Sosialisme merupakan gagasan yang mempromosikan kesetaraan, kemakmuran, keadilan, dan kesejahteraan, Oleh para pendukungnya, ideologi tersebut dipercaya sebagai ide yang dapat mendirikan surga di dunia, yang terbebas dari eksploitasi, kemiskinan, dan kektidakadilan.
Namun, sejarah membuktikan sebaliknya. Bukannya membawa janji-janji kesetaraan, keadilan, dan kesejahteraan, sosialisme justru menghadirkan perbudakan, kemiskinan, dan totalitarianisme. Masyarakat yang tinggal di negara-negara sosialis, seperti Uni Soviet, Korea Utara, Kuba, dan Jerman Timur pada masa lalu, tidak hanya harus hidup dengan standar dibawah negara-negara yang mengadposi ekonomi pasar seperti Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, dan negara-negara Eropa Barat.
Mereka juga dipaksa hidup di bawah kekuasaan diktator para petinggi partai Komunis, dan tidak memiliki kebebasan politik untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat. Orang-orang yang berani melawan dan memberi kritik kepada pemerintah akan ditangkap, dipenjara, dan dieksekusi.
Lantas, mengapa sosialisme gagal dalam merealisasikan janji-janjinya? Mengapa hasil yang dibawa oleh sosialisme berkebalikan 180 derajat dari surga dunia yang ingin didirikan oleh para pendukungnya?
Topik inilah yang dibahas oleh Mark J. Perry, dalam artikelnya yang berjudul “Why Socialism Failed” yang diterbitkan oleh Foundations for Economic Educations (FEE). Perry dalam artikelnya membahas mengenai penyebab utama mengapa sosialisme gagal dalam merealisasikan janji-janji besarnya.
Penyebab pertama yang ditulis oleh Perry adalah sosialisme menghilangkan insentif bagi individu untuk berkreasi dan berinovasi. Di dalam sistem kapitalisme, insentif adalah hal yang sangat penting untuk mendorong kemajuan. Para pelaku ekonomi yang tidak memiliki insentif untuk berinovasi akan dihukum oleh pasar dan mendapatkan kerugian.
Hal ini berbanding terbalik dengan sistem ekonomi sosialisme yang diterapkan di berbagai negara-negara komunis, seperti Uni Soviet, Kuba, dan Korea Utara. Di dalam sistem ekonomi sosialis, insentif tidak meiliki peran sama sekali, karena seluruh properti dimiliki dan berada di bawah kontrol negara. Individu tidak memiliki insentif untuk berinovasi karena ia tidak bisa mendapatkan manfaat dari inovasinya.
Penyebab kedua yang dipaparkan oleh Perry adalah mengenai peran harga di dalam pasar yang dihilangkan dalam sistem ekonomi sosialis. Harga di dalam ekonomi pasar memiliki peran yang sangat penting sebagai pemandu bagi para pelaku usaha untuk menjalankan kegiatan ekonomi.
Harga pasar berfungsi untuk mentransmisikan informasi mengenai kelangkaan suatu barang dan bagaimana cara menggunakan sumber daya ekonomi yang efisien bagi para pelaku usaha. Bila ada barang yang semakin langka, maka harga barang tersebut akan menjadi naik dan para pelaku ekonom akan memiliki insentif lebih menggunakan sumber daya yang dimilikinya untuk membuat barang tersebut, sehingga kelangkaan menjadi semakin berkurang.
Sementara, di dalam ekonomi sosialis, tanpa adanya ekonomi pasar, maka harga barang dan jasa adalah harga palsu yang dibuat oleh pemerintah. Harga tersebut tidak merepresentasikan kelangkaan dan kebutuhan masyarakat akan barang tersebut, sehingga harga palsu tersebut tidak bisa digunakan untuk memandu para pelaku ekonomi untuk menggunakan sumber dayanya secara lebih efisien. Harga pasar terbukti merupakan instrumen yang terbaik untuk memandu aktivitas ekonomi.
Penyebab ketiga yang menyebabkan sosialisme gagal adalah tidak adanya keuntungan dan kerugian mengapresiasi dan menghukum para pelaku ekonomi yang melakukan kegiatan ekonomi. Di dalam sistem ekonomi kapitalisme, para pelaku usaha dipaksa untuk menggunakan sumber daya mereka seefisien mungkin untuk menghindari kerugian dan mendapat keuntungan.
Tanpa adanya sistem profits and losses, maka para pembuat kebijakan dapat mengambil keputusan sesuai dengan kehendak mereka sendiri karena mereka tidak akan mendapatkan kerugian apabila kebijakan yang mereka ambil gagal, tidak seperti para pelaku usaha di dalam sistem ekonomi pasar. Tidak ada yang dapat memaksa para pembuat kebijakan ekonomi untuk mengelola badan-badan usaha yang dimiliki oleh negara untuk melayani dan menyediakan barang-barang sesuai dengan yang diinginkan oleh publik.
Faktor keempat yang ditulis oleh Perry adalah, tidak adanya perlindungan atas hak kepemilikan. Di dalam sistem ekonomi kapitalis, hak kepemilikan setiap individu merupakan sesuatu yang sangat dilindungi oleh hukum, dan tidak ada seorang pun yang bisa mengambil paksa atau merusak barang orang lain. Oleh karena itu, setiap individu akan memiliki insentif untuk menjaga dan menggunakan barang yang dimilikinya dengan sebaik mungkin.
Hal ini berbanding terbaik dengan yang terjadi di negara-negara sosialis. Ketika seluruh properti dimiliki secara kolektif oleh negara, maka orang-orang yang mengelola properti tersebut tidak memiliki motivasi untuk mengunakan properti tersebut dengan sebaik-baiknya.
Tidak hanya itu, mereka yang memiliki kuasa untuk mengelola properti tersebut justru akan menggunakan properti yang dimiliki oleh bersama tersebut untuk mendapatkan keuntungan sebesa-besarnya bagi diri mereka sendiri. Fenomena ini dikenal dengan nama tragedy of the commons.
Tragedy of the commons muncul ketika ada suatu properti yang dimiliki bersama, namun setiap individu yang memiliki properti tersebut bukannya justru menggunakan properti tersebut demi kebaikan bersama, akan tetapi setiap individu justru berlomba-lomba unutk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari properti tersebut. Hal inilah yang terjadi di negara-negara sosialis. Ketika seluruh sumber daya dimiliki secara publik oleh negara dan berada di bawah kontrol para petinggi partai, maka hal tersebut akan memberi “insentif” bagi para petinggi partai yang menjadi pejabat negara untuk berlomba-lomba mengeruk sumber daya tersebut untuk keuntungan diri mereka sendiri, yang kelak akan menghancurkan negara mereka.
Sosialisme terbukti merupakan sistem yang gagal dalam merealisasikan janji-janjinya, yang berbanding terbalik dari bukti keberhasilan kapitalisme. Perry dalam artikelnya menulis kesimpulan singkat mengenai perbedaan terbesar antara kapitalisme dan sosialisme. Capitalism works.
Sumber artikel:
https://fee.org/articles/why-socialism-failed/ Diakses pada 12 Juli 2020, pukul 13.00 WIB.

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.