
Kebijakan pemerintah yang melarang bisnis thrifting atau pakaian bekas impor terus memicu polemik. Kebijakan ini dinilai diskriminatif dan memberikan dampak pada pasar pedagang yang bergelut di dunia itu. Bahkan, Maklumat Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal pelarangan penjualan barang pakaian bekas disikapi dengan langkah tegas pihak berwenang, khususnya Kepolisian dan Bea Cukai dengan melakukan penindakan secara masif.
Seperti diketahui, Pemerintah Indonesia resmi melarang serta akan menindak pedagang pakaian bekas impor atau thrifting di Indonesia. Presiden Jokowi memberi tanggapan bahwa bisnis ini dapat mematikan industri tekstil dalam negeri. Ia meminta agar bisnis tersebut ditelusuri dan ditindak. Namun, hal ini memicu pandangan sebaliknya, karena salah satunya terkait nasib pedagang yang menjual produk-produk pakaian bekas (Kompas. com, 17/3/2023).
Tidak dapat dipungkiri tren pakaian bekas impor banyak masuk hingga saat ini, karena ada lapisan masyarakat yang secara langsung mendapat dampak positif dari proses impor sampai penjualan eceran. Hal ini terlihat dari masyarakat umum diuntungkan karena uang yang perlu dibelanjakan untuk pakaian lebih sedikit. Fenomena thrifting, di mana baju bekas bermerek dan berkualitas diperjualbelikan dengan harga lebih murah dari harga baru, juga ikut membuat masyarakat senang bisa mendapatkan merek idamannya dengan harga yang murah (suara.com, 26/3/2023).
Walaupun demikian, kondisi ini tetap diamputasi oleh pemerintah. Sebelumnya jika dilihat secara regulasi, pelarangan impor pakaian bekas ini bukan hal yang baru, tapi sudah diterapkan sejak tahun 2015 melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51 tahun 2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor.
Restriksi terhadap barang impor pakaian bekas menjadi polemik yang cukup krusial, lantaran hal ini menjadi seolah pasar ini vis a vis dengan pasar industri lokal yang sama jika melihat dan mengutip beberapa pandangan pemerintah dan asosiasi kepentingan terkait.
Beberapa hal yang patut untuk dikaji dalam kondisi ini adalah: Pertama, dalam konteks jaminan perlindungan konsumen merupakan hal yang bukan mengagetkan, namun hal ini tidak boleh mengebiri aspek pilhan konsumen (consumer choice) untuk mendapatkan produk yang ia inginkan.
Kedua, pelarangan masuknya barang tersebut harus disikapi dengan tepat bukan hanya untuk alasan ketidakmampuan industri lokal bersaing dengan produk yang masuk, termasuk pakaian bekas impor, namun untuk mendorong industri lokal meningkatkan kualitas agar bisa bersaing.
Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan aspek-aspek kebebasan ekonomi, pilihan konsumen, dan penegakan hukum, dalam kebijakan pelarangan impor pakaian bekas. Pembatasan yang membabi buta akan berdampak pada ekosistem pasar yang tidak positif dan justru akan mengebiri kebebasan berusaha, hak-hak konsumen, serta berpotensi menciptakan pasar gelap pakaian bekas impor. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah harus dilakukan dengan berhati-hati, serta mengantisipasi dampak yang tidak diinginkan dari kebijakan yang diambil terhadap beragam pemangku kepentingan terkait dengan pelarangan impor baju bekas tersebut.
.
Referensi
https://megapolitan.kompas.com/read/2023/03/17/09484851/dilema-usaha-pakaian-thrifting-disayang-pembeli-tetapi-dilarang?page=all. Diakses pada 4 April 2023, pukul 08.00 WIB.
https://www.suara.com/news/2023/03/26/151712/larangan-thrifting-disorot-apa-solusi-bagi-pedagang-pakaian-bekas-impor. Diakses pada 4 April 2023, pukul 08.30 WIB.

Galang Taufani adalah Managing Editor di Suara Kebebasan. Galang adalah lulusan program Sarjana Hukum (2013) dan Magister Hukum (2016) di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Sebelum bergabung di Suara Kebebasan, Galang pernah bekerja sebagai wartawan, peneliti, dan dosen sejak tahun 2013. Galang menulis banyak karya berupa buku, jurnal, dan artikel ilmiah. Bidang yang digeluti olehnya, yaitu adalah bidang Hukum, Kebijakan Publik, Pajak, Filsafat, dan Sastra.