Mengapa Otonomi Tubuh Penting?

    271
    Sumber gambar: https://www.reuters.com/news/picture/death-of-iranian-woman-mahsa-amini-spark-idUSRTSBF02J

    Perdebatan mengenai otonomi tubuh, my body my choice, hingga kebebasan berpakaian akhir-akhir ini kembali muncul ke tengah masyarakat, terutama di linimasa media sosial, karena terungkapnya banyak kasus kekerasan seksual yang melibatkan para tokoh-tokoh besar dari anak seorang kiai, petinggi lembaga pendidikan, hingga pengajar pondok pesantren. Begitu juga dengan kematian perempuan Kurdi Iran, Mahsa (Jina) Amini di tangan polisi ‘moral’ Iran akibat penggunaan hijab yang ‘tidak tepat’ menjadi katalisator bagi rentetan demonstrasi dan pemogokan warga Iran untuk memperjuangkan otonomi tubuh (Al-Katahtbeh, 2022).

    Di Indonesia sendiri, bahasan mengenai otonomi tubuh selama ini kerap ditabukan dan dianggap sebagai agenda ‘liberal” dan “SJW” untuk menyebarkan pemahaman mengenai seks bebas. Padahal sejatinya, otonomi tubuh berbicara lebih luas daripada sekedar “seks bebas.” Otonomi tubuh adalah kemampuan seseorang untuk membuat pilihan atas tubuhnya sendiri tanpa harus menghadapi paksaan atau kekerasan dari pihak lain (Nienaw, 2019).

    Seseorang memiliki kebebasan atau kemerdekaan menentukan apa yang ingin atau tidak ingin dilakukan. Otonomi tubuh berkaitan pula dengan kekuasaan, namun kekuasaan yang dimaksud di sini adalah kekuasaan seseorang atas dirinya sendiri, bukan kekuasaan atas tubuh-tubuh individu lain (Benedicta, 2011). Otonomi tubuh menjadi sebuah hak yang tidak bisa dilepaskan dari seseorang, dan penyangkalan terhadap otonomi tubuh berarti merupakan sebuah penindasan yang merebut kemerdekaan seseorang.

    Penentangan terhadap otonomi tubuh khususnya perempuan telah dimulai sejak ribuan tahun silam, di mana perempuan menjadi tersubordinasi oleh laki-laki. Pola hubungan ini pun akhirnya menjadi sebuah budaya yang terus dipertahankan oleh banyak masyarakat dunia yang mengakibatkan perempuan menjadi asing terhadap hak dan tubuhnya sendiri. Banyak perempuan tidak menyadari, bahwa mereka memiliki hak untuk menolak sesuatu yang dipaksakan kepadanya baik oleh orang tua, suami, maupun masyarakat (Febrian, 2021). United Nation Population Fund (UNFPA) mencatat lebih dari 50% perempuan di 57 negara tidak memiliki atau ditolak otonomi tubuhnya, baik oleh negara maupun masyarakat. Hal ini berimplikasi pula pada banyak aspek kehidupan wanita seperti berbagai kekerasan berbasis gender yang banyak terjadi di seluruh belahan dunia (Letzing, 2022).

    Lalu, bagaimana hal ini bisa berkaitan? Otonomi tubuh adalah kemampuan seseorang untuk menentukan apakah ia ingin menerima atau menolak untuk melakukan sesuatu yang ditetapkan oleh pihak eksternal. Sebut saja, pemaksaan kehamilan, sebuah kondisi di mana seorang perempuan dipaksa baik dengan ancaman kekerasan maupun kekerasan secara langsung untuk hamil atau melanjutkan kehamilan. Bentuk-bentuk pemaksaan kehamilan pun beragam, dari pelarangan akses kontrasepsi, hingga pelarangan aborsi terhadap kondisi kehamilan tidak direncanakan (KTD). Idealnya, seorang perempuan memiliki otonomi tubuh dan berhak menentukan sendiri apakah ia ingin melanjutkan kehamilan atau tidak, karena ia sendiri yang mengalami dan mengetahui kemampuannya.

