Mengenang Peristiwa Malari: Ketika Modal Asing Dimusuhi

    1264

    Citra kapitalisme dan modal asing di Indonesia begitu buruk. Jangankan bicara kapitalisme, semua barang-barang, perusahaan, bahkan makanan yang berbau asing pasti dicibir. Seolah-olah semua yang berlebel luar negeri adalah simbol penjajahan yang akan merugikan bangsa Indonesia. Presiden Jokowi pun kerap dituduh sebagai antek asing dan pro kapitalisme karena keterbukaannya pada investasi dan penanaman modal di Indonesia.

    Penolakan terhadap modal asing dan pasar bebas bukan hanya terjadi belakangan ini, tetapi sudah sejak lama. Dan salah satu “perlawanan” besar-besaran terhadap modal asing adalah Peristiwa “Malari” atau Malapetaka Lima Belas Januari. Peristiwa Malari adalah sebuah peristiwa demonstrasi mahasiswa dan massa yang berujung pada kerusuhan, penjarahan, dan pembakaran.

    Peristiwa Malari adalah suatu tragedi besar ketika Orde Baru mulai tegak berdiri. Demonstrasi massa yang dipimpin mahasiswa menolak sistem ekonomi pemerintah Orde Baru yang lebih condong kepada korporasi dan modal asing yang dianggap telah mengangkangi kemandirian ekonomi yang dicita-citakan oleh mahasiswa dan para pendiri bangsa.

     

    Liberalisasi Ekonomi Indonesia

    Pada saat Presiden Soekarno berkuasa, ia membuat garis ekonomi dan politik yang mendukung dengan cita-citanya: Sosialisme Indonesia. Politik Indonesia adalah politik yang revolusioner dimana setiap kebijakan harus searah dengan penggayangan kekuatan imperialisme, kolonialisme dan kapitalisme.

    Konsep ekonomi politik Soekarno yang bercorak berdikari, mencurigai semua hal-hal yang berbau asing (apalagi bantuan dan investasi dari negara-negara blok Barat yang dijuluki sebagai blok imperialisme.) Karena itulah, selama masa kekuasaan Soekarno, banyak perusahaan dan modal asing yang disita dan dinasionalisasi. Perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasi tersebut kemudian dikelola oleh negara dengan tujuan untuk kepentingan rakyat.

    Namun pada kenyataanya, konsep sentralisasi ekonomi ala Soekarno justru membuat seluruh kekayaan bangsa berputar pada kalangan elit politik sehingga melahirkan masalah baru: korupsi. Sikap pemerintah Orde Lama terhadap kapitalisme dan juga penyitaan modal asing milik Belanda, Amerika, dan Inggris, membuat Indonesia tidak dilirik oleh investor. Ongkos revolusi yang kian membengkak, proyek mercusuar yang terus dikejar, serta jumlah pengangguran yang meningkat membuat Indonesia jatuh kedalam krisis ekonomi.

    Peristiwa G30S menjadi titik balik bagi Indonesia. Negara miskin yang hampir bangkrut secara ajaib bangkit kembali dan merestrukturisasi ekonominya. Pada tahun 1967, Jenderal Soeharto, sebagai Pejabat Presiden segera memerintahkan agar seluruh perusahaan asing yang disita dikembalikan kepada pemiliknya dan yang telah disita segera mengurus ganti rugi.

    Untuk memompa laju pembangunan yang sempat terhenti oleh gejolak revolusi, Soeharto kemudian mengadakan normalisasi hubungan kerjasama Indonesia dengan negara-negara luar, terutama negara blok Barat. Untuk memulihkan kepercayaan para investor dan negara luar yang ingin menanamkan modal mereka, pemerintah kemudian mensahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.

    Pemerintah Indonesia juga mengkoordinasi negara-negara maju yang bersedia memberikan bantuan kepada Indonesia, diantaranya adalah Amerika Serikat, Australia, Belgia, Jepang, Jerman Barat, Inggris, Italia, Kanada, Belanda dan Perancis. Negara-negara tersebut kemudian berhimpun dalam Inter-Govermental Group for Indonesia (IGGI). Keberhasilan Orde Baru dalam membangun ekonomi dan juga mengembalikan kepercayaan para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia, ternyata tidak begitu disukai oleh beberapa orang.

