Bulan September lalu bagi sebagian orang mungkin dianggap biasa saja dan tak berbeda dari bulan bulan lainnya. Memang tidak ada yang aneh atau istimewa dari bulan september ini, tapi bagi perkembangan pemikiran Islam di Indonesia, bulan september ini dikenang sebagai bulan istimewa.
Mengapa Istimewa? Sebab salah satu tokoh nasional yang mempunyai pengaruh besar bagi modernisasi pendidikan Islam di Indonesia dan gerakan pembaharuan Islam pada umumnya, lahir di bulan ini. Tokoh intelektual Indonesia yang berjasa dalam mempromosikan paham keIslaman yang liberal, rasional, inklusif dan juga modern, dialah Harun Nasution. tulisan sederhana ini, saya dedikasikan untuk mengenang beliau sekaligus memperingati “Haul” beliau di bulan September lalu.
Tentang Harun Nasution
Harun Nasution lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara, pada tanggal 23 September 1919, anak ke 4 dari 5 bersaudara. Ia lahir di awal abad 20, dimana gerakan Islam yang liberal mulai berkembang serta mendorong terjadinya semangat modernisasi dan pembukaan pintu ijtihad (berpikir) dalam Islam. Euforia gerakan Renaisance Islam yang berbarengan dengan kebangkitan Asia, semakin bertambah hangat dengan kemunculan Muhammad Abduh di Mesir dan Ahmad Khan di India.
Di Indonesia wacana pembaharuan Islam juga tak kalah serunya. Banyak generasi muda Islam mulai berani berpikir bebas menerobos sekat tradisi dan mempertanyakan doktrin-doktrin kolot yang ditanamkan oleh nenek moyang sejak dahulu. Kaum muda Islam yang berpikiran modern dan terbuka ini kemudian membuat perkumpulan-perkumpulan untuk mengembangkan ajaran Islam yang murni dan modern.
Tentu saja hiruk pikuk wacana pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia memberikan pengaruh yang besar bagi pribadi Harun Nasution muda. Ia lahir di keluarga yang taat beragama dan memiliki pandangan yang tradisional dalam memahami Islam. Harun Nasution menempuh pendidikan pertamanya di Sekolah modern bentukan pemerintah Belanda yaitu HIS (Hollandsch Indandsche School). Di keluarganya, hanya dia yang mendapat didikan di Sekolah umum. Dan di Sekolah inilah ia mulai menyukai ilmu umum dan ilmu eksak.
Setelah menamatkan studinya di HIS, Harun muda memilih bersekolah di MIK (Moderne Islamietische Kweekschool) sekolah Islam pertama di Indonesia yang mengajarkan pendidikan Islam yang rasional dan modern pada murid-muridnya. Tentu hal ini membuat Harun Nasution semakin terkesan dengan Islam. Ia baru menyadari bahwa Islam memiliki sisi yang rasional dan liberal, berbeda dengan apa yang diajarkan oleh orang tua dan guru agama di kampungnya.
Kegandrungannya pada pemikiranan Islam liberal yang berkembang di Indonesia membuat keluarganya khawatir, walaupun terdapat silang pendapat, hubungan Harun Nasution dengan keluarganya tetap berjalan dengan baik. Merasa tak ada pilihan lain, akhirnya keluarganya pasrah membiarkan pilihan Harun Nasution dan mengizinkannya belajar di Mesir, pusat gerakan pembaharuan Islam.
Setelah menempuh pelajaran agama Islam di Al-Azhar, Mesir, dan dilanjutkan dengan studi pemikiran Islam di McGill University,Kanada. Harun Nasution benar-benar sadar bahwa Islam itu agama yang luas, inklusif, rasional dan liberal. Islam tidak sempit, fanatik buta dan kolot seperti yang ia dapatkan dari keluarga dan masyarakat di sekitarnya.
Setelah menempuh studi doktoral, Harun Nasution kemudian langsung mengabdikan dirinya di Indonesia untuk membangun tradisi berpikir ilmiah dan terbuka dalam dunia pendidikan Islam. Ia kemudian diangkat menjadi rektor di IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah dan berkontribusi menyebarkan pemikiran keislaman yang liberal dan rasional.
Tokoh yang dijuluki sebagai Islamis neo-modernis dan neo Mu’tazilah ini wafat ketika rezim Orde Baru yang pernah ia dukung runtuh dan badai krisis ekonomi menerpa Indonesia. Ia menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 18 September 1998
Islam yang Rasional dan Liberal
Belakangan ini sering kita jumpai perilaku sebagian orang yang beragama Islam mengecam paham liberal dan Islam liberal, bagi mereka liberal adalah kata-kata najis yang harus dijauhi walaupun sebenarnya mereka tidak faham dengan apa yang mereka tolak. Orang-orang seperti itu hanya mengekor buta terhadap seruan dan fatwa pemuka agama mereka sehingga dengan bekal ‘fatwa’ ini mereka berani menerjang apapun walaupun secara nyata tindakan mereka melanggar hukum dan hak asasi manusia.
Bagi Harun Nasution perilaku seperti itu sangat nonsens dan tidak ada tuntunannya dalam agama Islam. Ia menganggap bahwa Islam itu rasional dan liberal dalam artian seorang muslim memiliki kebebasan untuk menggunakan akal sehatnya dalam beragama, mempertimbangkan baik dan buruk, tidak sekedar ikut-ikutan apalagi menelan mentah-mentah suatu tindakan negatif, walau diselubungi oleh jubah agama.