    Hal ini tentu bukan isapan jempol belaka. Masih dalam laporan yang sama yang diterbitkan oleh United Nation Population Fund (UNFPA), disebutkan bahwa lebih dari 87% perempuan di 57 negara yang disurvei tidak memiliki pilihan bebas terkait hubungan seksual dengan pasangan, kontrasepsi, dan perawatan kesehatan (Letzing, 2022).

    Pemaksaan kehamilan sebagai salah satu contoh pelanggaran terhadap otonomi tubuh perempuan bukan hanya berdampak negatif bagi psikis perempuan saja, melainkan memiliki berbagai implikasi medis utamanya terkait kesehatan seksual dan reproduks (kespro). Pelarangan atas akses terhadap kontrasepsi akan mempersulit perempuan untuk mengatur jarak kehamilan yang selanjutnya bisa saja meningkatkan risiko komplikasi dan infeksi organ seksual dan reproduksi hingga akhirnya dapat mengarah ke kematian. Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) dan keadilan reproduksi (reproductive justice) menjadi penting karena ia terkait dengan otonomi tubuh seseorang, di mana seseorang memiliki kemerdekaan penuh atas tubuhnya, termasuk dalam mengambil keputusan terkait aktivitas seksual dan reproduksi mereka tanpa adanya diskriminasi, paksaan, dan kekerasan dari pihak eksternal. Penolakan terhadap otonomi tubuh mengakibatkan perempuan kehilangan kemerdekaan tubuhnya sendiri, memposisikan ia dalam posisi timpang dalam berelasi dan meningkatkan resiko atas kehidupannya.

    Berbagai Kekerasan Berbasis Gender (KBG) berkaitan dengan hilangnya otonomi tubuh perempuan, diantaranya adalah kekerasan seksual, pemerkosaan dalam pernikahan, pemaksaan kehamilan, KDRT, dan lain-lain. Hilangnya otonomi tubuh akan menempatkan perempuan dalam posisi rentan terhadap kekerasan yang mungkin dapat menghilangkan nyawanya. Otonomi tubuh bukan hanya sekedar mengenai kebebasan bagi seseorang dalam memilih dan bertindak, melainkan merupakan sesuatu yang bersifat fundamental dan berkaitan dengan kelangsungan hidup seseorang.

    Referensi

    Al-Katahtbeh, Amani. 2022. “Mahsa Amini Was Arrested For ‘Bad Hijab.’ But the Only ‘Bad Hijab’ Is a Forced One.”. Diakses dari https://www.elle.com/culture/career-politics/a41429102/mahsa-amini-iran-death-hijab-protests/, pada 20 Oktober 2022, pukul 16.30 WIB.

    Benedicta, Gabriella Devi. 2011. Dinamika Otonomi Tubuh Perempuan: Antara Kuasa dan Negosiasi atas Tubuh. Pusat Kajian Sosiologi FISIP UI.

    Febrian, Ramdan. 2020. “Pentingnya Memahami Otonomi Tubuh dan Batasannya dalam Berinteraksi.” Diakses dari https://voi.id/bernas/3595/pentingnya-memahami-otonomi-tubuh-dan-batasannya-dalam-berinteraksi, pada 15 September 2022, pukul 19.15 WIB.

    Letzing, John.  2022. “What is women’s ‘bodily autonomy’ and why does it matter for everyone?”. Diakses dari https://www.weforum.org/agenda/2022/03/what-is-bodily-autonomy-and-why-does-it-matter-for-women/ pada 15 September 2022, pukul 20.00 WIB.

    Nienaw, Shalon. 2019. “Seven Steps to Teaching Children Body Autonomy.” Diakses dari https://www.rchsd.org/2019/12/seven-steps-to-teaching-children-body-autonomy, pada 15 September 2022, pukul 19.00 WIB