    *****

    15 Januari 1974, bertepatan dengan kunjungan kenegaraan Perdana menteri Jepang, Kakuei Tanaka, di Jakarta, terjadi demonstrasi besar-besaran. Mahasiswa menguasai jalanan menuntut agar pemerintah menurunkan harga, memberantas korupsi, dan juga mengatasi kesenjagan yang tejadi. Mahasiswa juga mengecam pola kebijakan ekonomi Orde Baru yang bertumpu pada modal dan investasi asing, khususnya Jepang.

    Pasca Perang Dunia II, ekonomi Jepang memang mulai bangkit kembali. Kemajuan industri dan teknologi membuat Jepang menjadi negara maju yang disegani. Pada tahun 1970an, banyak barang-barang made in Japan, baik kendaraan, peralatan rumah, elektronik murah menguasai pasar Indonesia, ekspansi barang-barang buatan Jepang inilah yang membuat anggapan bahwa ekonomi Indonesia dalam genggaman Jepang.

    Kemarahan terhadap Jepang meledak pada tanggal 15-16 Januari dalam buku “30 Tahun Indonesia Merdeka”, jilid 4, cetakan Sekretariat Negara tahun 1988, Tragedi Malari digambarkan sebagai suatu peristiwa amuk massa yang sangat besar. Kawasan Jakarta benar-benar tidak kondusif. Pasar Senen yang baru dibangun dibakar habis oleh demonstran, dan juga sepanjang jalan Jakarta terlihat aksi  penghancuran dan penjarahan.

    Richard Halloran, seorang jurnalis Harian The New York Times, memberitakan pada 16 Januari 1974, mahasiswa, siswa sekolah menengah, beserta massa lainnya, menguasai sebagian besar jalanan kota dan membakar mobil, truk, dan sepeda motor yang diketahui sebagai dibuat Jepang. Mereka membakar bendera dan barang-barang yang dilempar keluar dari perusahaan milik Jepang. (The New York Times, 16/ 01/ 1974)

    The New York Times juga mencatat 8 orang tewas, lebih dari 35 orang luka-luka, 125 kendaraan dibakar dan dibuang ke sungai, 10 bangunan kantor terbakar, dan 50.000 toko rusak parah. Kerusuhan hebat terjadi di Pasar Senen Jakarta Pusat dan Komplek Roxy Mall di Jakarta Barat. Kerusuhan ini menyebabkan Presiden Soeharto marah dan kemudian membentuk Dewan Stabilitas Politik dan Keamanan Nasional. Dari peristiwa inilah dimulai era kediktatoran dan militerisme Orde Baru.

    Pemerintah kemudian menangkap tokoh-tokoh yang dianggap bertanggung jawab, diantaranya yaitu, Hariman Siregar (tokoh mahasiswa), Drs. Sjahrir, dan Muhammad Aini Chalid. Mereka dituduh sebagai perusuh dan dalang dibalik peristiwa Malari. Di kemudian hari mereka menyangkal sebagai pelaku, sebab pembakaran dan penjarahan dilakukan tanpa kendali mahasiswa.

    *****

    Banyak sejarawan berbeda pendapat dalam mengungkap siapa dalang dibalik Peristiwa Malari. Ada yang berpendapat bahwa peristiwa tersebut terjadi karena ada persaingan di kalangan elit militer, yaitu Jenderal Ali Moertopo, Kepala Bakin (Badan Koordinasi Intelejen) dan Jenderal Soemitro selaku Panglima Kopkamtib. Namun benar tidaknya persaingan tersebut nampaknya bukan menjadi faktor utama. Yang menjadi landasan awal mengapa peristiwa ini terjadi bukan lain karena motif ekonomi.

