Menjajaki Glodok Sebagai Kawasan Budaya dan Wisata Pecinan di Jakarta

    420
    Sumber Gambar: https://www.antarafoto.com/bisnis/v1634129416/rencana-penataan-kawasan-glodok

    Masih dalam nuansa Imlek yang kental dengan ornamen merah di depan pagar-pagar rumah, deretan lampion yang menjuntai di atap-atap mal, dan pertunjukan barongsai di televisi, tidak afdol rasanya kalau belum membahas daerah Glodok dan sekitarnya. Glodok dengan area Petak Sembilan-nya terkenal sebagai kawasan pecinan terbesar di Jakarta. Bukan tanpa sebab, pasalnya, kita akan lebih banyak menemukan masyarakat keturunan Tionghoa yang sibuk membuka gerbang toko atau yang pagi-pagi buta sudah mengangkut barang dagangan dari kota seberang.

    Glodok adalah sebuah kawasan yang kini menjadi kelurahan di Kecamatan Taman Sari Jakarta Barat. Kata Glodok konon katanya berasal dari Bahasa Sunda yakni ‘golodok’ yang berarti ‘pintu masuk rumah’. Hal ini berkaitan dengan fungsi utama kawasan Glodok yang menjadi pintu masuk Sunda Kelapa (cnnindonesia.com/06/02/2021).

    Awalnya, Glodok menjadi tempat pilihan VOC untuk mengisolasi warga Tionghoa. Hal itu dilakukan demi keamanan para kolonis Belanda dan warga penghuni benteng pasca Perang China yang diawali dengan pembantaian 10.000 orang Tionghoa di dalam Benteng Batavia pada bulan Oktober 1740 silam. Masa ini merupakan kondisi ‘buram’ bagi warga keturunan Tionghoa karena dianggap sebagai sumber masalah-masalah sosial yang terjadi pada saat itu (Voi.id, 4/6/2021).

    Dihuni oleh dominasi warga Tionghoa yang terkenal ulet dan tangguh dalam berdagang, kawasan Glodok pun seringkali disebut sebagai motor penggerak ekonomi Jakarta pada zaman dulu, meskipun pernah mengalami penurunan akibat krisis ekonomi pada tahun 1998. Sejarawan dan jurnalis, Alwi Shahab, dalam tulisannya yang berjudul “Glodok-Pancoran 1872” pernah menyatakan bahwa Glodok dan Pancoran berkembang pesat menjadi pusat ekonomi kota Batavia pada tahun 1872. Terlebih lagi, kondisi geografis kawasan tersebut  di mana terdapat sungai atau kanal yang menghubungkan Glodok dan Pancoran menjadi salah satu urat nadi transportasi bagi sejumlah perahu yang memuat barang-barang dagangan (Andiani & Ekomadyo,  2021). Hal tersebut menjadi awal mula kawasan pecinan yang saat ini telah berkembang menjadi pusat bisnis dan perdagangan tertua dan terbesar di Kota Jakarta. Hingga saat ini, dapat kita temui banyak pedagang grosir besar hingga eceran di kawasan Glodok.

    Bicara tentang Glodok, kawasan pecinan Petak Sembilan ini terdapat bangunan-bangunan yang arsitekturnya masih berpola Tionghoa. Hal ini terlihat dari atap rumah yang terdapat di area ini. Kebanyakan rumah-rumah di kawasan ini berfungsi sebagai rumah tinggal juga sebagai toko (sering disebut rumah toko) dengan dipenuhi hiasan berornamen Tionghoa serta keberadaan klenteng-klenteng yang masih terjaga kondisinya. Maraknya pembangunan arsitektur bergaya Tionghoa dan keberadaan ini membuat kawasan Glodok juga memiliki julukan lain, yakni Chinatown. Terdapat focal point yang menguatkan citra Chinatown, seperti Vihara Jin De Yuan, Vihara Toasebio, Pantjoran Tea House, Gereja Santa Maria De Fatima, dan Gedung Chandra (Kenny & Choandi, M, 2021).

    Selain itu, ciri khas yang melekat pada kawasan Glodok adalah sirkulasi pasar di gang-gang kecilnya. Sebut saja Gang Gloria, pedagang didominasi oleh pedagang buah, setelah itu berganti dengan makanan jadi. Sedangkan untuk area pedestrian jalan pancoran produk dagangan yang dijual terdapat obat-obatan serta beraneka ragam barang kelontong (Andiani & Ekomadyo, 2021). Tak hanya menyediakan obat-obatan dan barang kelontong, sebagian dari mereka menjual berbagai makanan jadi dan tak sedikit pula yang menjual produk fashion seperti baju, kacamata, dan aksesoris. Kawasan pecinan yang dikenal dengan kawasan etnis Tionghoa, nyatanya tidak hanya terdapat penjual dan pembeli dari etnis tersebut namun juga etnis Betawi, Jawa, dan lain-lain.

