Dewasa ini, saya heran kenapa banyak umat Muslim cenderung mempermasalahkan hal-hal yang tidak substansial. Contohnya, di media sosial, mereka lebih asyik mencaci maki dan menghina orang lain sebagai sesat, kafir, dan penista agama hanya karena berbeda dalam urusan politik, agama dan mazhab. Alih-alih menjadikan Islam sebagai landasan moral dan spiritual, mereka justru tenggelam dalam kebencian.
Rasa cinta terhadap Islam adalah hal yang wajar, bahkan wajar bagi seorang Muslim. Namun, jika hingga bertindak sedemikian keras hingga berujung kekerasan fisik dan intoleran, tentu perbuatan ini sangat jauh dari nilai-nilai Islam. Islam bukan sekedar sorban, tasbih, dan ritual, Islam juga akhlak. Islam juga berarti kedamaian bagi umat manusia.
Banyak orang merasa dirinya paling Islami ketika menghardik atau menganggap orang lain sebagai musuh hanya karena berbeda agama atau berbeda keyakinan. Misalnya di Bekasi, pembangunan Rumah Ibadah Komunitas Hindu tidak bisa berjalan dengan baik hanya karena ada sekelompok warga Muslim yang menolak keras pembangunan tersebut (Detik.com, 20/05/2020).
Sikap ini jelas tidak menunjukkan sebuah perilaku agama yang berlandaskan pada moral dan cinta kasih. Sentimen keagamaan dan konflik agama lahir dari kebencian dan juga fanatisme yang berpangkal pada kebencian. Fundamentalisme agama justru membuat nilai-nilai agama yang penuh cinta tertutup dengan segala bentuk ritual formal atau eksoteris yang jauh dari misi para nabi yang diutus oleh Tuhan.
Tetapi dalam Islam, muncul juga kelompok-kelompok oposisi yang menentang hegemoni tafsir agama yang dimonopoli oleh kaum eksoteris atau kelompok fundamentalis, yang lebih menekankan pada formalisme agama dan juga aturan-aturan tradisi yang ketat dalam beragama. Kelompok ini lebih mempertahankan substansi atau inti ajaran Islam yang murni, berpaku pada sisi esoterisme Islam ketimbang menyibukkan diri dengan hal-hal yang tidak terlalu substansial seperti memelihara jenggot, bercadar, celana cingkrang, serta hal-hal sepele lainnya.
Mereka itulah yang dikenal sebagai kaum sufi. Kaum sufi adalah para pengamal ajaran tasawuf, yaitu ajaran yang bertujuan untuk memurnikan rohani dan membersihkan hati. Kaum sufi lebih berfokus pada ibadah tanpa mementingkan bentuk ibadah tersebut. Salah satu tokoh sufi yang kita bahas kali ini adalah Haji Bektash Wali, seorang guru besar dalam ilmu tasawuf dan spiritualisme Islam.
Haji Bektash Sang Sufi Cinta
Haji Bektash Wali, atau juga yang dikenal dengan Hācï Bektāsh Velī, adalah sosok yang mengagumkan. Beliau merupakan seorang mistik, humanis sekaligus filsuf yang berasal dari Persia. Ia hidup sekitar tahun 1209-1271 dan menetap di Anatolia. Ayahnya bernama Sayid Sultan Ibrahim dan merupakan keturunan dari imam Ahl Bait (keturunan Nabi Muhammad) dari silsilah Musa al-Kazim.
Ayahnya memberinya nama “Bektash” yang berarti “keagungannya setara dengan pangeran.” Haji Bektas Wali telah menghabiskan 25 tahun pertama hidupnya di Naishabur, di mana dia belajar filsafat, fisika, sastra, dan ilmu-ilmu lain dari yang guru-gurunya, yang dipimpin oleh Lokman Perende.
Dia kemudian pulang ke Anatolia dan menetap di Sulucakarahuyuk. Ia mendapat gelar Haji, lantaran ia berangkat ke tanah suci dan kemudian berguru dengan Maulana Ahmet Yesevi. Haji Bektash Wali pun mengembangkan pemikirannya di pusat kebudayaan Turki, mengangkat murid yang jumlahnya tak terhitung.
