Menyebarkan Moderasi Beragama dan Menutup Ruang Intoleransi

179
Sumber gambar: https://www.libertarianism.org/publications/essays/effects-liberty-religion

Kemerdekaan beragama adalah hal yang substansial di mana dalam konteks setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Di Indonesia, konsep ini termanifestasi dalam konstitusi dan dasar negara bangsa Indonesia di mana negara memberikan ruang yang luas dan kebebasan bagi tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, dan untuk beribadat menurut agama dan keperyaannya itu. Namun, realitanya hal itu masih jauh panggang dari api, kemerdekaan beragama masih sulit dilakukan.

Ironisnya, hal itu menjadi tantangan yang sulit diselesaikan dan selalu menjadi masalah yang berulangkali di bumi pertiwi. Hal ini terlihat dari kondisi yang alih-alih memberikan kemerdekaan untuk memeluk agama dan beribadat sesuai agamanya, melainkan masih seringnya kelompok minoritas mendapatkan ancaman dan seringkali persekusi atas ritual ibadah yang dilakukan.

Kasus terkini terjadi di Bandar Lampung, di mana beberapa warga melakukan tindakan persekusi terhadap jemaat Gereja Kristen Kemah Daud di Rajabasa.  Kasus ini menjadi viral di media sosial lantaran ada tindakan-tindakan yang cenderung intimidatif, melarang dengan ancaman, dan membubarkan. Kelompok intoleran itu membubarkan peribadatan dengan alasan gereja yang digunakan belum mendapatkan izin.

Kasus ini bukanlah hal yang baru, seperti  pada bulan Juli 2022, pernah terjadi penyerangan terhadap Gereja Santo Paulus Bandar Lampung. Selain itu, pelarangan beribadah juga dialami oleh beberapa jemaat gereja salah satunya oleh Jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Cilegon, serta banyak kasus lainnya yang berulang.

Data longitudinal SETARA Institute (2007-2022) menunjukkan, telah terjadi 573 gangguan terhadap peribadatan dan tempat ibadah dalam satu setengah dekade terakhir. Gangguan tersebut mencakup pembubaran dan menolakan peribadatan, penolakan tempat ibadah, intimidasi, perusakan, pembakaran, dan lain sebagainya. Seluruh gangguan tersebut menimpa kelompok minoritas, baik dalam relasi eksternal maupun internal agama.

Sebagai non-derogable rights, kebebasan beragama berarti bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara dalam keadaan apapun. Namun, dalam praktiknya hal ini selalu menimbulkan masalah dan tantangan di lapangan. Pasal 18 Deklarasi Universal HAM menyatakan setiap orang berhak atas berpikir, berkeyakinan, dan beragama.  Hal ini selaras dengan UUD NRI 1945 yang menempatkan HAM dalam porsi yang cukup signifikan sebagaimana tercantum dalam Pasal 28A sampai 28J.

Akhirnya, menghadapi persoalan intoleransi, kita harus membangun dan memupuk toleransi dan membuka ruang dialog secara luas. Hal ini harus teraktualisasi dalam masyarakat beragama dan berkeyakinan yang perlu didorong untuk memiliki sikap toleran dan moderat. Namun, semua pihak perlu untuk terus membangun kesadaran itu dan negara memastikan kemerdekaan beragama terlaksana dengan baik di seluruh penjuru negeri dengan mencegah dan menutup ruang intoleransi, serta menindak tegas segala bentuk intoleransi di Indonesia.