Apa yang bisa kita pelajari jika kita menelaah cacatan hidup manusia di muka bumi ini, dari awal kemunculan “Adam” hingga zaman modern? Tentu akan kita dapati suatu kenyataan bahwa manusia di muka bumi ini tidak pernah bisa lepas dari hasrat hewaninya untuk berkuasa, menindas, berperang, rakus, dan berlaku kejam. Perlakuan kejam dan jahat tersebut selalu ada dalam setiap zaman, seolah kekerasan sudah menjadi bagian dari tragedi umat manusia.
Thomas Hobbes berpandangan, karena watak alami manusia adalah suka melakukan agresi atau kekerasan kepada sesamanya (demi kepentingan pribadi), maka dibutuhkan suatu negara atau pemerintahan yang membentuk kontrak sosial agar masing-masing individu tidak saling melukai sesamanya. Karena itu, salah satu fungsi negara yang diyakini secara konvensional, adalah sebagai penjamin keselamatan rakyat dan membentuk aturan hukum agar dapat menghentikan kekerasan.
Negara dibentuk untuk mengayomi rakyat agar properti individu dan kehidupan setiap orang dijamin secara hukum. Namun, disini muncul pertanyaan selanjutnya yang lebih mengelitik: Bagaimana jika negara yang menjadi alat untuk menjamin keamanan jiwa rakyat, justru menjadi agen penindas dan menjarah rakyat?
Pertanyaan ini mungkin akan dibantah oleh politisi dan para birokrat yang selalu mengklaim negara hadir untuk keselamatan rakyat, tetapi fakta sejarah tidak bisa dibantah bahwa banyak pemerintah dan oknum aparat (atas nama negara) bertindak agresif dan melakukan kekerasan pada rakyatnya sendiri.
Sebagai contoh bagaimana negara dan suatu rezim bisa menjadi pelaku kejahatan terhadap rakyatnya adalah rezim diktator Agusto Pinochet di Chile yang menewaskan 7000 jiwa manusia dan menyiksa 80.000 orang yang dianggap menentangnya. Begitu pula dengan kekejaman Rezim Pol Pot di Kamboja yang menewaskan 2 juta rakyat yang tak bersalah. Cuplikan fakta sejarah ini adalah bukti bahwa negara bisa menjadi pelaku utama dari suatu kejahatan yang mengorbankan rakyatnya.
Indonesia juga memiliki masa lalu yang kelam, dimana terjadi penganiayan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyat sipil yang tak berdaya. Seperti peristiwa Tanjung Priuk, tragedi Santa Crus 12 November, dan yang terbesar adalah tragedi 1965 yang menewaskan lebih dari 1.000.000 rakyat sipil yang tidak bersalah.
*****
Hampir selama 30 tahun lebih kisah pembantaian 1965 berusaha ditutupi oleh pemerintah. Selama masa Orde Baru, rakyat hanya mengetahui bahwa pada tahun 1965 terjadi pemberontakan yang diduga didalangi oleh Partai komunis, PKI, untuk merebut kekuasaan dengan jalan menculik dan membunuh 7 Jenderal Angkatan Darat.
Ya, buku-buku sejarah yang dipelajari di sekolah dan juga siaran-siaran radio dan televisi, hanya menceritakan tentang konspirasi para elit PKI untuk melakukan suatu kudeta bersenjata. Namun, tidak banyak orang yang tahu bahwa pasca 1 Oktober 1965 atau setelah Gerakan 30 September (G30S) ditumpas, banyak rakyat dari kalangan buruh dan tani ditangkap dengan dalih membersihkan masyarakat dari doktrin komunis.
Memang kita sepakat bahwa Gerakan 30 September yang menewaskan para Pahlawan Revolusi, sangat tidak bisa dibenarkan! Namun, sangat tidak adil rasanya jika 7 nyawa harus ditebus dengan 1 juta nyawa rakyat yang tidak bersalah dan tidak tahu menahu dengan pemberontak G30S.
Majalah Historia merekam bahwa pasca tragedi ’65, banyak perempuan menjadi korban baik kekerasan fisik ataupun kekerasan seksual. Mereka yang dituduh Gerwani atau simpatisan PKI mendapat penganiayan fisik, seperti dibotaki, disetrum, bahkan diperkosa. Belum lagi kelompok buruh dan petani yang ditangkap hanya karena dituduh oleh aparat militer sebagai anggota PKI.
Di Jawa Tengah, tepatnya di Purwodadi , tentara bersama ormas masyarakat menangkap ratusan orang yang (berdasarkan persangkaan belaka) terlibat G30S. Orang-orang yang ditangkap dibunuh dengan meremukkan kepalanya satu persatu dengan sebatang besi. Berita pembantaian massal ini disiarkan oleh H.J.C. Princen dan menjadi sorotan dunia.
