Kemungkinan besar semua umat Islam mengetahui bahwa kehadiran Islam di muka bumi sebagai agama yang membawa misi Rahmatan lil ‘alamin. Secara harfiah Rahmatan lil’ alamin diartikan sebagai pembawa rahmat dan kesejahteraan bagi seluruh alam semesta. Termasuk di dalamnya setiap makhluk hidup yang diciptakan oleh Allah SWT. Lantas jika begitu mengapa masih ada sekelompok pemeluk agama Islam yang meligitimasi kekerasan atas dasar perintah agama?
Contohnya yang terjadi di Indonesia sejak beberapa tahun belakangan, kasus perusakan rumah ibadah agama lain, intimidasi terhadap kaum minoritas bahkan seruan untuk tidak menyolatkan jenazah yang memilih pemimpin non muslim menjadi bukti suburnya kekerasan atas nama agama. Hal ini menjadi kontradiktif, jika Islam disebut sebagai pembawa rahmat, namun di sisi lain menampilkan sisi brutalisme.
Kelompok yang meyakini bahwa agama dan kelompoknya adalah sesuatu yang ekslusif dibandingkan yang lainnya kerap disebut sebagai kelompok fundamental. Namun sayangnya, kerap kali dasar penafsiran kelompok tersebut hanya berdasarkan penafsiran literal dan sempit terhadap ayat suci. Salah satu ayat suci yang kerap menjadi landasan pemikiran tesebut adalah QS. Ali- Imran ayat 19: “Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang diberi kitab kecuali setelah mereka diberi ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barang siapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh Allah sangat cepat memperhitungkannya”.
Penafsiran literal terhadap ayat suci Al-Qur’an merupakan salah satu sebab fenomena ekslusifisme berkembang biak dengan masif di tengah masyarakat awam. Mereka mempercayai dengan mutlak bahwa Islam adalah agama yang yang paling benar sehingga agama diluar itu dianggap sesat dan kafir. Tentu cara pandang sempit ini menjadi bahan bakar utama pemicu terjadinya konflik horizontal di masyarakat multikultural.
Padahal jelas sekali disebutkan dalam Al-Qur’an bahwa Allah SWT sendiri yang menghendaki adanya perbedaan, salah satunya tercantum dalam surat QS. Hud ayat 118: “ Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat”.
Lalu dimanakah posisi agama Islam dalam menghadapi masyarakat multikultural? Apakah senantiasa diperbolehkan melakukan kekerasan apabila tidak sesuai dengan nilai-nilai ke-Islam-an? Di dalam Al-Qur’an memang terdapat ayat-ayat mengenai peperangan, namun perlu digarisbawahi bahwa sejarah peperangan dalam Islam bukan berlandaskan persoalan akidah melainkan persoalan politik.
Salah satunya kisah ketika Nabi Muhammad SAW mulai mensyiarkan agama Islam di Makkah, Nabi dan para pengikutnya mendapatkan caci maki dan kecaman dari para pemuka paganisme Quraisy (pengikut iblis). Alasan kecaman dan tindak kejahatan yang diterima oleh pengikut Nabi adalah pihak musyrik Quraisy merasa terancam secara ekonomi dan politik. Seruan ajaran Islam dalam kebebasan berpikir dan beragama menyadarkan penduduk Makkah bahwa diri mereka berada di dalam kekuasaan tirani (Qarim, 1997).
Riwayat menceritakan, banyak para pengikut Nabi disiksa bahkan dibunuh dengan dilempar di tengah-tengah gurun pasir pada tengah hari kemudian ditindih batu besar sembari dipaksa untuk kembali mengingkari agama Islam. Rasul pun dikejar-kejar untuk dibunuh, namun Rasul masih dapat diselamatkan oleh pamannya, Abu Thalib. Meski banyak pengikut Nabi yang sudah menjadi korban keganasan musyrik Quraisy, Nabi beserta sahabatnya tidak langsung mendeklarasikan peperangan, karena saat itu Allah berfirman kepada mereka untuk tidak melakukan perlawanan melainkan bersabar. “Bersabarlah terhadap apa yang kafir Quraisy ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik.”
Pihak musyrik Quraisy tidak menghentikan serangannya meskipun umat Islam tidak sedikitpun melakukan pembalasan, Nabi beserta sahabat-sahabatnya memutuskan untuk menyingkir dari Makkah sebagai upaya mempertahankan diri. Ketika terusir dari Makkah, akhirnya Allah SWT menurunkan titah berperang “Diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka dizalimi. Dan sungguh Allah maha kuasa menolong mereka itu” (QS. Al-Hajj 39).