Rasionalitas Harun Nasution juga mencakup pada perilaku dan pemahaman manusia terhadap agama. Manusia tidak boleh merasa dirinya terbebani oleh takdir dan merasa bahwa hidupnya telah digariskan oleh Allah dari awal nafas sampai akhir nafas, sebab bagi Harun Nasution pandangan ini adalah pandangan yang keliru. Teks-teks Al-Quran dan Hadits menurutnya mengajarkan bahwa perilaku manusia ditentukan oleh manusia itu sendiri.
Manusia pada hakikatnya telah ‘diberi’ Allah berupa kebebasan untuk bertindak. Jika ia bertindak baik maka akan mendapat balasan pahala dan jika ia berbuat buruk maka balasannya neraka. Ia berpendapat bahwa manusia harus hidup optimis, karena manusia dilahirkan bebas (Free Will and Free Act) maka ia harus berbuat dengan disertai rasa tanggung jawab. Baik tanggung jawab terhadap dirinya sendiri, pada orang lain, dan pada Tuhan Allah khususnya.
Kebebasan merupakan bagian dari hakikat manusia. Kita dapat merasakan hidup layaknya manusia disebabkan kita bebas, yakni bebas bertindak, bebas berpikir, bebas berekspresi, dan bebas beragama, serta bertindak secara rasional. Harun Nasution telah mendobrak tradisi fatalisme dan jumud (berpikir kolot).
Maka pemahaman yang benar adalah Tuhan Allah telah memberikan kekuasaan pada manusia untuk bertindak bebas dan berbuat sesuai kehendaknya. Namun kebebasan tersebut jangan sampai ‘bablas’ dalam artian terlampau egoistik, sehingga menerobos hak orang lain yng sama-sama memiliki kebebasan juga. Maka menurut Harun Nasution, agama diperlukan sebagai pedoman dan pemberi rambu-rambu manusia.
Agama hakikatnya Tidak mengekang kebebasan manusia, Justru agama sebagai pedoman agar manusia selamat dunia akhirat dan agar manusia hidup rukun, saling menghargai sesamanya. Agama itu sendiri adalah kebaikan dan sumber moral, sangat tidak masuk akal jika agama dijadikan sebagai alat penindasan, kekerasan, dan kerusakan, sebab hal tersebut tidak sesuai dengan nafas agama yang diturunkan sebagai pemberi rahmat bagi alam semesta.
Di Indonesia, Harun Nasution sering dituduh sebagai penyebar aliran Neo Mu’tazilah, hal ini di sebabkan karena mengedepankan pemikiran keislaman yang rasional, padahal persepsi yang umum pada masa itu, agama harus dipahami secara dogmatis dan literalis. Upaya pembaharuan dan rasionalisasi pada teks-teks keagamaan dianggap sebuah perbuatan dosa.
Harun Nasution dengan lugas menjawab kritikan tersebut dengan berargumen bahwa Islam sangat rasional. Ajaran untuk berpikir itu sendiri adalah semangat Al-Quran, bukan buat-buatan dirinya sendiri. Contohnya Surah Al-Anfal ayat 22: “Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah yang tuli, bisu, dan tidak mempergunakan Akal (la Yaqilun)”
Dengan spirit Surah Al-Anfal ayat 22 inilah, kemudia Ia memperjuangkan kebebasan berpikir dan berijtihad bagi kaum Muslim. Menurutnya, pintu kesusksesan Islam di abad pertengahan disebabkan pintu untuk berpikir dan berpendapat terbuka lebar, sehingga inovasi dan kreatifitas mengalir deras yang berefek pada kemajuan peradaban Islam pada masa itu.
Pola pemikiran bebas bukan hanya pada pemikiran tentang pengetahuan teknologi tapi juga pada ilmu agama, kontekstualisasi dan pembaruan keagamaan bagi Harun Nasution sangat penting bagi kelanjutan agama Islam. Asalkan selama pemikiran tersebut masih berpijak pada kitab suci Al-Quran dan berbasis pada Tauhid, maka pemikiran tersebut tetap diakui sebagai suatu usaha ijtihadiyyah untuk kemajuan agama, masyarakat dan bangsa.
Selama lebih dari 20 tahun Harun Nasution mengabdikan dirinya dalam dunia intelektual Islam. Ia menjadikan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tempatnya berkarya, sebagai basis dan paru-paru pembaharuan yang menyebarkan Islam rahmah, inklusif dan toleran ke seluruh penjuru negeri. Hampir semua dedikasi hidupnya ia curahkan untuk mengembangkan institusi tersebut, dan dialah yang menjadi pelopor bagi lahirnya Universitas Islam Negeri.
Islam bagi Harun Nasution tidak sekedar ritual tapi praktik dan prinsip. Islam bagi Harun Nasution bukanlah agama yang kolot dan fanatik, tapi modern dan terbuka. Islam bagi Harun Nasution tidaklah mengekang dan membuat manusia pesimis, justru beliau menekankan bahwa Islam mengajarkan bahwa kita adalah manusia merdeka dan harus selalu hidup dalam rasa optimis.
Banyak hal yang dapat kita pelajari dari sosoknya. Bagi saya pribadi, Harun Nasution adalah sosok Muslim sejati. Walaupun berpikir rasional, ia menjalani hidupnya secara asketis (cara hidup sufi). Ia juga bersikap terbuka pada orang-orang yang mengkritik bahkan mencaci makinya. Ia bersikap terbuka dan selalu memberikan peluang bagi orang lain untuk berpikir dan berpendapat, bahkan kepada seorang atheis sekalipun.
Hal inilah yang membuat sosoknya masih dikenang dan dikagumi hingga saat ini. Harun Nasution telah membuktikan pada kita semua bahwa Islam tidak seperti ‘kata mereka’ yang bertindak intoleran. Islam sangat liberal dan rasional, Islam tidak menutup diri dari perubahan zaman, dan yang terpenting Islam adalah agama rahmat untuk semua orang, bukan untuk segelintir orang atau golongan.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com