Ia kemudian mendirikan sebuah tarekat (ordo) yang bernama Tarekat Bektashi. Bektashisme adalah aliran pemikiran mistis dalam Islam yang berfokus pada penyempurnaan karakter dan spiritualitas manusia. Ajaran Haji Bektash bagaikan seorang navigator yang memandu mereka kepada jalannya yang paling dicari: ketakwaan dengan Tuhan. Bektashisme adalah jalan spiritual yang mengajak para pengikutnya untuk menghiasi mereka dengan cinta untuk menempuh kepada sang pencipta.
Bektashisme menganggap ajarannya sebagai pemurnian dari agama Islam yang otentik. Bektashisme menghormati semua agama dan manusia, dan salah satu kepala para ulama Bektashisme di Amerika yang termasyur, Baba Rexheb, pernah mengatakan, “Tekke (masjid) ini membuka pintunya bagi semua orang. Dan, mengikuti dengan setia jalan Haji Bektash, itu selalu mengajarkan perdamaian, cinta, dan persaudaraan di antara semua warga Albania dan semua orang” (The Bektashi Voice, 2018).
Ajaran Haji Bektash Wali, lebih menekankan aspek hakikat atau inti dari kebenaran agama ketimbang ritual formalistik agama. Jika dianalogikan dengan buah-buahan, yang ingin dinikmati oleh kaum Haji Bektash adalah daging buahnya yang lezat, bukan menikmati kulit luar dan harumnya buah tersebut. Sisi kulit buah itu disebut sisi zahir (eksoterik) dan isi dari buah tersebut adalah sisi batin (esoterik)
Mereka tidak mempermasalahkan masalah jilbab atau apakah orang itu berjenggot atau tidak. Bagi kaum Bektashi, hal itu tidak penting karena bukan dari tujuan Islam. Kaum Bektashi membagi tingkat praktik agama menjadi 4, yakni Syariah, Thariqah, Haqiqah, dan Ma’rifah. Atau, kalau disederhanakan menjadi ajaran ritual dan ajaran spiritual.
Bagi kaum Bektash, sisi ritual bukan hal yang penting, karena aspek spiritual dan moral dari salat, puasa, dan haji lebih penting untuk ditegakkan. Mereka tidak menolak shalat, tetapi lebih menekankan pada sisi moral dari shalat, yaitu selalu ingat pada Allah (dzikrullah) menyantuni anak yatim dan memelihara fakir miskin. Inilah inti dari ajaran Islam sebagaimana tertera dalam Al-Qur’an surah Al-Ma’un:
“Tahukah kamu orang-orang yang mendustakan agama? yakni orang yang menindas anak yatim dan tidak bersedia memelihara hidup fakir miskin, maka celakalah golongan yang shalat” (QS: Al’Maun 1-4).
Secara keseluruhan, sisi esoteris atau hakikat agama Islam dalam pandangan Haji Bektash adalah cinta kasih pada sesama. Cinta kasih inilah yang sering diabaikan oleh umat Muslim Indonesia yang saat ini. Padahal, cinta adalah inti daripada Islam dan cinta ini juga inti dari agama-agama di seluruh dunia.
Haji Bektash berkata, “Tidak perlu membedakan tiap agama. Sebab, jika kita membedakan agama-agama, akan menyebabkan perselisihan di antara orang-orang. Faktanya, semua agama bertujuan untuk memberikan kedamaian dan persaudaraan di bumi.”
Secara langsung, kita akan mendapatkan penjabaran yang jelas bahwa agama Islam tidak menganggap Tuhan menutup pintu keselamatan secara eksklusif pada satu kelompok. Sebaliknya, menurut Haji Bektash, inti dari “rahmatan lil alamin” yang tertuang dalam Al-Qur’an adalah Tuhan Allah menginginkan keselamatan dan kedamaian tanpa memandang ras dan agama.
