Mengapa Pemisahan Kekuasaan itu Penting?

    467

    Bila Anda pernah menonton acara-acara politik di televisi, besar kemungkinan Anda merasa geram dan kesal dengan tingkah laku para politisi di layar kaca. Tidak jarang mereka saling berdebat, berteriak satu sama lain, dan mengeluarkan janji-janji palsu yang tidak pernah terbukti.

    Rasa frustasi ini tentu merupakan sesuatu yang sangat manusiawi. Melihat kelakuan para pejabat publik berkelahi di depan publik semenatra mereka yang dibayar dengan uang rakyat dalam jumlah besar merupakan hal yang memang bisa menaikkan rasa emosi. Harus saya akui, tidak jarang saya juga kerap merasakan hal tersebut ketika menonton berbagai program yang menampilkan para politisi.

    Mungkin ada kalanya, Anda berpikir lebih baik para politisi tersebut diturunkan saja. Para politisi yang terlihat hanya bisa mencela dan berkelahi di depan publik tersebut tidak lebih dari hanya menghambur-hamburkan uang negara belaka, yang seharusnya bisa digunakan untuk hal-hal lain yang jauh lebih bermanfaat bagi kehidupan masyarakat.

    Bisa jadi juga, Anda lantas mengimpikan adanya seorang pemimpin yang agung, mulia, adil, bersih, jujur, cerdas, mulia, dan bersedia bekerja keras untuk mengangkat kehidupan rakyatnya. Alangkah indahnya, bila negara kita dipimpin oleh pemimpin idela tersebut, dan ia memiliki kuasa yang penuh untuk menentukan kebijakan yang dapat memperbaiki kehidupan Anda, keluarga, dan seluruh masyarakat.

    Impian ini tentunya bukan hal tidak umum, dan bila Anda pernah membayangkan hal tersebut, Anda tidak sendiri. Di luar sana, ada jutaan orang-orang yang memiliki pemikiran serupa. Sepanjang sejarah umat manusia, berbagai filsuf dan pemikir juga memimpikan dan mengadvokasi adanya pemimpin absolut yang dapat menghantarkan keadilan, kemakmuran, dan kebahagiaan.

    *****

    Pada pertengahan dekade 1640-an, tinggal seorang filsuf berkebangsaan Inggris di ibukota Prancis, Paris. Filsuf tersebut pergi mengungsi meninggalkan negaranya karena tanah airnya tengah dilanda perang sipil besar antara kekuatan monarki dan kelompok-kelompok pendukung parlemen yang anti kerajaan. Filsuf tersebut kelak dikenal sebagai salah satu filsuf paling berpengaruh dalam sejarah dunia, dan salah satu pendiri filosofi politik modern.

    Dialah Thomas Hobbes, yang dikenal salah satunya melalui karyanya yang paling masyur berjudul “Leviathan”. Buku yang ditulisnya di Paris tersebut menggambarkan gagasannya mengenai pemerintahan yang ideal, beserta peringatan akan bahaya bila tidak ada otoritas yang kuat untuk mengatur masyarakat.

    Hobbes dalam menulis bukunya berkaca dari kejadian yang menimpa negaranya. Perang sipil yang telah memporakporandakan tanah airnya merupakan bukti akan pentingnya otoritas absolut untuk menjaga tatanan sosial. Perang sipil antara kekuatan monarki dan parlemen tersebut membuat Hobbes memiliki sikap anti terhadap pemisahan kekuasaan, dan berpandangan bahwa penguasa harus memiliki kekuasaan yang absolut (rstreet.org, 19/8/2015).

    Tetapi, adanya penguasa absolut, meskipun mungkin menyelesaikan satu masalah besar terkait kondisi alamiah manusia (human nature), yakni menyediakan keamanan dan ketertiban umum, namun juga memunculkan masalah baru. Kekuasaan yang absolut akan memberikan kesempatan yang besar bagi para penguasa untuk menyalahgunakan kekuasaannya.

    Adanya penguasa yang memiliki kekuasaan penuh untuk mengatur negara dan menggunakan kuasa yang dimilikinya secara altruis semata-mata untuk kebahagiaan dan kesejahteraan rakyatnya hanyalah ada di cerita-cerita khayalan dan impian kita belaka. Sejarah menunjukkan bahwa, sistem yang tidak berdasarkan pemisahan kekuasaan, dan memberikan kuasa absolut kepada satu penguasa hanya akan melahirkan penguasa despot yang akan memanfaatkan kekuasaan yang dimilikinya untuk keuntungan dirinya sendiri, seraya menindas masyarakat yang dipimpinnya.

