Mengatasi Ujaran Kekerasan pada Pemilu Serentak 2019

    296

    Permasalahan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) di pemilihan umum (pemilu) salah satunya disebabkan belum jernihnya pemahaman dan penegakan hukum terhadap “ujaran kekerasan”, yang biasa disebut ujaran kebencian (hate speech). Terlebih lagi di tahun depan 2019 ialah pertama kali momentum Indonesia mengalami pemilihan umum serentak – Legislatif dan Presiden. Dengan demikian, mengatasi ujaran kekerasan menjadi semakin urgen dan krusial.

    Pemaknaan dan penyikapannya cenderung gebyar uyah. Semua pernyataan buruk bisa dinilai sebagai bentuk kebencian. Dengan demikian, kritik dan pendapat yang tak mengenakkan bisa dinilai ujaran kebencian. Dampaknya, kebebasan berbicara dan berpendapat dikhawatirkan berkurang signifikan. Ketakutan dinilai benci atau menjadi pribadi yang mudah melapor merupakan efek samping dari luasnya pemaknaan hate speech.

    Padahal, ujaran yang termasuk hate speech harus menyertakan unsur kekerasan atau konsekuensi hilangnya hak warga. Berdasar penjelasan ini kita perlu mengubah istilah “ujaran kebencian” menjadi “ujaran kekerasan”. Ujaran kekerasan adalah ajakan kepada massa untuk melakukan kekerasan fisik atau ancaman kekerasan fisik terhadap suatu pihak (individu atau kelompok). Dari pengertian ini, kita bisa membedakan pernyataan/ujaran yang perlu dilaporkan atau ditindak sebagai bentuk pelanggaran pidana.

    Misalnya, dalam membedakan pernyataan “orang kafir”, “bunuh kafir”, dan “orang kafir halal darahnya”. Mengatakan “orang kafir” bukan ujaran kekerasan sehingga tidak dipidana karena tidak menyertakan ujaran kekerasan fisik, baik ancaman ataupun ajakan untuk melakukan kekerasan. Sedangkan, mengatakan “bunuh kafir”, dan “orang kafir halal darahnya” termasuk sebagai ujaran kekerasan dan harus dipidanakan sebagai bentuk kepastian dan ketegasan hukum.

    Regulasi di Indonesia sudah menempatkan ujaran kekerasan sebagai hal yang bisa dipidanakan. UU No.7/2017 Pasal 280 Ayat (1) huruf f bertuliskan, Pelaksana, peserta, dan tim Kampanye Pemilu dilarang mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota masyarakat, dan/atau Peserta Pemilu yang lain.

    Lalu, Pasal 511 menuliskan sanksi terhadap pelanggaran larangan itu. Redaksi pasalnya, Setiap orang yang dengan kekerasan, dengan ancaman kekerasan, atau dengan menggunakan kekuasaan yang ada padanya pada saat pendaftaran Pemilih menghalangi seseorang untuk terdaftar sebagai Pemilih dalam Pemilu menurut Undang-Undang ini dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp 36 juta.

    Pasal 531 menekankan pada penggunaan kekerasan hanya dalam konteks penghilangan hak pilih serta mengganggu ketentraman pemungutan suara di lokasi TPS. Hukuman pidananya, penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak Rp 24 juta.

    Ada tiga penekanan berharga dari regulasi itu sehingga bersifat tidak membatasi kebebasan. Pertama, yang ditekankan adalah ujaran dan tindakan kekerasan, bukan kebencian. Kedua, larangan ujaran dan tindakan kekerasan di konteks kepemiluan tidak berlaku pada pemilih, tapi hanya pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu. Ketiga, ujaran kekerasan dalam konteks kepemiluan hanya relevan di beberapa keadaan seperti pada tahap pendaftaran pemilih dan pemungutan suara.

    Berkaca dari pengalaman Pilkada DKI Jakarta 2017, sepertinya ada ketidakpahaman atau lemahnya penegakan hukum terhadap hal tersebut. Sebagai gambaran, pelanggaran kampanye di luar jadwal serta penyelewengan kewenangan dan fasilitas aparatur sipil Basuki Tjahaja Purnama selaku Gubernur DKI Jakarta di Kepulauan Seribu malah dijadikan kasus penistaan agama yang berakhir di jeruji besi.

    Sedangkan, Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq yang menyerukan “bunuh Ahok!” di ruang publik dalam demonstrasi, malah dibiarkan.

    Keadaan jadi semrawut di tengah sentimen publik. Segala perkataan soal SARA jika membuat tersinggung sebagian masyarakat bahkan seseorang bisa dilaporkan dan dipidanakan. Padahal ketersinggungan lebih ke soal rasa yang objektivitasnya sangat sulit diukur.

    Jika sikap/perkataan/kicau/status disimpulkan menyinggung atau menghina SARA, mengapa ada masyarakat SARA lainnya yang tak tersinggung/terhina? Jangan-jangan permasalahannya ada di sebagian masyarakat Indonesia yang mudah tersinggung dan merasa terhina.