Abad ke-20 sudah menjadi saksi bahwa, sosialisme dan pemerintahan tirani seakan merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Di hampir semua negara yang menerapkan sistem ekonomi sosialisme, seperti Uni Soviet, China, Korea Utara, Kamboja di era Pol Pot, Kuba, dan negara-negara Blok Timur seperti Jerman Timur, Hungaria, dan Cekoslowakia, rezim tirani yang otoriter di bawah payung Partai Komunis menjadi penguasa di seluruh negara tersebut.
Di negara-negara komunis yang menerapkan sistem ekonomi sosialis, para warganya tidak memiliki kebebasan untuk berpendapat atau mengeluarkan opini. Kebebasan pers juga tidak ada, dan media digunakan sebagai corong bagi pemerintah untuk menyebarkan propaganda warganya. Mereka yang berani mempertanyakan, mengkritik, atau memprotes para pejabat negara dan pimpinan partai akan segera ditangkap, dieksekusi, atau dikirim ke kamp kerja paksa.
Selain itu, tidak seperti di negara demokrasi, masyarakat yang tinggal di negara-negara yang menerapkan sistem ekonomi sosialis juga tidak bisa memiliki para wakil dan pimpinan mereka di pemerintahan. Mereka juga tidak bisa membuat partai politik lain secara bebas, dan harus tunduk pada ketetapan yang sudah dibuat oleh para petinggi partai komunis.
Lantas, mengapa di seluruh negara-negara yang menerapkan sistem ekonomi sosialis, semuanya berujung pada tirani dan pemerintahan otoritarian? Topik inilah yang menjadi bahasan dari Thomas Gordon dalam artikelnya yang berjudul “Why Socialism Often Leads to Tyranny.” Artikel tersebut dipublikasikan oleh Foundation for Economic Education (FEE).
Dalam artikelnya, Gordon mengidentifikasi beberapa hal yang menyebabkan mengapa sistem ekonomi sosialis hampir selalu (atau selalu) berujung pada tirani dan otoritarianisme. Salah satu penyebab dari hal tersebut adalah, di negara sosialis, semua hal yang bisa dimiliki oleh masyarakat hanya bisa didapatkan dari negara.
Di negara-negara sosialis, seperti Uni Soviet, Kuba, dan Korea Utara, seluruh aset dan properti dimiliki oleh negara. Kepemilikan pribadi tidak diakui, karena dianggap sebagai ciri dari masyarakat kapitalis yang harus dihancurkan. Seluruh kebutuhan masyarakat, seperti sarana kesehatan, rumah, transportasi, makanan, pendidikan, dan kebutuhan sehari-hari, diberikan dan dikontrol penuh oleh negara.
Akibatnya, negara pada saat yang sama juga bisa mengambil kembali berbagai hal yang diberikan tersebut. Masyarakat yang tinggal di negara-negara sosialis tidak memiliki independensi karena seluruh kebutuhan mereka dikontrol oleh negara. Bila ada warga yang berani melawan penguasa atau pejabat negara, maka pemerintah tinggal mencabut seluruh fasilitas tersebut, seperti rumah, sarana kesehatan, dan makanan.
Sebab selanjutnya adalah, by nature, kebijakan ekonomi sosialis hanya bisa diterapkan melalui paksaan dari pemerintah. Dalam sistem ekonomi pasar bebas, setiap pelaku ekonomi memiliki kebebasan untuk menjalankan usahanya sesuai dengan caranya masing-masing. Para pekerja juga memiliki kebebasan untuk memilih pekerjaan, dan para konsumen memiliki kemerdekaan untuk memilih produk terbaik yang ada di pasar.
Dampak dari sistem tersebut adalah, akan terjadi kompetisi antara para aktor ekonomi. Para pelaku usaha berlomba-lomba membuat produk yang terbaik, para pekerja juga dapat memilih tempat untuk bekerja yang membayar mereka paling tinggi untuk kemampuan yang mereka miliki, serta konsumen yang menjadi penentu produk apa yang dapat bertahan di pasar.
Sebaliknya, kelompok-kelompok sosialis tidak menyukai sistem ekonomi yang bertumpu pada kebebasan memilih dan kebebasan untuk bertransaksi. Seluruh aktivitas ekonomi, seperti barang apa yang diproduski, pekerjaan apa yang dapat kita miliki, dan produk apa yang bisa dikonsumsi oleh konsumen sudah ditentukan oleh negara. Mereka yang melakukan kegiatan ekonomi di luar apa yang sudah ditentukan oleh negara dianggap sebagai kriminal yang akan dihukum oleh negara.
