Menjaga Perdamaian dengan Pasar Bebas

    506
    Sumber gambar: https://media.hinrichfoundation.com/media/i2chx2qf/peace-and-war-1-736x414.jpg?anchor=center&mode=crop&width=768&height=432&rnd=132545177951770000

    Istilah kapitalisme yang sinonim dengan pasar bebas sering dikaitkan dengan kolonialisme, imperialisme, dan peperangan. Dalam film Ateis, film  yang populer di tahun 1974, menerangkan tokoh Rusli, seorang aktivis kiri yang pro kemerdekaan, menyebut bahwa Perang Dunia Kedua sebagai “Perang Kapitalisme”.

    Bahkan, Koran  Kompas,  koran ternama di Indonesia memberi pernyataan bahwa peperangan modern terjadi karena adanya kepentingan kapitalisme dengan dasar untuk mengakumulasi (menumpuk) keuntungan untuk segelintir pihak yang dituduh sebagai kapitalis (Kompas, 2009).

    Narasi negatif terhadap kapitalisme memang sudah tak asing lagi didengar oleh masyarakat Indonesia. Melekatnya image kapitalisme dengan penjajahan dan imperialisme merupakan buah dari Perang Dingin di masa lalu, yang membuat para politisi senior Indonesia, menyebut istilah Neo-Kolonialisme dan Imperialisme (Nekolim) terhadap negara-negara yang pro pasar bebas (kapitalisme).

    Pun ketika terjadi peperangan di Irak, Suriah, atau wilayah konflik lainnya, kapitalisme dituduh sebagai penanggung jawab utama dengan alasan mereka ingin ‘bisnis senjata laris manis’. Padahal, tanpa adanya perang pun bisnis senjata akan tetap ada (dan siapapun  tahu bahwa tentara yang kuat justru mencegah peperangan).

    Artikel ini mengajak para pembaca untuk melihat sudut pandang lain dalam memandang kapitalisme dan perang. Jika paradigma awal Anda adalah ‘Kapitalisme atau pasar bebas adalah biang peperangan’, bagaimana jika kita balik menjadi: ‘kapitalisme mencegah negara-negara untuk berperang’.

    ***

    31 Januari 1990 adalah momen bersejarah bagi masa depan dunia. Ribuan warga Moskow Berjejal membentuk antrean panjang hingga beberapa kilometer di pusat kota, Pushkinskaya Ploshchad. Apa yang membuat warga Moskow rela mengantri begitu panjang? Jawabannya, warga Moskow ingin datang di hari pertama pembukaan restoran cepat saji, McDonald’s, yang saat ini sudah kita anggap seperti restoran umum (id.rbth.com, 31/1/2019).

    Momentum tersebut memang biasa, namun sangat berpengaruh bagi masa depan dunia, yaitu berakhirnya Perang Dingin. Dengan dibukanya restoran cepat saji yang merupakan ikon Amerika Serikat di Uni Soviet, era Perang Dingin dianggap sudah berakhir. Amerika Serikat dan Uni Soviet yang dianggap rival abadi, akhirnya menjalin kerja sama yang luas dibidang ekonomi.

    McDonald’s adalah simbol keakraban dua raksasa dunia yang sebelumnya selalu bertikai. Kerjasama ekonomi ini juga diikuti dengan perjanjian nuklir kedua negara dan kesepakatan untuk menjaga perdamaian.

    Peristiwa McDonald’s di Uni Soviet merupakan contoh dari masa lalu yang membuktikan bahwa kerja sama ekonomi dan perdagangan bebas antar negara menuntut perdamaian. Di masa yang sama, pada tahun 1990, hubungan diplomatik dan kerjasama di bidang ekonomi antara China dan Indonesia juga terjalin kembali.

    Indonesia yang pada tahun 1966 memutus hubungan diplomatik dengan Tiongkok karena masalah ideologi pasca G30S-PKI, akhirnya kembali berjabat tangan dengan Tiongkok. Kerja sama ekonomi dan impor teknologi pertanian atas persetujuan Presiden Suharto ini menandakan kedua negara secara resmi telah berhenti bertikai dan melupakan masa lalu.

    Ketika kedua negara saling membuka hubungan dan menjalin kesepakatan dalam bidang ekonomi, itu berarti kedua negara tersebut berkomitmen untuk menjaga perdamaian karena perdagangan  bilateral tersebut juga mensyaratkan komitmen hubungan yang saling menguntungkan demi pembangunan ekonomi di negara masing-masing.

