Pitkin, dalam bukunya yang berjudul “The Concept of Representation” (1972), mengemukakan satu konsep terkemuka, yaitu representasi deskriptif. Representasi deskriptif mengacu pada kesamaan sebagaimana bercermin, di mana perwakilan individu yang “berdiri untuk” mewakili benar-benar representasi dari yang diwakilinya, seperti ras, jenis kelamin, usia, kelas, etnis, dan lainnya.
Pitkin secara total mengilustrasikan representasi ini mirip dengan bagaimana seorang aktor berusaha untuk meninggalkan “dirinya” dan memakai seluruh atribut karakter yang diperankannya secara total di atas panggung. Namun, Pitkin juga mengidentifikasi bentuk representasi lain yang disebut sebagai representasi substantif, di mana representasi tersebut ditandai dengan adanya suatu hal yang dilakukan oleh wakilnya yang sesuai dengan kepentingan konstituen. Dalam artian lain, wakil memiliki kewenangan otoritas untuk bertindak, dengan cara yang responsif terhadap kelompok yang diwakilinya. Demikian, penyekat penting di antara kedua bentuk representasi tersebut adalah perbedaan antara representasi ‘stand for‘ dan ‘act for‘. Dan, Pitkin berpandangan bahwa aksi perwakilan lebih krusial dibandingkan kehadiran perempuan di lembaga politik saja.
Berangkat dari pemikiran Pitkin, pertanyaan-pertanyaan mengenai representasi perempuan kemudian semakin luas dan dilempar ke khalayak umum. Siapa yang bertindak dalam representasi substantif perempuan? Di mana representasi substantif perempuan terjadi? Mengapa representasi substantif perempuan diupayakan? Dan bagaimana representasi substantif perempuan diekspresikan? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi dasar dari elaborasi tulisan ini.
Melihat kasus representasi substantif perempuan dalam kancah politik, terutama di Indonesia, penulis memetik tiga diskursus utama yang terdapat dalam studi Nuri Soeseno (2013), yakni (1) representasi politik tidak akan menghadirkan kepentingan dan identitas yang sempurna secara keseluruhan, melainkan hanya sebagian sehingga representasi bicara mengenai klam semata, bukan sebuah fakta representasi; (2) representasi politik yang demokratis terjadi apabila kelompok yang kepentingannya dipengaruhi keputusan mempunyai kapasitas untuk mempengaruhi pembuatan keputusan tersebut; dan (3) kehadiran representasi politik elektoral dan non-elektoral.
Dalam membingkai solusi dari keseluruhan representasi politik (permasalahan pada diskursus pertama), affirmative action menjadi akses pada ‘proses memilih pilihan yang lebih representatif’ ataupun pada ‘hasil untuk lebih dekat pada kondisi yang representatif ’. Dalam konteksnya, penelitian ini mempreteli kebijakan afirmasi tahun 2004 yang menetapkan kuota pencalonan perempuan minimal 30% di Indonesia. Upaya ini membuahkan hasil pada peningkatan keterwakilan perempuan pada tahun 2009, tetapi menunjukkan stagnasi (bahkan sedikit penurunan) pada tahun 2014. Dirga (2016) kemudian memetakan analisis keterpilihan perempuan ini oleh berbagai faktor. Seperti, perumusan strategi untuk memaksimalkan potensi terpilihnya perempuan, menaikkan persentase perolehan suara caleg perempuan, dan mengkaji kekuatan partai politik.
Keadaan-keadaan yang mempunyai andil dalam kebijakan afirmatif ini tidak terbatas pada faktor-faktor di atas, melainkan juga pada tahap pencalonan. Dalam artikel ini, terdapat visualisasi wilayah yang masih bermasalah dalam pencalonan perempuan, seperti Dapil Papua dan Dapil Aceh. Persoalan ini juga tidak digubris oleh KPU yang tidak mempertegas aturan kuota afirmatif maupun menerapkan sanksi bagi partai politik.