    Pemerintah Orde Baru yang merubah sistem ekonomi terpimpin ala Soekarno kemudian menerapkan sistem ekonomi Pancasila yang sejatinya merupakan suatu bentuk dari sistem Kapitalisme Negara. Pada awal era Orde Baru, ekonomi pasar yang ditandai dengan masuknya modal asing ke Indonesia mulai menghasilkan perubahan yang banyak dirasakan oleh rakyat.

    Di satu sisi, rakyat merasakan perubahan ekonomi yang makin meningkat dan pengentasan kemiskinan yang begitu drastis. Namun di sisi lain, masyarakat dan juga para tokoh intelektual lebih terbuai oleh gagasan-gagasan ekonomi berdikari dan ekonomi sosialisme yang dianggap lebih berpihak pada rakyat.

    Pertumbuhan ekonomi yang naik drastis pada tahun 1969 dan 1970 tetap tidak bisa sepenuhnya menghapus kesenjangan orang miskin dan orang kaya. Oleh karena itu, para ekonom dan intelektual yang condong kepada gagasan ekonomi nasionalis, seperti Bung Hatta, Kwik Kian Gie, dan Drs. Sjahrir mengkritik kebijakan pro pasar yang dianggap membelakangi kepentingan rakyat banyak. Dari sinilah kemudian para mahasiswa dan kaum pelajar yang terbuai oleh romantisme era Orde lama bergerak pada 15 Januari 1974.

    Lalu mengapa Jepang menjadi sasaran amuk massa? Padahal dibandingkan dengan Jepang, investasi Amerika di Indonesia jauh lebih besar. Teka-teki ini dijawab oleh Rizal Mallarangeng  dalam bukunya Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986-1992. Menurut Rizal, bentuk investasi Jepang lebih “kasat mata” dibanding Amerika.

    Produk-produk Jepang seperti barang elektronik, kendaraan, hotel-hotel mewah, jelas lebih mudah dilihat oleh publik ketimbang Amerika yang lebih suka berinvestasi di bidang pertambangan seperti minyak bumi dan emas.  Inilah yang kemudian menimbulkan asumsi di kalangan masyarakat bahwa Jepang telah “menjajah” ekonomi Indonesia, lalu terjadilah Peristiwa Malari.

    *****

    Ekonomi pasar yang dibuka oleh rezim Orde Baru berhasil menyelamatkan Indonesia dari krisis ekonomi yang diwariskan oleh Orde Lama. Keberhasilan ekonomi Orde Baru tak lain karena sifat terbukanya pada investasi atau modal asing yang masuk. Restrukturisasi yang dilakukan oleh Soeharto telah membuat pembangunan bejalan dengan baik dan hasilnya pertumbuhan ekonomi naik dari minus 2,25%  pada tahun 1963, naik menjadi 12% pada tahun 1969.

    Walaupun pembangunan telah berjalan cukup baik, namun gagasan-gagasan tentang kesetaraan ekonomi, kemakmuran bersama, kemandirian ekonomi yang diwariskan oleh Bung Karno dan founding fathers tak bisa terhapus begitu saja. Di benak rakyat banyak, kapitalisme dan gagasan imperialisme asing masih tertanam kuat. Begitu pula dalam benak mahasiswa.

    Mahasiswa nampaknya masih terpesona oleh mimpi tentang ekonomi berdikari, konsep kemakmuran bersama, dan cita-cita utopia ala sosialis. Para mahasiswa tidak melihat konsepsi ideal tersebut dalam rezim yang didirikan oleh Soeharto. Inilah yang kemudian membuat mahasiswa bergerak, menolak modal asing dan kapitalisme.

    Mahasiswa kembali pada gagasan lama yang dibawa oleh Soekarno bahwa kapitalisme adalah musuh dan modal asing adalah pintu masuk bagi imperialisme. Peristiwa Malari adalah perlawanan terbesar mahasiswa terhadap kapitalisme dan modal asing, walaupun modal asing dan kapitalisme secara faktual telah berhasil menyelamatkan Indonesia dari kebangkrutan.

     

    Sumber:

    https://www.nytimes.com/1974/01/16/archives/violent-crowds-in-jakarta-protest-the-visit-by-tanaka-thousands.html?_r=0 Diakses pada 20 Januari 2020, pukul 16:32 WIB