Mengurangi Peran Dominan Pemerintah di Sektor Tenaga Kerja

377

1 Mei datang kembali, para pekerja di berbagai belahan dunia memperingati May Day dengan caranya masing-masing. Sejak akhir abad ke-19, hari ini telah dipilih oleh kaum sosialis dan komunis sebagai hari buruh internasional. Tidak ketinggalan para pekerja kita mengisi May Day dengan rangkaian demonstrasi, protes, dan aktivitas massa. Ya, suatu seremonial yang sarat ideologi perlawanan terhadap kemapanan.

Akan halnya buruh dan pekerja di berbagai tempat di Indonesia, kawan-kawan serikat pekerja telah menyuarakan 10 tuntutan pada Hari Buruh 1 Mei 2015 diantaranya: (1) Menolak upah murah dengan menuntut kenaikan Upah Minimum Provinsi sebesar 32 persen; (2) Mendesak pemerintahan Jokowi-JK untuk menjalankan jaminan pensiun buruh wajib pada awal bulan Juli 2015 dengan manfaat pensiun 60 persen hingga 75 persen dari gaji terakhir seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS); (3) Mendesak pemerintahan Jokowi-JK menambah anggaran jaminan kesehatan Rp 30 triliun dari APBN; (4) Mendesak pemerintah untuk segera menghapus sistem kerja outsourcing, khususnya di BUMN (Badan Usaha Milik Negara); (5) Menolak kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak), elpiji, TDL (tarif dasar listrik) sesuai harga pasar.

Selain kelima tuntutan di atas, mereka juga menuntut untuk: (6). Mendesak pemerintah untuk menurunkan harga barang pokok; (7) Mengakhiri corporate greed (kesekarahan perusahaan); (8) Mendesak pencabutan aturan tentang objek vital dan stop tindakan union busting dan kekerasan terhadap aktivis buruh; (9) Mengangkat guru dan pegawai honorer menjadi PNS tanpa tes lagi, dan (10) Mengesahkan RUU PRT (pembantu rumah tangga), revisi undang-undang perlindungan TKI (tenaga kerja Indonesia), dan revisi total undang-undang PPHI (Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial).

Delapan dari sepuluh tuntutan buruh ditujukan secara spesifik kepada pemerintah. Mari sama-sama kita timbang beberapa tuntutan para pekerja itu. Pada tuntuan pertama/utama Pemerintah dituntut dapat menaikkan kenaikan Upah Minimum Provinsi dan Kabupaten (UMP/K) sebesar 32 persen. Pertanyaannya kemudian adalah Bagaimana cara UMP/K dapat dinaikkan sementara ekonomi kita cenderung melambat? Sinyalemen pelambatan ekonomi datang dari pernyataan Menteri Keuangan Bambang Brojonegoro. Seperti dilansir Katadata, Menteri Keuangan memprediksi ekonomi hanya tumbuh 5 persen untuk kuartal 1 tahun ini, jauh dibawah target 5,7 persen.

Pesimisme Menkeu senada dengan perkiraan Lembaga Internasional seperti Bank Dunia. Penyebab pelambatan ekonomi, menurut Bank Dunia, Akibat melemahnya pertumbuhan investasi dan ekspor, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2015 diperkirakan mencapai 5,2 persen, sedikit di bawah proyeksi Bank Dunia rilis Juli 2014 yaitu sebesar 5,6 persen.Jika demikian, maka pertanyaan selanjutnya darimana pengusaha (dan bukan Pemerintah) dapat memenuhi tuntutan menaikan UMP/K itu?

Studi Suryahadi, yang dikutip oleh Aswicahyono dalam kolom pakar pada laman ini, dengan jelas menunjukkan bahwa “yang paling diuntungkan oleh kebijakan upah minimum adalah pekerja kerah putih”. Kenaikan upah minimum sebesar 10% justru akan mengakibatkan peningkatan lapangan kerja sebesar 10% bagi pekerja kerah putih. Sebaliknya yang paling terpukul adalah pekerja perempuan,  pekerja muda, dan pekerja paruh waktu. Hal ini disebabkan biaya yang timbul dari kebijakan upah minimum sebagian besar ditanggung oleh pemberi kerja (pengusaha). Dengan kenaikan upah minimum yang cepat memberikan dorongan kepada perusahaan lebih banyak menggunakan mesin dan tenaga kerja terampil. Maka kesempatan bekerja bagi buruh tidak terampil semakin terbatas, terutama bagi pekerja perempuan, muda dan paruh waktu.

Kemudian bila dicermati tuntutan ke-9 berada jauh diluar “garis perjuangan” kaum pekerja.  Bagaimana Pemerintah kembali dituntut mengangkat guru dan pegawai honorer menjadi PNS tanpa tes lagi. Sementara, kondisi guru kita saat ini misalnya, adalah berkelebihan dalam kekurangan. Maksudnya, bila melihat pada rasio guru dan murid SD dan SMP, Indonesia mengalami perbaikan dari tahun ke tahun. Sebagaimana rasio guru murid dan guru SD maupun SMP telah mencapai 1:17 untuk SD dan 1:15 untuk SMP. Namun, persebaran guru tidak merata di wilayah-wilayah pedesaan dan kawasan terpencil. Inilah yang wajib segera diselesaikan oleh pemerintah dalam 5 tahun mendatang. Perlu langkah strategis dari Kementerian yang berwenang, bukan dengan solusi praktis namun “tidak terukur” yang justru merugikan di kemudian hari.

Singkatnya, semua aspirasi buruh berujung pada tuntuan peran pemerintah yang akan semakin dominan dari waktu ke waktu. Padahal, masih ada aktor penting dalam sistem ekonomi kita yang kerap dilupakan perannya – misalnya tidak ada hari khusus pengusaha, yang lewat pikiran inovasi dan tangan kreatifnya kesejahteraan dan perbaikan nasib buruh dan pekerja kerah biru lainnya, justru perlu kita harapkan bersama. Bukan pada dominasi peran pemerintah sebagai perpanjangan tangan negara.

Saya menjadi teringat petuah seorang jurnalis dan anggota Parlemen Perancis abad 19, Frederic Bastiat (1800-1840), yang mengatakan bahwa “semua orang ingin hidup dibiayai oleh negara. Mereka (kerap) lupa, bahwa negara hidup dari biaya semua orang”.  Saya percaya dengan common sense dari Bastiat, karena kebijakan selalu berfokus pada apa yang terlihat (Orang hidup dibiayai Negara), bukan pada apa yang tidak terlihat (Negara hidup dari biaya orang-orang).