    Gartzke dalam makalahnya yang berjudul “The Capitalist Peace”, di American Journal of Political Science, mengatakan keterbukaan suatu negara dengan negara lain demi kepentingan ekonominya kemudian menimbulkan sebuah ketergantungan. Ketergantungan tersebut memudahkan terjadinya perdagangan antar-negara yang nantinya juga berujung pada kerjasama (Gartzke, 2007).

    Perdagangan yang terjadi melalui kerja sama itulah yang secara tidak langsung memberikan dampak pada terciptanya perdamaian sekaligus memperkecil konflik-konflik yang dapat menyebabkan perang. Perang umumnya terjadi karena perebutan sumber daya. Dengan adanya perdagangan, perebutan sumber daya dapat dicegah karena negara-negara yang ada dapat menyediakan apa yang dibutuhkan oleh para mitranya.

    Misalnya, Eropa yang surplus gandum dan kapas dapat menjual produknya dengan harga murah kepada Indonesia yang kekurangan dua produk tersebut. Sedangkan Indonesia, bisa mengirim karet, gas, dan baja, yang sangat dibutuhkan oleh negara-negara Eropa.

    Dengan melihat contoh di atas, apakah Indonesia dan Eropa sewaktu-waktu bisa berperang? Jawabannya tidak. Selama hubungan baik, termasuk arus perdagangan dan kerja sama antara Indonesia dan Eropa tetap terjaga, hal ini akan membawa ‘berkah’ perdamaian.

    Dengan kata lain, pasar bebas  ‘menjaga’ tiap-tiap negara agar tidak berkonflik. Dengan adanya perdagangan, masing-masing negara akan saling membutuhkan dan mempererat kerjasama yang saling menguntungkan.

    ***

    Pakar hubungan internasional, Patrick J. McDonald, mengatakan kapitalisme pada era modern telah membantu mengikis problem-problem antar negara yang pada zaman dahulu melatarbelakangi peperangan antar bangsa. Jika satu bangsa kekurangan sumber daya alam atau manusia untuk menggerakkan negaranya, mereka tak perlu memerangi atau menjajah negara lain untuk mendapatkan sumber daya itu. Dengan sistem kapitalisme atau perdagangan, suatu negara bisa mendapatkan apa yang dibutuhkan (McDonald, 2010).

    Kapitalisme juga mendorong agar negara-negara  untuk selalu bernegosiasi  secara damai untuk menyelesaikan masalah dengan negara sahabatnya, ketimbang mengumumkan deklarasi perang. Kapitalisme juga menekankan bahwa keuntungan yang diperoleh dari perang jauh lebih kecil dibandingkan dengan biaya pertempuran. Dengan kata lain, pasar bebas mendorong pembagian keuntungan antar negara melalui jalan perdagangan dan pertukaran sumber daya. Jalan ini dianggap lebih memungkinkan dalam mewujudkan perdamaian dan kemakmuran ketimbang perang (McDonald, 2010).

    Gartzke menambahkan bahwa pola pembangunan ekonomi di era ini memiliki sifat dan pola ketergantungan yang kuat, karena mana masing-masing negara berpikir mereka bisa mendapatkan produk yang murah, akses penjualan yang mudah, serta alih teknologi yang cepat melalui perdagangan bebas. Jadi, perdagangan bebas terbukti mampu mencegah terjadinya perang (Gartzke, 2007).

    Pendapat Gartzke di atas benar adanya, ketika Jepang membutuhkan bahan baku untuk menguatkan industri mereka, Jepang bisa mendapatkannya secara mudah dan murah dari Indonesia. Di sisi lain, Indonesia juga bisa mendapatkan produk-produk teknologi dengan biaya rendah dari Jepang. Walhasil, hubungan Indonesia-Jepang saat ini sudah seperti ‘saudara Asia’ tanpa Jepang harus membawa serdadunya ke Indonesia seperti dulu.

    ***

    Sekarang kita bisa melihat negara-negara yang menutup diri dari pasar bebas akan terkucilkan dan lebih berpotensi untuk memerangi negara tetangganya. Korea Utara misalnya. Negara yang saat ini berada di bawah rezim Kim, harus mengancam dengan rudal dan nuklir untuk memaksa tetangganya Korea Selatan dan Amerika bernegosiasi terkait masalah ekonomi.