Fakta historis tersebut jelas menunjukkan bahwa peperangan yang diijinkan adalah peperangan untuk mempertahankan diri dari serangan musuh. Pun tidak serta-merta Nabi beserta sahabatnya dengan gelap mata membunuh setiap kaum musyrik Quraisy di tanah Makkah, meskipun perintah memerangi orang kafir telah diturunkan.
Nabi selalu berpesan untuk tidak pernah menyentuh anak-anak, perempuan dan kaum renta dalam peperangan. Betapa mulianya ajaran Islam untuk tetap meninggikan kaum-kaum tersebut meski nyawa mereka terancam. Bahkan setelah musyrik Quraisy tergencet posisinya sehingga tidak bisa lagi menyerang, Islam juga menghentikan serangan dan menjaga jarak agar keadaan kembali aman dan damai.
Kemudian jika riwayat tersebut direfleksikan ke dalam kehidupan saat ini, khususnya di Indonesia, apakah umat Islam saat ini berperan sebagai pencetus perselisihan atau kaum yang menghindari terjadinya perselisihan? Sudah terang dan tidak bisa berubah Indonesia adalah negara yang multikultural.
Karena keberagaman yang dimiliki Indonesia, negara ini menjadi kaya akan corak budaya dan masyarakat namun juga berpotensi melahirkan kericuhan karena banyaknya pandangan yang berbeda. Tenun persatuan bangsa Indonesia memang bukan sekali terkoyak oleh persoalan SARA. Perang antar suku salah satunya seperti yang terjadi di Sampit pada tahun 2001, masih meninggalkan ingatan pedih karena banyaknya korban terbunuh dari dua belah pihak.
Konflik horizontal yang sering terjadi salah satunya penyerangan terhadap kaum minoritas. Hal ini disebabkan oleh kesalahan menggunakan power oleh pihak mayoritas, pun dalam ilmu sosiologi, mayoritas yang tidak memiliki pemahaman yang baik terhadap minoritas akan memicu konflik horizontal. Dalam ajaran tauhid, perlu diketahui bahwa Nabi juga menyerukan kepada umat Islam untuk menjunjung tinggi kehormatan semua manusia. Artinya bahwa urusan agama bukan hanya urusan praktik ibadah vertikal, melainkan menjaga hubungan antar sesama. Linear dengan konsep Islam sebagai Rahmatan lil ‘alamin.
Sehingga tidak dibenarkan pula menyakiti makhluk lainnya karena alasan mengikuti suri tauladan Rasullah. Jelas di dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa tugas Nabi Muhammad SAW di muka bumi hanya sebagai penyampai petunjuk bagi mereka yang dikehendaki-Nya bukan sebagai pemimpin perang atau penyeru peperangan.
Jadi, jika kini banyak negara Barat yang memberikan stigma bahwa Islam adalah agama pedang dan mengajarkan kekerasan, sungguh tugas umat Islam sendirilah yang harus mengubah stigma negatif itu dengan kembali mempelajari sejarah Islam dan menerapkan sikap arif menghadapi perbedaan.
Menafsirkan Al-Qur’an dengan metode literal tanpa mempertimbangkan aspek historis-normatif kelak akan merugikan nama Islam sendiri sebagai agama pembawa kedamaian. Perspektif historis mutlak digunakan dalam menimbang sebuah tafsir, karena Al-Qur’an sebagai pedoman umat Islam juga diturunkan secara berkala, yakni 22 tahun, 2 bulan, 22 hari.
Itu artinya, setiap perintah, anjuran dan pesan yang terkandung dalam Al-Qur’an diturunkan berdasarkan konteks situasi pada saat itu. Maka dari itu, mempelajari sejarah Islam secara menyeluruh akan melahirkan penilaian secara rasional dan inklusif.

Tri Yunita Sari, saat ini bekerja sebagai Programme Asisstant dan Communications Officer untuk proyek Indonesia dan Malaysia pada Yayasan Politik Jerman “Friedrich Naumann Foundation for Freedom”. Khusus untuk proyek Indonesia, menangani isu pluralisme dengan bekerja sama dengan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman. Email trie.sari@fnst.org atau trie.yunitasari@gmail.com