
Tak dipungkiri bahwa banyak orang yang memuja kebebasan. Banyak orang yang secara tegas membela kemanusiaan, tetapi sangat sedikit orang yang berani berbicara lantang membela kebebasan dan kemanusiaan, ketika dia tahu bahwa prinsip itu diabaikan bahkan diinjak-injak.
Malah tidak sedikit di antara orang yang mengklaim sebagai pembela demokrasi dan HAM, malah balik badan ketika tekanan melandanya.Hanya beberapa dari mereka yang kuat dan konsisten yang mampu menggenggam panji kemanusiaan dan mengibarkannya tatkala banyak intrik yang ingin merusak panji tersebut.
Jika saya pribadi ditanya soal siapa yang merupakan sosok yang konsisten untuk menjaga kebebasan dan kemanusiaan saat ini? Jelas, tanpa ragu saya berkata: Ahmad Syafii Maarif atau Buya Syafii.
Ketika para lokomotif yang membela kebebasan, seperti Gus Dur, Cak Nur, Romo Mangunwijaya tiada, maka Buya Syafii secara sigap mengambil panji perjuangan dan siap mendidik kader-kader bangsa yang kelak akan menjadi garda terdepan membela Pancasila dan demokrasi di Indonesia.
Buya Syafii tak pernah takut dihujat, ia tetap konsisten membela kebebasan yang merupakan fitrah dari Allah untuk manusia.
Saya ingat ketika dirinya menjadi saksi yang meringankan Abu Bakar Ba’asyir. Orang-orang heran dan banyak yang mengkritik dirinya sebagai pembela radikalisme.Tapi pada akhirnya semua orang (termasuk saya) sadar, bahwa apa yang dilakukan oleh Buya semata-mata membela hak dan keadilan untuk orang lain tanpa memandang agama dan ideologi.
***
Pendekar Chicago
Istilah “Pendekar dari Chicago” merupakan penyematan Gus Dur kepada generasi cendekiawan muslim yang belajar di Chicago University, Amerika Serikat.
Dalam artikel yang dimuat di Majalah Tempo, 27 Maret 1993, Gus Dur menyebut Generasi Chicago ini memiliki pola keislaman berbeda dari alumnus McGill University yang dijuluki sebagai “Mafia McGill”, yaitu Mukti Ali dan Harun Nasution.
Jika Mafia McGill lebih pada pendekatan pembaharuan lewat rasionalitas, pendidikan, dan persatuan sosial tanpa terjun ke dunia politik, Pendekar Chicago justru bersikap sebaliknya.
Mereka ingin mengedepankan aspek universalitas Islam dengan menggandeng gerakan politik dengan harapan bisa membawa ke pintu perubahan.
Syafii Maarif adalah salah satu tokoh selain Nurcholish Madjid dan Amien Rais yang dijuluki Gus Dur sebagai Pendekar Chicago.
Syafii Maarif memiliki pandangan yang mengedepankan komunikasi antar anak bangsa khsususnya antar umat beragama. Tanpa meninggalkan nilai-nilai dan identitas keislaman yang khas, Buya Syafii Maarif meyakini bahwa komunikasi dan dialog antar agama dapat tercapai (Gus Dur, 1993). Pun, ia tidak mengabaikan bahwa instrumen politik sangat penting untuk menjaga komunikasi dan proses dialogis tersebut. Pola pikir semacam ini tidak ia dapatkan secara tiba-tiba, namun dari lingkungan dan perjalanan intelektual yang panjang.
Ia lahir dari keluarga terpandang di Sampur Kudus, Sumatera Barat pada tahun 1935. Kehidupan elit tak membuatnya menjadi orang yang tinggi hati. Budaya Minang yang demokratis, egaliter, dan tidak memandang tinggi-rendah suku-suku lain, membuat Syafii kecil kelak menjadi seorang muslim yang berpemikiran demokratis.
Ketika ia menginjakkan kaki di Amerika untuk melanjutkan studi sejarahnya pada tahun 1973, ia masih berpegang teguh pada pemikiran politik Islam ala Ikhwanul Muslimin, Abu A’la Al-Maududi, dan Sayyid Qutb. Lama kelamaan, Syafii muda sadar bahwa pola keagamaan yang sempit, anti peradaban Barat dan menentang modernisme justru tidak relevan ketika ia melihat bagaimana situasi di Chicago.
