segenap bangsa, justru malah dijadikan alasan untuk mendeskreditkan kelompok minoritas atau oposisi.Segala bentuk monopoli terhadap penafsiran ideologi Pancasila sangat tidak dibenarkan, apalagi jika Pancasila hanya dijadikan tameng oleh segelintir kelompok untuk membenarkan segala perbuatannya yang tercera dan tidak mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan dan keberagaman.

    Belakangan ini pemerintah berusaha untuk menggalakkan kembali penafsiran ulang mengenai Pancasila lewat Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Alih-alih menyegarkan kembali penafsiran Pancasila yang telah sekian tahun mati suri, pemerintah justru berusaha merumuskan penafsiran baru yang sama kaku dan dogmatiknya dengan apa yang dilakukan oleh Orde Baru lewat penataran P4.

    Memang kita tak perlu heran, ketika suatu ideologi jatuh ketangan politisi, maka tak ayal ideologi tersebut menjadi alat untuk mendukung sistem politik yang tengah berdiri. Para politisi berusaha menghias dirinya seolah-olah paling Pancasilais dan menyerang lawan politiknya dengan dakwaan anti Pancasila. Suasana seperti ini, dimana pemerintah dan politikus memonopoli penafsiran Pancasila, justru memperburuk citra Pancasila dan menghambat perkembangannya.

    Jika kita memang ingin jujur bahwa Pancasila adalah ideologi terbuka yang terus berdialektika dengan zaman, maka sudah sepatutnya kita mengembangkan dan merumuskan ulang ide mengenai Pancasila secara bebas dan terbuka. Pancasila bukanlah monumen yang berupa patung garuda atau hari yang diperingati pada waktu tertentu. Pancasila adalah ide, Pancasila adalah semangat dari manusia Indonesia. Sebagai ide dan semangat masyarakat, sudah sepantasnya jika Pancasila “dilepas” ke masyarakat luas dan diberi keleluasaan dalam berdialektika dengan konteks zaman.

    Sejarah Penafsiran Pancasila

    Dalam sejarah, penggali Pancasila adalah Bung Karno, tetapi Pancasila itu sendiri tidak serta-merta adalah ide orisinal Bung Karno, Bung Karno dalam berbagai pidatonya sendiri mengatakan bahwa dia hanya sebagai penggali Pancasila, bukan penemu. Sejarah juga mencatat bahwa Mohammad Yamin dan Prof. Supomo mempunyai rumusan mengenai dasar negara yang hampir mirip dengan Pancasila ala Bung Karno. Bahkan menurut Prof. Anhar Gonggong, kondifikasi Pancasila bahkan masih terus terjadi hingga pada masa Demokrasi Liberal. Ini menunjukkan bahwa pada masa terdahulu ada kebebasan dan keleluasaan dalam menafsirkan dan menginterpretasi ideologi negara.

    Ketika Negara Republik mulai stabil pasca perang kemerdekaan, Pemerintah mendirikan Badan Konstituante yang bertujuan menggali kembali dasar dan falsafah Negara. Dalam tiap sidang Konstituante, walaupun berlangsung panas tetapi mereka berdialog secara demokratis, beradab, berkualitas dan sopan. Bisa dibilang masa Demokrasi Liberal adalah masa dimana segala kebebasan berpendapat dan berekspresi benar-benar dirasakan oleh Bangsa Indonesia.

    Penggalian identitas falsafah Pancasila pada era Demokrasi Liberal (1950-1959), bersifat produktif dalam artian kaya aneka dan pendapat. Kaum intelek bebas untuk menafsirkan Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa. Di Badan Konstituante sendiri, berbagai golongan secara terbuka dan bebas berani mengemukakan pendapatnya tentang Pancasila. Tak ayal kritik tajam juga dilontarkan dari berbagai kalangan terhadap Pancasila.

    Contohnya adalah kritik dari golongan Islam. Pada awalnya kelompok Islamis menginginkan dasar negara adalah syariat Islam. Keberatan mereka terhadap Pancasila karena Pancasila walau dalam silanya mengandung kebenaran, namun didalamnya mengandung ketidakjelasan, apakah Pancasila bersifat religius atau sekularistik.

    Golongan Sosialis dan sekuler yang diwakili oleh filsuf terkemuka, Sutan Takdir Alisjabana, menganggap bahwa Pancasila harus digali dan dirumuskan kembali, sebab Pancasila dalam dirinya mengandung kontradiksi dan ketidakjelasan basis falsafahnya (entah kiri atau kanan).

    Golongan Komunis dan minoritas, justru menilai Pancasila sebagai bentuk prinsip dasar yang penuh kompromi, sehingga mampu menaungi semua. Memang lucu juga bahwa belakangan ini ada tuduhan bahwa kaum komunis di Indonesia sangat anti Pancasila sehingga lebih dari 1 juta orang layak disembelih. Dalam polemiknya di Badan Konstituante, golongan komunis (PKI dan Murba) secara bulat menerima Pancasila sebagai opsi terbaik dan moderat untuk diletakkan sebagai dasar negara.