Gordon juga menulis, tidak seperti di negara-negara yang mengadopsi sistem ekonomi pasar bebas, kepemilikan pribadi tidak diakui di negara-negara sosialis. Akibatnya, satu-satunya cara untuk mengkolektivisasi kepemilikan pribadi adalah dengan menggunakan kekuatan senjata. Inilah misalnya yang terjadi di Uni Soviet, ketika pemerintah Soviet ingin mengkolektivisasi lahan-lahan pertanian. Para petani yang memiliki lahan tersebut tentu tidak serta merta memberi lahan mereka secara sukarela. Tidak sedikit dari mereka yang melakukan protes dan melawan ketika tanah-tanah dan properti mereka diambil. Tidak sedikit pula warga dan petani yang harus kehilangan nyawanya di bawah senjata pemerintah Soviet yang ingin merampas properti mereka.
Gordon juga menulis, kekuasaan negara yang begitu besar untuk mengontrol masyarakat di negara-negara sosialis juga membuat para politisi dan pejabat negara memiliki kekuasaan yang sangat beasr untuk melindungi dan memanfaatkan wewenang yang mereka miliki untuk kepentingan pribadi mereka. Hal ini tentu menyebabkan kesempatan masyarakat untuk melawan pemerintah menjadi semakin kecil, karena kontrol yang dimiliki oleh pemerintah terhadap warganya sedemikian besar.
Oleh karena itu, tulis Gordon, di hampir semua negara-negara komunis yang menerapkan sistem sosialis, kejatuhan pemerintah yang disebabkan oleh popular uprising dari masyarakat hampir tidak ada. Hampir seluruh perubahan di negara-negara sosialis terjadi karena kebetulan penguasa di negara tersebut ingin membuka diri. Dan ketika ada penguasa di negara sosialis yang memutuskan untuk membuka diri, besar kemungkinan sistem tersebut langsung mengalami keruntuhan.
Hal inlah yang terjadi di Uni Soviet pada akhir dekade 1980-an. Pemimpin Soviet pada masa itu, Mikhail Gorbachev, memutuskan sudah saatnya Soviet membuka diri dan ia mulai melakukan serangkaian reformasi politik dan ekonomi. Sejarah menjadi saksi bahwa, kebijakan membuka diri yang dilakukan oleh Gorbachev merupakan awal dari keruntuhan Uni Soviet di awal dekade 1990-an.
Di bagian akhir tulisannya, Gordon memaparkan bagaimana masyarakat yang sehat (healthy society) seharusnya bekerja. Dalam masyarakat yang sehat, tidak ada satupun pihak yang memiliki kekuasaan yang sangat besar dan terpusat, yang bisa mengontrol kehidupan jutaan orang. Struktur pemerintah harus memastikan agar tidak ada satupun lembaga atau pejabat yang memiliki kekuasaan terlampau besar sehingga bisa mengancam institusi lainnya.
Civil Society atau masyarakat sipil juga merupakan aspek yang sangat penting untuk dihadirkan dan dijaga demi terciptanya masyarakat sehat yang bebas. Masyarakat sipil, seperti perusahaan, lembaga non-profit, atau organisasi, harus memiliki independensi dari negara, dan negara tidak bisa masuk ke seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Para politisi yang menjadi pejabat negara, di dalam masyarakat sehat yang bebas, juga memiliki fungsi yang jelas dan terbatas untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Para legislator misalnya, memiliki wewenang untuk membuat hukum, dan lembaga eksekutif yang menjalankannya. Ketika ada pihak-pihak tertentu yang melakukan pelanggaran hukum, hal tersebut harus diputuskan di lembaga yudikatif, dan tidak bisa dilakukan oleh legislator atau lembaga eksekutif.
Abad ke-20 sudah menjadi saksi bagaimana akibat bila sistem sosialisme diterapkan di sebuah negara. Sosialisme tidak lain hanya akan melahirkan tirani, kekuasaan negara yang sewenang-wenang, hilangya otonomi dan kebebasan individu, kurangnya inovasi, serta keadaan ekonomi yang semakin memburuk. Gordon juga memperingatkan bahwa, ketika kita memilih pejabat negara, kita harus berhati-hati. Kita harus bisa memastikan bahwa kita akan memilih pejabat negara yang mengerti dan paham mengenai dari mana kebebasan berasal dan bagaimana cara melindungi hal tersebut.
*) Artikel ini diambil dari tulisan Thomas Gordon yang berjudul “Why Socialism Often Leads to Tyranny”. Link artikel: https://fee.org/articles/why-socialism-often-leads-to-tyranny/ Diakses pada 3 September 2020, pukul 20.05 WIB.

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.