Banyak orang Amerika tetap mempertahankan agamanya meski dalam naungan sistem yang sekuler. Ia juga melihat mahasiswa dari berbagai negara yang memiliki cara pandang keagamaan yang berbeda. Karena itu, muncullah kesadaran bahwa dalam beragama harus bersikap bijak untuk memahami segala sesuatu.
Pandangan yang hitam putih, ekstrim dan tertutup sangat tidak relevan dengan situasi dunia yang mulai berubah. Syafii muda akhirnya insyaf dan kebencian terhadap Barat lenyap darinya, sebab baginya baik Timur atau Barat semua milik Allah (Rachman, 2017).
Di Chicago ini pula ia memiliki pandangan bahwa Pancasila sebagai sebuah sistem bernegara sudah sangat pas dengan masyarakat Indonesia, di mana ia tetap mempertahankan unsur sekuler, namun tidak menghilangkan spirit agama dalam bernegara.
Dalam esainya, Gus Dur menyebut Syafii Maarif sebagai “pendekar” yang giat berorganisasi. Bagi Syafii Maarif, politik bukanlah suatu yang harus dihindari. Sebab politik -harus diakui- mengambil komando ke arah mana bangsa ini mengambil keputusan untuk masa depan.
Syafii Maarif menilai penting bagi ‘kaum tercerahkan’ untuk masuk ke gerbong-gerbong politik. Sebab, lewat instrumen politik itulah kerukunan dan kebhinnekaan yang menjadi budaya bangsa dapat dijaga.
Bagi Buya Syafii, tugas seorang Muslim yang berpolitik bukanlah untuk menerapkan “fiqih masa lalu”, melainkan untuk menegakkan keadilan sosial dan persatuan bangsa sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah dalam Piagam Madinah.
Syafii lebih menekankan aspek keislaman yang substansial dibumikan dan dimasyarakatkan ketimbang kaum Muslim sibuk membela atribut dan simbol-simbol Islam. Baginya, jika suatu negara telah sukses menerapkan prinsip dasar Islam yang menjunjung tinggi keadilan, hal orang lain, dan toleransi, maka label “Negara Islam” tidak diperlukan lagi (Setiawan, 2021).
“Dalam kaitannya dengan nilai-nilai Pancasila, umat Islam Indonesia dapat membumikan ajaran Islam dengan baik melalui media dasar negara yang telah disepakati itu. Artinya, sebuah negara dengan merek Islam tidak diperlukan lagi untuk Indonesia” (Maarif, 2017).
Seorang Pendekar Sejati
Tahun 2017 mungkin merupakan tahun kelam yang menjadi batu ujian bagi kerukunan umat beragama di Indonesia. Ahok dituding telah menistakan agama Islam. Kelompok garis keras mengkampayekan ‘halalnya darah Ahok’ dan menjustifikasi setiap pendukung Ahok adalah munafik bahkan murtad.
Di tengah carut marut politik ini, Sang Pendekar kembali hadir. Ia dengan lantang dan berani memposisikan diri sebagai pembela Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Baginya, Ahok tidak bermaksud menghina Islam. Namun, kalimat Ahok yang menyinggung Islam kemudian ‘digoreng’ oleh para pembenci Ahok untuk konsumsi politik demi memenangkan kontestasi Pilkada DKI.
Sikap Buya Syafii yang ‘nyeleneh’ tersebut mendapat hujatan sana sini dan dirinya diragukan sebagai seorang ulama. Namun, semua hujatan yang ia dapatkan tidak membuatnya goyah, ia tetap tenang dan konsisten dengan sikapnya.
Sebenarnya, pembelaan Syafii Maarif terhadap Ahok bukanlah hal aneh. Sikap ini didasarkan oleh kecintaannya pada Islam dan keadilan. Jika kita mau runut kebelakang, Syafii Maarif juga melakukan hal ‘nyeleneh’ lainnya dengan membela Abu Bakar Ba’asyir, yang saat ini masih mendekam di penjara karena dituduh sebagai aktor terorisme. Ia membela Abu Bakar Ba’asyir bukan karena setuju atas konsep keagamaannya, namun ia sadar bahwa ada rekayasa dibalik penahanan Abu Bakar Ba’asyir tersebut.