    Perdebatan tersebut berhenti atas perintah Bung Karno lewat Dekrit Presiden, 5 Juli 1959 dimana lewat dekrit tersebut, masa Demokrasi Liberal mulai berganti dengan Demokrasi Terpimpin yang otoriter. Walaupun saat itu Bung Karno menghentikan polemik tentang Pancasila, setidaknya Bung Karno terus “berkreasi” melontarkan konsep Nasakom, Manipol-USDEK, Resopim, Trisakti dan Berdikari sebagai suatu bentuk penafsiran  terhadap falsafah Pancasila. Bung Karno sendiri membuat garis tegas bahwa Pancasila adalah ideologi kiri dan bersumber pada paham sosialisme.

    Namun ketik Orde Baru, Suharto berusaha untuk melakukan “pemurnian” terhadap Pancasila. Pemurnian tersebut dilakukan Suharto atas dasar asumsi bahwa bung Karno dan rezimnya telah menyelewengkan Pancasila kedalam Komunisme yang dianggap tak ber-Tuhan. Suharto segera melenyapkan atribut-atribut ideologi kiri dari Pancasila. Suharto bersama para oposisi Rezim Orde Lama kemudian membangun penafsiran baru mengenai Pancasila.

    Penafsiran baru dan segar mengenai Pancasila yang dilakukan diawal masa pemerintahan Orde Baru, membuat wacana mengenai Pancasila disambut hangat oleh setiap orang, Namun, untuk menjaga kemurnian dan pengamalan Pancasila secara konsekuen, Suharto kemudian menghentikan segala polemik dan  aktivitas perdebatan mengenai tafsiran Pancasila. Dalam ceramahnya di Universitas UGM tahun 1970-an, presiden menegaskan bahwa pemahaman mengenai Pancasila harus tunggal dan tidak dibenarkan penafsiran perorangan.

    Sebagai akibat dari penutupan pintu “ijtihad” atau inovasi yang dilakukan oleh Rezim Orde Baru, Pancasila tidak lagi dpahami sebagai falsafah yang terbuka untuk dipikir dan dikembangkan, tetapi hanya menjadi semacam slogan negara yang secara formalitas dibaca secara berulang-ulang dalam setiap upacara. Sayangnya, justru di era orde baru, Pancasila menjadi absurd. Pancasila menjadi alat para birokrat untuk melindungi kepentingan mereka, Orang dilarang mengkritik penafsiran tentang Pancasila (ada tafsir Tunggal) sehingga secara akademik Pancasila hanya berlaku bagai dogma.

    Orang hanya tahu Pancasila itu bukan sosialis atau kapitalis, bukan sekuler atau religius, bukan kiri atau kanan, namun penjabaran filosofis dan epistemologis tentang itu semua TIDAK ADA.. Akhirnya, Pancasila menjadi ideologi yang dangkal secara filosofi dan oportunis secara praktis. Ini akibat Pancasila hanya dipahami sebagai doktrin bernegara bukan filsafat Negara.

    Suatu bangsa pasti mempunyai watak dan ciri khas dalam menghadapi kemajuan zaman, entah itu Amerika, China, atau Jepang. Pancasila adalah watak dan kepribadian bangsa Indonesia itu sendiri. Pada dasarnya Pancasila bersifat luwes dan fleksibel, ia bisa menjadi sosialis dan liberal, namun yang pasti sila-sila dalam Pancasila mencerminkan nilai-nilai universal yang diakui oleh segenap manusia secara menyeluruh. Jika kita merenungi sila-sila dalam Pancasila dan secara independen berusaha menafsirkan dengan pikiran terbuka dan jernih, maka butir-butir sila dalam Pancasila sangat sejalan dengan nilai-nilai universal seperti kebebasan, keadilan, kemanusiaan, ketuhanan, dan sebagainya.

    Falsafah pancasila akan benar-benar berkembang dan dihayati secara konsekuen dengan cara “membumikan” Pancasila dan membuka lebar bagi kaum awam (masyarakat) untuk mengkaji dan memahaminya. Pancasila saat ini dianggap sebagai milik elit politik dan penafsirannya dikontrol ketat oleh Pemerintah. Pancasila yang bersifat dogmatis dan birokratis inilah yang membuat masyarakat malas membahas Pancasila dan para intelektual enggan mengembangkan ide mengenai Pancasila.

    Pancasila adalah milik semua, bukan milik negara. Jika kita mengambil ilustrasi dari filosofi Jawa dan filosofi Cina yang masih berkembang hingga saat ini, perkembangan kedua falsafah tersebut disebabkan karena keduanya berkembang lewat masyarakat umum. Filosofi Cina dan Jawa dilestarikan oleh orang orang tua untuk mendidik anak dan dipahami oleh si anak sebagai prinsip yang harus ia pegang teguh. Filosofi Jawa dan filosofi Cina berjalan secara alami dan melekat di kalbu masyarakat tanpa dorongan dan intervensi dari negara.

    Justru jika negara menganggap bahwa kaum elit politik yang berhak menafsirkan Pancasila, maka Pancasila hanya semakin terkubur dalam lubang sejarah, sunyi dan dilupakan oleh masyarakat.. Lemparkan Pancasila ketengah-tengah masyarakat, biarkan dia hidup, berdialog dengan masyarakat, budaya, ideologi, filsafat, dan agama secara bebas. Membebaskan Pancasila dari belenggu birokrasi dan otoritas negara, justru akan membuat “Sang Garuda Pancasila” terbang bebas keseluruh nurani manusia Nusantara.