    Karakter yang terbentuk pada kawasan pecinan di Jakarta Barat dengan kawasan pecinan lainnya ini ialah pemakaian ruang publik sebagai area perdaganga. Hal ini bertujuan untuk dapat menarik pengunjung yang datang ke kawasan tersebut untuk dapat langusng melihat barang dagangan karena kondisi ruang yang tersedia sempit dan bukan merupakan jalan utama. Masing-masing tempat tersebut memiliki karakter yang melekat pada kawasannya. Di Pasar Petak Sembilan mempunyai karakter yang khas sebagai pusat pasar di kawasan pecinan. Hal ini dapat dilihat dari barang jualan yang terdiri dari berbagai macam keperluan peribadatan Tionghoa di area depan dan bahan pangan mentah hingga jadi pada area dalam. Lain halnya dengan Jalan Pancoran, Jalan Pancoran, yang mempunyai karakter yang khas sebagai area yang menyediakan pengobatan herbal dan obat-obatan lainnya. Hal ini terlihat dalam ruang yang tercipta dengan ruko-ruko yang bertuliskan pengobatan tradisional khas Tionghoa.

    Runtutan penjabaran di atas membuktikan bahwa riwayat kawasan Glodok sebagai fenomena place-making, yaitu proses di mana masyarakat melakukan partisipasi dalam membentuk ruang interaksi dan ruang representasi bersama. Di dalamnya, terdapat proses perencanaan, desain, manajemen dan pemrograman untuk pembentukan ruang tersebut. Tidak hanya sebatas merancang, place-making dilakukan demi menyatukan masyarakat dan mempertahankan kearifan lokal (Tamariska & Ekomadyo, 2017).

    Dari fenomena ini, kawasan Glodok, dengan beragam latar sejarah dan budayanya, dapat menjadi kawasan wisata sekaligus tempat bersejarah unik. Setiap kawasan pecinan mempunyai makna, identitas, dan sejarah sehingga tempat tersebut memiliki karakter khas yang membedakannya dengan kawasan pecinan lainnya. Karater khas ini yang menjadi jiwa pasar yang terus bertahan hidup dalam ruang perekonomian kota. Dengan menjadi favorit tersendiri bagi turis yang datang, kawasan Glodok yang dijadikan wisata sejarah dan budaya akan mendatangkan keuntungan yang sangat besar bagi ekonomi lokal yang berdampak pada devisa negara. Ditambah lagi, dengan eksistensi kawasan Glodok, warga keturunan Tionghoa juga diakui dan dihormati. Hal ini juga mendorong semakin eratnya tali toleransi antar masyarakat di Jakarta, sekaligus Indonesia.

     

    Referensi

     Artikel

    https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20210205024507-269-602526/riwayat-glodok-si-kepala-naga-jakarta Diakses pada 3 Februari 2022, pukul 19.00 WIB.

    https://voi.id/memori/6814/geger-pacinan-1740-banjir-darah-tionghoa-di-batavia Diakses pada 7 Februari 2022, pukul 16.45 WIB.

    Jurnal

    Andiani, N, Ekomadyo, A. (2021). Menelusuri Ruang Ekonomi Kota sebagai Genius Loci di Kawasan Pecinan Jakarta Barat. Volume 4 (3). Diakses melalui https://ejournal.upi.edu/index.php/jaz/article/view/38124 pada 4 Februari 2022, pukul 15.12 WIB.

    Kenny & Choandi, M. (2021). Ruang Budaya Glodok, Antara Berhuni, Budaya, dan Adaptasi. Vol 3 (1). Diakses melalui https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/10780 pada 4 Februari 2022, pukul 16.06 WIB.

    Tamariska, S & Ekomadyo, A. (2017). ‘Place-Making’ Ruang Interaksi Sosial Kampung Kota, Studi Kasus: Koridor Jalan Tubagus Ismail Bawah, Bandung. Diakses melalui http://digilib.mercubuana.ac.id/manager/t!@file_artikel_abstrak/Isi_Artikel_365272025408.pdf pada 4 Februari 2022, pukul 16.31 WIB.