Telah banyak tokoh yang meneliti membongkar kembali kisah kemanusiaan yang terjadi pada tahun 1965-1968 yang sengaja ditutupi oleh pemerintah. Dalam film dokumenter yang disutradari oleh Joshua Oppenheimer,yaitu ‘Jagal’ dan ‘Senyap’, para pelaku penjagal yang menjadi oknum pembunuhan melakukan pembantaian terhadap ratusan orang atas arahan militer dan arahan itu merupakan ‘perintah resmi’ negara.
Para penjagal tersebut melakukan pembunuhan dengan cara menyembelih, mengubur hidup-hidup, mencekik, bahkan ada juga yang dicincang. Majalah Tempo, membuat reportase khusus dengan mewawancarai para pelaku pembantaian. Dan dari kesaksian para pelaku, ratusan orang yang dibantai setiap hari dilakukan dengan dalih sebagai tugas ‘negara’. Sedangkan korban lain yang masih hidup, ditahan di Pulau Buru dan diberlakukan kerja paksa.
Mengadili Kejahatan Kemanusiaan
Hingga hari ini, tragedi ’65 masih menjadi paling kisah kelam dalam sejarah Indonesia, sebuah bangsa yang selalu menekankan norma kesopanan, musyawarah dan juga etika agama justru melakukan tindakan barbar yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan akal sehat. Lebih dari 1 juta orang dibunuh dan ratusan ribu lainnya ditangkap dengan dalih mengadili musuh negara.
Hingga saat ini, para korban ’65 terkatung-katung untuk mendapat keadilan. Pasca lengsernya Orde Baru, masalah kemanusiaan itu coba diungkit dan dikabarkan kepada masyarakat, tentang pembantaian luar biasa yang pernah terjadi di negeri ini, sebuah negeri yang mengaku menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila. Namun, hingga detik ini banyak masyarakat yang memilih untuk diam.
Pengungkitan masalah kemanusiaan ’65 bukanlah bentuk simpati terhadap paham komunisme. Banyak orang yang berpendapat bahwa mengungkit-ungkit tragedi kemanusiaan tersebut sama dengan membangkitkan ideologi komunis. Tentu anggapan ini sangat tidak tepat. Masalah kemanusiaan bukanlah masalah ideologi atau politik! Setiap manusia (baik liberal, Islam, Kristen, komunis, nasionalis) memiliki hak hidup yang tak bisa diintervensi oleh siapapun termasuk negara.
Sejarah pembantaian 65 yang terjadi di sejumlah daerah, merupakan bukti bahwa negara bertanggung jawab atas hilangnya nyawa korban yang tak bersalah. Banyak orang-orang yang non-komunis dituduh sebagai PKI hanya karena masalah dendam pribadi, dan tentu saja penghilangan nyawa serta menyiksa orang yang tak bersalah merupakan suatu kejahatan yang luar biasa.
Pada bulan Juli 2016 lalu, keputusan Pengadilan Rakyat Internasional atau IPT (International People’s tribunnal) di Den Haag, Belanda, memutuskan bahwa negara bersalah pada kasus tragedi 65 atas tuduhan telah melakukan kejahatan HAM berat. Salah satunya adalah membunuh, menyiksa, perbudakan, penghilangan paksa dan kekerasan seksual, dan pemerintah Indonesia dituntut untuk meminta maaf atas korban.
Namun hingga detik ini, para korban tetap terkatung-katung dalam mencari keadilan dan pemerintah Indonesia bungkam 1000 bahasa. Sebagaimana yang dikatakan Gus Dur, bahwa bangsa ini ‘pengecut’ karena tidak mau menghukum yang bersalah. Bagaimana kita bisa percaya bahwa keadilan bisa benar-benar dituntaskan di negeri ini jika pemerintah hingga detik ini masih membisu dalam menangani kasus HAM berat.
Jika kasus ‘65 saja pemerintah tak mau menuntaskan dan masyarakat kita justru cenderung cuek, maka jangan heran jika hingga detik ini kasus Pembunuhan Munir, Marsinah, tragedi 98, Salim Kancil, kasus pembantaian di Papua, dan lain sebagainya tidak terurus bahkan cenderung didiamkan.
Kita masih bungkam terhadap kekejaman, kita masih acuh terhadap kemanusiaan, kita masih tak perduli dengan keadilan, maka jangan sekali-kali kita menjerit dan marah ketika suatu kejahatan didiamkan. Toh, diakui atau tidak, bukankah bangsa kita memang sering mengabaikan penegakan hukum?

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com