
Bangsa Indonesia kembali harus berduka akibat wajah persepakbolaan nasional kembali berlumuran noda dan penuh tangisan pilu yang sangat mendalam. Sepak bola yang semestinya menjadi panggung hiburan berubah menjadi kelam dengan berita banyaknya nyawa manusia yang terenggut pada kerusuhan sepak bola di Stadion Kanjuruhan Malang usai pertandingan Arema Fc vs Persebaya Surabaya pada lanjutan kompetisi Liga 1, pada hari Sabtu, (1/10). Malam itu menjadi tragedi terbesar sepanjang sejarah sepak bola.
Seperti diketahui, kerusuhan tersebut menewaskan setidaknya 127 orang dan 180 luka-luka. Namun, hal itu masih terus dalam pendataan dan bukan tidak mungkin akan terus bertambah jumlahnya. Korban jiwa dalam kerusuhan di Stadion Kanjuruhan ini telah menjadi bencana terbesar kedua dalam sejarah sepak bola global. Pada tahun 1964, sebanyak 328 orang meninggal dunia di Stadion Estadio Nacional di Lima, Peru, dalam pertandingan antara Peru dengan Argentina. Kasus ini terjadi juga setelah polisi menembakkan gas air mata yang menyebabkan eksodus massal yang hingga saat ini juga dianggap menjadi salah satu faktor kerusuhan yang terjadi Malang.
Dalam konferensi persnya, Presiden Joko Widodo memerintahkan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri), dan Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh tentang pelaksanaan pertandingan dan prosedur pengamanan penyelenggaraan sepak bola di Tanah Air. Selain itu, untuk melakukan investigasi dan mengusut tuntas tragedi yang menewaskan dan melukai ratusan orang ini dalam pertandingan sepak bola. Lebih lanjut, presiden meminta agar kompetisi Liga 1 dihentikan sementara
Tidak dapat dipungkiri, bahwa melindungi nyawa dalam sepak bola adalah sebuah keharusan. Istilah bahwa, ‘nyawa lebih penting dari sepak bola’ hendaknya tidak menjadi sekedar slogan bagi setiap para insan sepakbola di seluruh Indonesia. Tragedi sepak bola di Stadion Kanjuruhan Malang harus menjadi pengingat sekaligus menjadi penanda bagi seluruh bangsa Indonesia akan peristiwa kelam ini agar tidak pernah sekalipun terulang kembali.
Peristiwa kerusuhan akibat pendukung tim sepakbola yang fanatik berlebihan dan cenderung menggunakan cara kekerasan saat tidak menerima kekalahan tim idolanya harus mengubah mental dan sikapnya agar suportif dan disiplin untuk tidak melakukan tindakan kekerasan dan pengrusakan yang bahkan menimbulkan kehilangan nyawa. Polisi selaku aparat penegak hukum juga seharusnya menahan diri dan tidak menggunakan langkah ekstrim seperti menembakkan air mata, serta menggunakan cara lain untuk mencegah dan mengatasi kekacauan tersebut sesuai dengan ketentuan yang ada dan tetap berlandaskan pertimbangan hukum dan hak asasi manusia.
Mengingat fanatisme yang bukan hal baru dalam dunia persepakbolaan, sudah seharusnya langkah-langkah pencegahan dilakukan dengan beragam pilihan. Harus ada kesadaran, sinergi, dan komitmen bersama para pihak terkait hal ini, bukan hanya di penyelenggara dan polisi, namun juga tim dan pemain sepak bola, serta para pendukungnya. Hal ini penting untuk mencegah agar kejadian miris yang sama terjadi lagi. Komunikasi PSSI dengan tim dan pemain sepak bola, serta kepolisian, maupun ajakan dari tim dan pemain sepak bola untuk dukungan damai dan sportif kepada para pendukungnya juga penting untuk dilakukan.
Sebelum perstiwa ini terjadi, lembaga penelitian Save Our Soccer (SOS) menyatakan setidaknya sudah ada 78 pendukung sepak bola yang tewas sejak bulan Januari 1995 sampai Juni 2022. Jika dilihat berdasarkan penyebab kematiannya, mayoritas pendukung sepak bola tewas karena pengeroyokan. Ada pula yang meninggal karena jatuh dari kendaraan dan tusukan benda tajam.
Edukasi terkait dengan pentingnya memahami, bahwa sepak bola adalah persahabatan dan sportivitas harus didorong penuh agar seluruh pendukungnya juga dapat menyadari semangat itu. Hal ini menjadi keharusan untuk memutus rantai kekerasan, permusuhan, dan dendam antarpendukung yang selama ini berkelindan dalam bingkai fanatisme sepak bola.
Sebaliknya, ketegasan wajib ditunjukkan PSSI, beserta para pemangku kepentingan terkait dan komitmen penuh dalam penyelenggaraan kegiatan sepak bola yang wajib menjamin keamanannya. Sebagai induk organisasi sepak bola nasional, PSSI harus menindak tegas, bahkan tidak segan, untuk memberikan sanksi atas pelanggaran-pelanggaran dalam penyelenggaraan hajatan sepak bola nasional.
Nyawa adalah hak asasi yang dimiliki manusia. Sudah sejatinya perlindungan terhadap hal itu menjadi sebuah keharusan. Pasal 28 huruf I ayat (4) UUD 1945 menjelaskan perlindungan, pemajuan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara. Oleh karena itu, penting untuk mengevaluasi kembali penyelenggaraan sepak bola di Indonesia. Harus ada kemauan dan upaya luar biasa dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, PSSI, kepolisian, tim dan pemain sepak bola, serta pendukung sepak bola, agar bersikap suportif dan berkomitmen untuk tidak menggunakan kekerasan dalam bentuk apapun, serta bersama-sama menjaga agar sepak bola diselenggarakan dengan kompetitif dan suportif, serta tidak lagi memakan korban jiwa dan menyisakan tragedi.

Galang Taufani adalah Managing Editor di Suara Kebebasan. Galang adalah lulusan program Sarjana Hukum (2013) dan Magister Hukum (2016) di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Sebelum bergabung di Suara Kebebasan, Galang pernah bekerja sebagai wartawan, peneliti, dan dosen sejak tahun 2013. Galang menulis banyak karya berupa buku, jurnal, dan artikel ilmiah. Bidang yang digeluti olehnya, yaitu adalah bidang Hukum, Kebijakan Publik, Pajak, Filsafat, dan Sastra.