Hal ini tentu tidak sehat dalam iklim representasi perempuan, di mana partai politik terlihat hanya berusaha memenuhi syarat administratif saja sehingga tidak memikirkan bagaimana melakukan rekrutmen dan pendidikan politik bagi kader perempuannya untuk bisa berkontribusi. Selanjutnya, tahap perolehan suara juga menjadi fenomena penting yang perlu dikaji. Artikel ini memposisikan adanya suatu pola yang relatif stabil, bahwa pencalonan 30%-37% akan menghasilkan perolehan suara perempuan berkisar 22-23% serta mengakumulasi kursi antara 16-18%. Dalam artian lain, kebijakan afirmatif ini memerlukan inovasi baru, terutama jika ingin melampaui angka 20%.
Mengacu pada sejumlah krisis yang dipaparkan di atas, adapun beberapa tantangan penting yang perlu disoroti lebih lanjut, seperti upaya mengenai penyederhanaan jumlah kontestan dan masalah angka representasi perempuan yang belum pasti, komitmen partai politik dalam sistem proporsional terbuka, mekanisme kaderisasi dan rekrutmen yang tidak serius untuk mendorong kualitas maupun kuantitas representasi perempuan, basis pencalonan perempuan yang seringkali didasarkan pada relasi kekerabatan, hingga affirmative action yang tidak menjangkau ruang kontestasi bagi perempuan.
Pada fase diskursus kedua, realitas terkait perumusan kepentingan sebelum melakukan pilihan politik hanya dihadirkan dalam pilihan-pilihan yang terbatas. Artinya, alih-alih dihadirkan dari proses agregasi yang bottom up, berasal dari rakyat dan dirumuskan bersama kemudian dituntutkan kepada partai politik, calon wakil rakyat, atau kandidat, kepentingan publik justru dirumuskan berdasarkan pemaknaan elit secara top-down dimana para elit partai politik dan kandidat yang memberikan pilihan-pilihan kepentingan yang ditawarkan dalam platform, visi misi, dan program.
Maka dari itu, studi representasi politik non-elektoral dalam menghadirkan kepentingan perempuan, yang merupakan turunan dari diskursus ketiga. Berbagai fakta empirik perempuan seperti diskriminasi, ketidakadilan, ketidaksetaraan kemudian diangkat menjadi wacana yang disuarakan oleh gerakan perempuan. Perumusan kepentingan yang dituntut gerakan perempuan ini perlu mendapat akomodasi dalam pembahasan legislasi di parlemen. Tujuannya adalah untuk mendesak pembahasan regulasi dan anggaran yang dapat menghasilkan aturan yang memberi daya, memiliki keberpihakan, serta menciptakan keadilan dan kesetaraan bagi perempuan. Dalam hal ini, melihat peran strategis aktor representasi politik non-elektoral juga diperlukan dalam mendorong kepentingan politik perempuan.
Agenda menghadirkan kepentingan politik perempuan melalui representasi politik non-elektoral bukan tanpa tantangan. Mayoritas hubungan yang terjalin antara pemilih dan calon wakilnya semakin diidentifikasikan dengan hubungan personal, bukan didasari kepentingan politik yang sama. Akibatnya, eksistensi dan identitas partai politik secara kelembagaan menjadi tidak terasa, cenderung absen, sehingga kontestasi pemilu hanya sekitar kontestasi antar caleg. Pendidikan politik terhadap pemilih juga mengerucut pada informasi profil caleg, sementara kenyataannya adalah partai politik yang semestinya mengagregasi kepentingan rakyat tersebut. Selain itu, aktor representasi politik non-elektoral (misalkan dari organisasi sipil, gerakan, serikat) cenderung bersifat elitis dan tidak mendorong partisipasi pengikutnya. Terakhir, hubungan antara wakil dan yang diwakilinya dalam representasi politik dapat bersifat antagonistik karena kepentingan yang dinamis di antara mereka.
Referensi
Pitkin, F. H. (1972). The Concept of Representation. Berkeley: University of California Press.
Suseno, N. (2013). Representasi Politik Perkembangan dari Ajektiva ke Teori. Depok: Puskapol UI.

Samuella Christy adalah mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang aktif menulis mengenai isu-isu politik, sosial, dan budaya. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.