Artikel Dasar Libertarianisme kali ini akan mengangkat tentang pemikiran tokoh China kuno, bernama Mencius, yang merupakan salah satu pelopor ide-ide liberalisme klasik. Suara Kebebasan mengambil pembahasan mengenai hal ini dari artikel “Mencius: The Predecessor of Classical Liberalism” oleh Paul Meany di website Libertarianism.org*, yang membahas mengenai pemikiran tokoh tersebut.
Liberalisme sendiri sering dianggap oleh banyak kalangan sebagai gagasan Barat, dan oleh karena itu, hanya cocok diterapkan di negara-negara Eropa dan Amerika. Ide-ide mengenai pemerintahan yang terbatas dan kebebasan sipil disangka oleh berbagai pihak tidak cocok untuk diterapkan di negara-negara Timur.
Meany sendiri menulis bahwa, studi mengenai pemikiran filsafat modern cenderung meminggirkan banyak tokoh-tokoh pemikir dari negara-negara Asia dan dunia Timur. Hal ini dikarenakan berbagai bias terhadap pemikiran dan gagasan politik dari Timur, di mana banyak pemikir Barat yang beranggapan bahwa bangsa Asia tidak memiliki kemampuan untuk membangun sistem pemerintahan selain dengan sistem tirani dan otoriter.
Pemikir dan filsuf politik asal Prancis, Montesquieu misalnya, memiliki pandangan bahwa bangsa Asia tidak memiliki kenginan untuk meraih kebebasan. Hal ini tentu merupakan sesuatu yang tidak tepat, salah satunya adalah melalui pemikiran dari Mencius.
Mencius, yang memiliki nama asli Mengzi, merupakan filsuf asal China yang hidup pada abad ke-4 sebelum masehi. Salah satu tokoh besar yang sangat berpengaruh bagi Mencius adalah filsuf besar China, Confucius, yang hidup sekitar 2 abad sebelum Mencius. Mencius menyatakan bahwa Confucius adalah tokoh terbesar yang pernah lahir di dunia.
Salah satu gagasan besar dari Confucius yang sangat mempengaruhi Mencius adalah pandangan Confucius mengenai kepemimpinan. Conficius percaya bahwa, seseorang hanya dapat berbuat baik secara murni apabila ia tidak hidup di bawah sistem yang opresif. Seorang pemimpin yang menginginkan rakyatnya untuk berbuat baik harus mampu memberikan contoh yang baik, dan bukan melalui berbagai aturan koersif dan kekerasan hingga hukuman yang memaksa rakyatnya untuk bertindak baik dan tidak melakukan sesuatu yang buruk.
Mencius percaya bahwa, agar seseorang dapat berbuat kebajikan dan memiliki moral yang baik, maka harus ada lingkungan yang mendukung hal tersebut. Setidaknya ada tiga hal yang sangat penting untuk menciptakan lingkungan tersebut, yang dapat mendorong seseorang untuk berbuat kebaikan.
Hal pertama yang harus dicapai adalah, seseorang harus mampu untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, seperti makanan, air, dan tempat tinggal. Kedua, ia harus mampu bersosialisasi unutk mempelajari etika dan cara untuk menghormati orang lain. Yang terakhir, seorang individu harus dimungkinkan untuk mampu melakukan refleksi diri.
Bila seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, maka akan sangat sulit bagi seseorang untuk mampu berkembang dan menjadi seseorang yang baik. Untuk itu, Mencius mengkritik berbagai peratuan dan kebijakan yang diambil oleh para Raja yang menjadi penguasa di berbagai wilayah di China pada saat itu yang sangat membebankan masyarakat, seperti aturan pengenaan pajak yang tinggi.
Dua ribu tahun sebelum Adam Smith menulis karya besarnya, The Wealth of Nations, Mencius memahami mengenai bahaya regulasi yang terlalu besar untuk mengatur perekonomian. Ia misalnya, menentang pemerintah memberlakukan aturan penetapan harga. Mencius menulis, bila pemerintah menetapkan seluruh sepatu dengan harga yang sama misalnya, maka pembuat sepatu akan memiliki insentif yang kurang untuk membuat sepatu dengan kualitas yang baik.
Selain itu, Mencius juga memahami pentingnya pembagian kerja, atau yang sekarang kita kenal dengan division of labor. Banyak pakar agrikultur di China pada masa itu misalnya, percaya bahwa seorang petani harus mampu melakukan seluruh kegiatan kerja dari hulu hingga hilir. Mencius menentang pandangan ini, dan menyatakan bahwa melalui pembagian kerja, maka akan menghasilkan spesialisasi, dan akan menghasilkan produksi barang yang lebih banyak dengan waktu kerja yang semakin berkurang bagi masyarakat secara keseluruhan.
Mencius juga merupakan pemikir yang mendukung perdagangan bebas. Untuk itu, tarif barang yang masuk ke suatu wilayah dari luar harus dihapuskan, dan pajak harus ditetapkan dengan angka yang rendah, untuk mendorong terjadinya perdagangan yang bebas.
Perang juga merupakan hal yang sangat dibenci dan ditentang oleh Mencius. China pada masa itu terpecah-pecah menjadi beberapa negara, dan para penguasa di negara-negara tersebut tak jarang melakukan perang untuk meningkatkan kekuasaan yang mereka miliki. Perang bagi Mencius adalah sesuatu yang sangat tercela secara moral, karena bukan hanya akan menimbulkan korban jiwa, namun juga akan menghabiskan waktu dan sumber daya.
Bila seorang pemimpin tidak bisa memenuhi kewajibannya terhadap rakyat yang dipimpinnya, Mencius menyatakan bahwa pemimpin tersebut harus diturunkan dan diganti dengan pemimpin yang lebih baik. Dalam hal ini, tindakan rakyat yang menentang pemimpin tersebut merupakan hal yang sangat tepat dan bisa dibenarkan.
Sebagai penutup, Mencius mengakui bahwa pemimpin yang baik bukanlah pemimpin yang memiliki kekuasaan yang besar dan tanpa batas. Hal ini membuat Mencius menjadi tokoh yang sangat tepat untuk dikomparasikan dengan berbagai pemikir dan filsif pelopor liberalisme di Eropa, seperti Adam Smith dan John Locke, yang lahir dua milenium kemudian.
*Artikel ini diambil dari artikel yang ditulis oleh Paul Meany yang berjudul “Mencius: The Predecessor of Classical Liberalism”. Link artikel: https://www.libertarianism.org/columns/mencius-predecessor-classical-liberalism Diakses pada 7 Agustus 2021, pukul 19.30 WIB.

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.