    Padahal, jika Kim Jong Un di Korea Utara mau membuka diri dengan pasar bebas dan menjauhi paradigma konflik, pasti banyak negara ingin bermitra dengannya secara damai. Sayangnya, paradigma sosialis yang berdasarkan pada permusuhan terhadap pasar bebas, serta pemerintahan yang korup, telah menghalangi Korea Utara untuk mengambil jalan damai ini. Pada akhirnya, mereka sendiri yang merugi.

    Kapitalisme atau pasar bebas juga punya cara sendiri untuk meredam peperangan. Seperti yang kita tahu, Rusia saat ini melakukan invasi terhadap Ukraina dan menganggu kedaulatan negara bekas Uni Soviet tersebut. Alih-alih menggunakan jalan perang, masyarakat internasional sepakat melakukan blokade atau embargo ekonomi tehadap Rusia.

    Apakah ini efektif? Tentu saja. Embargo ekonomi berati mengunci atau membatasi sebuah negara untuk memperdagangkan produknya dan mendapat produk murah dari negara lain.  Dalam jangka waktu panjang negara yang diembargo akan menghadapi kesulitan besar di bidang ekonomi.

    Dilaporkan dari CNBC, embargo ekonomi yang diberikan kepada Rusia saat ini langsung memberi dampak bagi negara beruang putih tersebut. Sebut saja diantaranya, ekonomi yang merosot hingga 30%, harga nilai tukar rubel yang merosot dibanding dolar, dan tingginya harga produk elektronik karena pembatasan tersebut (cnbcindonesia, 01/03/2022).

    ***

    Kapitalisme atau pasar bebas bukan sebuah paham yang menghendaki perang, kolonialisme atau invasi pada negara tertentu. Prinsip dasar kapitalisme adalah bagaimana kemakmuran bisa dicapai melalui pertukaran barang (transaksi pasar yang bebas) secara sukarela dan tanpa paksaan.

    Kapitalisme menawarkan pada masyarakat modern bahwa perdagangan internasional yang adil jauh lebih menguntungkan ketimbang berperang. Karena itu, kapitalisme mendukung pasar bebas yang menghubungkan masyarakat dunia.

    Pun dampaknya saat ini, kita bisa mengakses internet, mengetahui berita internasional dengan cepat, mendapat produk-produk impor dengan harga yang murah, serta dapat bekerja ke luar negeri untuk mendapat penghasilan besar. Semakin erat kemitraan dan saling ketergantungan antar negara dalam perdagangan, maka semakin kecil kemungkinan untuk terjadinya perang yang lebih besar.

    Kapitalisme telah mengubah pola pikir dan paradigma hubungan internasional dewasa ini. Jika dahulu negara-negara memetakan mana kawan mana lawan, dengan perdagangan global, setiap negara justru harus menjalin persahabatan dengan beragam negara dan pihak untuk memakmurkan negerinya.

    Dengan kata lain, kapitalisme telah menjaga perdamaian masyarakat dunia lewat perdagangan. Tentu ada konflik politik, ras, dan apapun yang menyebabkan bentrokan serta permusuhan. Seperti yang diketahui, dalam hubungan internasional dan realita kehidupan, selalu ada change dan continuity. Namun, dalam hal ini, pasar bebas telah terbukti mampu untuk menjaga agar konflik tidak meluas dan merugikan bangsa lain.

     

    Referensi

    https://www.cnbcindonesia.com/news/20220301065532-4-319053/dampak-sanksi-ekonomi-ke-rusia-mulai-terasa-ini-buktinya.  Diakses pada 10 Maret 2022, pukul 13.29 WIB.

    https://ekonomi.kompas.com/read/2009/01/23/21532820/~Internasional~News diakses pada 10 Maret 2022, pukul 02.37 WIB.

    Gartzke, E. 2007. “The Capitalist Peace”, dalam American Journal of Political Science, h: 166–191.

    McDonald, Patrick. J. 2010. “Capitalism, Commitment, and Peace”, dalam International Interactions: Empirical and Theoretical Research in International Relations, h: 146-168.

    https://id.rbth.com/sejarah/81149-mcd-pertama-di-rusia-wyx/amp. Diakses pada 9 Maret 2022, pukul 01.30 WIB.