Perlu dicatat bahwa Abu Bakar Ba’asyir sendiri menolak cara-cara bom bunuh diri yang terjadi pada tahun 2001, 2002, dan 2003. Meski Abu Bakar Ba’asyir tidak menampik bahwa dirinya adalah kombatan perang di Afghanistan dan mengenal aktor intelektual dibalik teror bom tersebut, namun bukan berarti Abu Bakar Ba’asyir terlibat.
Buya Syafii Maarif (bahkan Gus Dur) mengetahui hal itu. Tekanan Amerika melalui Dubes AS, Ralph Boyce, begitu kuat agar Indonesia menahan mereka yang dituduh teroris. Namun, Syafii Maarif dengan tegas menolak permintaan Boyce. Sebagai seorang yang merdeka, ia tetap memegang teguh keadilan.
Demokrasi tidak berarti membela Amerika Serikat yang saat itu sedang membombardir Timur Tengah, demokrasi berarti menjunjung hak kebebasan serta keadilan orang lain yang tidak bersalah (Detik.com, 13/01/2005). Berikut petikan komentar Buya Syafii ketika ia diminta oleh Dubes AS tersebut untuk tetap menahan Abu Bakar Ba’asyir.
“Dia (Boyce) bilang, supaya demokrasi ini berjalan dengan lancar. Tapi saat itu, saya bertanya kembali kepada Boyce. Apa hubungan masalah Ba’asyir dengan demokrasi. Lalu Boyce menyatakan, orang ini (Ba’asyir) berbahaya dan ada kaitannya dengan Jamaah Islamiyah,” katanya.
“Tapi, bukan berarti saya harus menerima permintaan Boyce itu. Karena saya juga menilai, kasus ini direkayasa, Kalau Mahkamah Agung (MA) sudah membebaskan, kita harus menghormatinya. Ini negara berdaulat. Saya orang merdeka. Walaupun saya bersahabat dengan Anda, tapi dalam perkara ini saya akan membela negara ini,” tegas Buya Syafii Maarif (Detik.com, 13/01/2005).
***
Julukan “Pendekar” yang disematkan oleh Gus Dur pada Buya Syafii Maarif, bukan sekedar retorika manis yang menghiasi esainya. Namun, Gus Dur tahu ketulusan Syafii Maarif dalam membela yang lemah demi menjaga kerukunan bangsa.
Sampai masa tuanya, Syafii Maarif masih bersikap laiknya pendekar. Tak pernah surut membela kebenaran dan tak pernah takut dihujat karena menjunjung prinsip kebebasan yang ia yakini. Baginya, buat apa membela politik partai islam jika toh partai tersebut tak jauh berbeda dengan partai sekuler lain yang penuh intrik dan jauh dari nilai-nilai Pancasila.
Di masa uzur pun, Buya Syafii Maarif tak pernah lelah untuk menulis dan berceramah. Ia tetap menggelorakan prinsip kemerdekaan, demokrasi, kerukunan dan menjunjung tinggi keadilan.
Sayangnya, tak ada pendekar yang hidup abadi. tepat pada hari Jumat, 27 Mei 2022, di hari yang kudus itu, Buya Syafii Maarif wafat dalam keadaan tenang dan damai. Ia wafat dengan terus memegang prinsip yang ia perjuangkan. Ia selalu memberi nasihat pada generasi muda bangsa akan pentingnya kerukunan dan kebebasan. Buya telah wafat. Ia tidak mewariskan apapun kepada kita, kecuali nilai-nilai dan prinsip Islam yang menjunjung keadilan, kebebasan, dan keberagaman bangsa.
Referensi
https://gusdur.net/tiga-pendekar-dari-chicago/ Diakses pada 16 Juni 2022, pukul 15.00 WIB.
Maarif, Ahmad Syafii. 2017. Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara, Jakarta: Mizan.
Rachman, Muhammad Aulia, “Pemikiran Ahmad Syafii Maarif Tentang Islam dalam
Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dalam Perspektif Fiqh Siyasah”, Skripsi, Fak. Syariah dan Hukum, UIN Raden Intan, 2017.
Setiawan, Benni, “Buya Syafii, Islam, dan Pancasila” https://m.mediaindonesia.com/opini/408824/buya-syafii-islam-dan-pancasila Diakses pada 16 Juni 2022, pukul 16.09 WIB.
“Syafi’i: Kasus Ba’asyir Direkayasa” https://news.detik.com/berita/d-272363/syafii-kasus-baasyir-direkayasa- Diakses pada 16 Juni 2022, pukul 16:58 WIB.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com