Baru-baru ini Mahkamah Konstitusi mengumumkan pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konsituti (MKMK). Hal ini dilakukan adanya persoalan serius yang harus diselesaiakan terkait dengan dugaan pengubahan Putusan Nomor 103/PUU-XX/2022 yang menguji secara materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK (UU MK) seputar pencopotan Hakim Agung Aswanto.
Seperti diketahui, bahwa persoalan Mahkamah Konstitusi diduga isu pengubahan substansi putusan perkara 103/PUU-XX/2022 tentang uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK, berawal dari Advokat Zico Leonard Djagardo Simanjuntak yang mempersoalkan Pasal 87 huruf b UU 7/2020, khususnya terkait pemberhentian secara hormat hakim konstitusi Aswanto di tengah masa jabatan. Seperti diketahui, sebelumnya DPR memberhentikan Aswanto dari jabatan hakim konstitusi. DPR beralasan Aswanto melakukan pembatalan terhadap undang-undang yang telah disahkan DPR. Buntut pergantian itu adalah pada akhirnya, Presiden melantik Guntur Hamzah sebagai hakim konstitusi yang baru.
Persoalan terkait isu pengubahan ini tergambar dalam putusan yang dibacakan oleh hakim di ruang persidangan tersebut, ternyata menunjukkan adanya hal yang berbeda dengan apa yang tertulis dalam salinan putusan dan risalah sidang. Jika dilihat perbandingan kalimat yang diucapkan hakim Saldi Isra yaitu: “Dengan demikian, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan: mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, serta diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 ayat (2) UU MK….. dan seterusnya.”
Hal ini berbeda dengan putusan sidang yang tertulis: “Ke depan, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan: mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, serta diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 ayat (2) UU MK….. dan seterusnya.”
Jika dilihat lebih jauh ada permasalah terkat perbedaan frasa “dengan demikian” dan “ke depan”. Hal ini tentu memiliki implikasi yang berdampak besar dan berbeda pada masing-masingnya. Frasa “ke depan” menjelaskan bahwa putusan itu tidak membatalkan pencopotan Aswanto karena hanya dapat diterapkan di masa yang akan datang. Hal itu akan berbeda jika frasanya adalah “dengan demikian”.
Oleh karena itu, MK harus menyelidiki dugaan perubahan substansi putusan tersebut dan mempertanggungjawabkan tindakan tersebut. Hal ini sungguh ironis, karena persoalan ini sangat serius untuk diselesaikan dalam rangka untuk menjaga marwah Mahkamah Konstitusi. Sebagai organ kekuasaan kehakiman yang menjalankan fungsi kehakiman, Mahkamah Konstitusi bersifat independen, baik secara struktural maupun fungsional.

Galang Taufani adalah Managing Editor di Suara Kebebasan. Galang adalah lulusan program Sarjana Hukum (2013) dan Magister Hukum (2016) di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Sebelum bergabung di Suara Kebebasan, Galang pernah bekerja sebagai wartawan, peneliti, dan dosen sejak tahun 2013. Galang menulis banyak karya berupa buku, jurnal, dan artikel ilmiah. Bidang yang digeluti olehnya, yaitu adalah bidang Hukum, Kebijakan Publik, Pajak, Filsafat, dan Sastra.