Haji Bektash pernah menceritakan nasihat gurunya, Syaikh Ahmad Yasavi, “Jika kamu ingin dirimu selalu di surga (yaitu ketentraman batin), berbaik hati dengan semua orang dan jangan pernah simpan amarah di hatimu. Jika Anda ingin berada dalam jalan yang benar ini, jangan pernah menyalahkan siapa saja. Anda harus seperti obat untuk luka, bukan duri yang merobeknya.”
Lalu beliau melanjutkan, “Mungkin orang lain datang kepadamu dan memakimu, maka jangan balas mengucapkan kata-kata tidak baik, jangan berpikir buruk tentang siapa pun dan tidak terlibat dalam korupsi. Seorang darwis sejati tidak putus asa ketika orang-orang membuatnya marah. Seorang darwis sejati tidak membalas, bahkan ketika dia memiliki hak untuk melakukannya.”
Bagi Haji Bektash, dalam agama yang terpenting adalah iman dan amal. Iman adalah keyakinan pada Ar-Rahman (Tuhan) dan amal adalah perbuatan-perbuatan diri kita yang menebar rahmat (kedamaian dan cinta) pada semua orang. Bagi Haji Bektash, cinta adalah salah satu bagian dari fondasi terpenting Islam. Ia mengatakan:
“Nabi Muhammad yang agung datang kepadaku dalam mimpi berkata, ‘Wahai putraku! Jaga pakaianmu agar tetap bersih, dan ambillah yang diberikan kepadamu. ‘ Saya bertanya, ‘Tapi, wahai Utusan Tuhan, apakah pakaianku?’
Beliau menjawab dengan mengatakan, ‘Tuhan telah memberikan Anda dengan lima jenis pakaian, yaitu pakaian islam (penyerahan), pakaian imān (keyakinan), pakaian tawhid (pengesaan), pakaian ma’rifat (pengetahuan), dan pakaian mahabbah (cinta). Pakaian ini harus bebas dari kotoran, jagalah kebersihannya baik lahir maupun batin.”
Cinta kasih dan sifat moderat yang diajarkan oleh Haji Bektash begitu mengakar kuat pada kaum Muslim yang menjadi pengikutnya. Nilai-nilai pluralisme, altruis, dan kebebasan dalam berkeyakinan, Irshad Manji dalam buku Allah, Liberty, and Love, mengisahkan ketika kaum Yahudi di Albania tersiksa dan diteror oleh kaum Nazi pada Perang Dunia Kedua.
Perdana Menteri Albania, Mehdi Frasheri, menginstruksikan perintah rahasia kepada para pengikutnya, “Semua anak-anak Yahudi akan tidur dengan anak kalian, semua akan menyantap makanan yang sama, semua akan hidup sebagai satu keluarga.” Mehdi Frasheri adalah seorang Muslim Bektashi, dan para Muslim Bektashi di Albania menuruti instruksi Beliau, sehingga banyak anak-anak Yahudi yang telantar, kelaparan, dan lugu terselamatkan dari teror pembunuhan tentara Nazi Jerman (Manji, 2011).
Tentu apa yang kita saksikan saat ini hampir 180 derajat berbeda. Banyak Muslim yang menganggap bahwa membenci Yahudi dan Kristen adalah bagian dari ajaran agama mereka, padahal membenci bahkan membunuh manusia hanya karena berbeda keyakinan sangat ditentang dalam Islam.
Keyakinan tentang kemanusiaan universal ini merupakan hakikat ajaran Islam yang terlupakan. Mungkin kita perlu membawa ide-ide Haji Bektash Wali untuk direnungkan dan dihayati oleh Muslim Indonesia, bahwa Islam yang sejati seyogyanya mengedepankan cinta kasih, bukan jenggot, jilbab, atau pakaian formal.
Referensi
Buku & Majalah
Baba Rexheb. 2016. Islamic Mysticism and The Bektashi Path, Chicago: Babgan Books.
Manji, Irshad. 2011. Allah, Liberty and Love, Jakarta: Renebooks.
Majalah The Bektashi Voice, Vol. 4 tahun 2018, Amerika Serikat.
Internet
https://news.detik.com/berita/d-4539725/rencana-pembangunan-pura-di-sukatani-bekasi-ditolak-warga Diakses pada 20 Mei 2020, pukul 00.08 WIB.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com