    Sistem yang berdasarkan pemisahan kekuasaan memang bukan sesuatu yang ideal dan tidak menjamin akan menyelesaikan seluruh masalah. Masih ada banyak masalah yang dapat timbul dalam negara yang menerapkan sistem tersebut. Korupsi, pembangunan yang terhambat, proses pembentukan undang-undang yang mandek dan kurang transparan, merupakan segelintir dari berbagai persoalan yang tentunya masih akan hadir di berbagai negara, termasuk bila negara tersebut menerapkan sistem yang berdasarkan pemisahan kekuasaan, termasuk tentunya negara kita sendiri.

    Indonesia misalnya, merupakan negara Demokrasi Presidensial yang menerapkan sistem trias politica, yang memisahkan antara kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Tetapi, sebagaimana yang dapat kita saksikan dengan mudah sehari-hari, masih sangat banyak permasalahan besar di negeri ini yang harus kita selesaikan.

    Korupsi contohnya, masih menjadi momok terbesar bagi negara kita. Berdasarkan data yang dihimpun oleh organisasi pegiat anti korupsi, Indonesian Corruption Watch (ICW), sepanjang tahun 2020 lalu, setidaknya ada 1.218 perkara korupsi yang disidangkan, baik di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung (nasional.kompas.com, 22/3/2021).

    Selain itu, sistem yang tidak memberikan kuasa absolut memiliki kelebihan yang jauh lebih tinggi yang tidak dimiliki oleh sistem yang tidak memberlakukan pemisahan kekuasaan. Yakni, bila ada keputusan yang salah yang diambil oleh pemimpin atau penguasa, maka dampaknya tidak akan sebesar dan sesistematik di sistem-sistem yang tertutup, terutama bila penguasa tersebut memiliki kuasa yang absolut, karena ada banyak jalan untuk mengkritik dan mengoreksi keputusan yang salah tersebut.

    Dalam sistem yang absolut, di mana penguasa memiliki kuasa yang sangat besar dan wewenang, secara teoritis, memang bila terdapat penguasa yang baik, maka ia akan dapat lebih cepat bisa mengimplementasikan kebijakan yang baik pula tanpa adanya hambatan besar. Tetapi, yang sangat penting diperhatikan, tidak ada satu pun orang di dunia ini yang sempurna dan terlepas dari kesalahan. Sebaik dan sehebat-hebatnya seorang penguasa, adakalanya pasti ia akan membuat kebijakan yang salah.

    Sebaliknya, di sistem yang tidak memberikan kuasa absolut kepada seorang pemimpin, bila pemimpin tersebut membuat keputusan yang salah, maka dampak negatif dari keputusan tersebut tidak akan terlalu besar. Hal ini dikarenakan masih ada banyak cara untuk menjalankan proses checks and balances terhadap kebijakan tersebut.

    Pemisahan kekuasaan memang kerap menimbulkan frustasi bagi sebagian kelompok masyarakat. Tak jarang kita kerap dipertontonkan berbagai aksi dari para pejabat publik kita di depan publik yang membuat kita mengheluskan dada, terlebih lagi mereka semua digaji dari uang yang diambil dari hasil keringat kita semua. Tidak mengherankan, tingkat kepercayaan kita terhadap lembaga publik sangat rendah. Tingkat kepercayaan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tahun 2019 lalu misalnya, berdasarkan survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) hanya sebesar 40% (news.detik.com, 6/10/2019).

    Namun, dengan segala kelemahannya, sistem yang bertumpu pada pemisahan kekuasaan tetaplah pilihan yang terbaik dibandingkan dengan memberikan kuasa absolut kepada penguasa. Tanpa adanya pemisahan kekuasaan, maka otoritarianisme merupakan keniscayaan.

    Sebagaimana yang diungkapkan oleh Presiden ke-4 Amerika Serikat, James Madison, “Akumulasi semua kekuasaan, baik legislatif, eksekutif, dan yudikatif, di tangan yang sama, baik satu, sedikit, atau banyak, baik secara turun-temurun, secara menunjuk diri sendiri, atau secara pemilihan, adalah definisi yang sangat tepat dari tirani.”

     

    Referensi

    https://nasional.kompas.com/read/2021/03/22/19301891/data-icw-2020-kerugian-negara-rp-567-triliun-uang-pengganti-dari-koruptor-rp#:~:text=Adapun%20berdasarkan%20data%20yang%20sama,tahun%202020%2C%20mencapai%201.298%20orang Diakses pada 14 Juni 2021, pukul 23.05 WIB.

    https://news.detik.com/berita/d-4735750/survei-lsi-kepercayaan-publik-terhadap-dpr-paling-rendah-kpk-tertinggi Diakses pada 15 Juni 2021, pukul 03.15 WIB.

    https://www.rstreet.org/2015/08/19/bridging-the-separation-of-powers/ Diakses pada 14 Juni 2021, pukul 21.50 WIB.