Selama 70 tahun, Hong Kong merupakan salah satu primadona ekonomi Asia yang paling penting. Wilayah otonomi yang terletak di bagian tenggara China tersebut merupakan salah satu pusat investasi dan perdagangan dunia selama berdekade-dekade.
Setelah kelompok komunis di bawah pimpinan Mao Zedong naik ke tampuk kekuasaan tahun 1949, China berada di bawah rezim otoritarian yang sangat keras menekan masyarakat. Seluruh kegiatan ekonomi, sosial, politik, dan budaya dikontrol penuh oleh Partai Komunis, dan sama sekali tidak boleh beseberangan dengan kebijakan yang diambil oleh penguasa.
Hasilnya sangat memilukan. Kebijakan Mao untuk menutup China dari dunia luar, upaya industrialisasi secara paksa (yang dikenal dengan istilah Great Leap Forward), serta Revolusi Kebudayaan untuk menghancurkan kultur tradisional China telah membawa kehancuran ekonomi dan sosial. Puluhan juta warga China kehilangan nyawanya karena kelaparan dan pembunuhan massal (washingtonpost.com, 3/8/2016).
Tetapi, Hong Kong mengalami pengalaman yang jauh berbeda. Wilayah tersebut saat itu masih menjadi bagian dari koloni Inggris, dan mendapatkan pertumbuhan ekonomi yang luar biasa. Kebijakan kebebasan ekonomi yang sangat tinggi dan perdagangan bebas yang diterapkan di Hong Kong telah membawa kesejahteraan yang tinggi kepada warganya, dan menjadikan Hong Kong sebagai salah satu dari empat Macan Asia, selain Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan (investopedia.com, 16/1/2021).
Tidak hanya itu, Hong Kong juga memiliki sistem peradilannya sendiri, yang terpisah dari sistem peradilan di China daratan. Tidak hanya kesejahteraan, warga Hong Kong memiliki berbagai kebebasan dasar, seperti kebebasan berbicara, kebebasan pers, dan kebebasan beragama, yang tidak bisa dinikmati oleh saudara-saudara mereka yang tinggal di China daratan (cfr.org, 17/2/2021).
Namun, bukan berarti kebebasan ini bisa dinikmati oleh warga Hong Kong begitu saja tanpa adanya tantangan. Pada tahun 1997, Hong Kong dikembalikan oleh Inggris ke China, sebagai bagian dari “peminjaman” Hong Kong selama 99 tahun dari tahun 1898 dari Kekaisaran China pada masa itu. China sendiri berjanji untuk menjaga sistem politik dan ekonomi yang diterapkan di Hong Kong, yang dikenal dengan nama “One Country, Two Systems”.
Tetapi, lambat laun, Pemerintah Komunis China melanggar kesepakatan tersebut. Pada tahun 2019, Pemerintah China melalui aliansinya di lembaga legislatif Hong Kong berupaya untuk meloloskan aturan keamanan baru, yang dapat mengekstradisi mereka yang dianggap melanggar hukum China daratan di Hong Kong untuk dipindahkan ke China.
Pengajuan aturan lantas disambut dengan demo besar-besaran oleh warga Hong Kong. Ratusan ribu warga Hong Kong turun ke jalan menuntut agar usulan aturan ekstradisi tersebut dibatalkan. Aturan tersebut akhirnya dibatalkan oleh Pemerintah Hong Kong. Tetapi, bukan lantas warga Hong Kong bisa hidup tenang dan bebas. Pada tahun 2020, Pemerintah China meloloskan aturan keamanan baru, yang dikenal dengan nama “Security Law”, yang bisa menangkap mereka yang dianggap melawan rezim komunis di Beijing, dan juga diekstradisi ke China daratan (bbc.com, 30/6/2020).
Kisah tragis Hong Kong ini merupakan fenomena yang sangat memilukan, namun juga merupakan pelajaran yang sangat berharga. Selama ini, khususnya kita yang tinggal di negara demokratis, kita menganggap kebebasan sebagai sesuatu yang taken for granted, dan tidak pernah terlintas di pikiran kita bahwa suatu saat nanti kita bisa saja kehilangan kebebasan tersebut.
Kebebasan merupakan sesuatu yang harus dan patut kita perjuangkan, dan kita harus berani untuk melawan mereka yang ingin merampasnya, baik itu dari penguasa maupun organisasi tertentu. Tanpa adanya perjuangan untuk mempertahankannya, maka tanpa sadar tentu kita akan kehilangan kebebasan yang kita miliki.
Indonesia sendiri merupakan negara yang telah mengalami perjuangan yang keras untuk meraih kebebasan. Kebebasan politik yang kita nikmati saat ini, bukanlah sesuatu yang taken for granted atau diberikan oleh alam. Kita, khususnya generasi muda yang lahir pada dekade 1990-an dan 2000-an, harus berterima kasih pada senior-senior kita yang selama bertahun-tahun berjuang untuk membebaskan Indonesia dari jerat otoritarianisme
Selama 32 tahun, dari tahun 1966 – 1999, Indonesia dikuasai oleh rezim otoritarian Orde Baru yang sangat mengekang kebebasan politik, seperti kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. Mereka yang berani melancarkan kritik diteror, dihancurkan kariernya, diasingkan, dan tidak sedikit juga yang dihilangkan nyawanya (tirto,id, 13/4/2020).
Tetapi, kuatnya rezim otoritarian Suharto bukan berarti dapat bertahan tanpa batas waktu. Berkat perjuangan para aktivis pro-demokrasi, rezim Orde Baru akhirnya tumbang pada bulan Mei 1998. Masyarakat Indonesia akhirnya bisa mendapatkan kebebasan yang selama berdekade-dekade tidak bisa kita nikmati. Berbagai partai politik tumbuh, dan masyarakat dapat mengekspresikan pandangan dan opini mereka dengan bebas.
Namun, jatuhnya rezim Suharto bukan berarti membuat perjuangan kita lantas berakhir. Pasca Reformasi, kita menyaksikan berbagai ancaman baru lain terhadap kebebasan sipil dan kemerdekaan individu, baik melalui peraturan perundang-undangan maupun dari kelompok masyarakat tertentu.
Kelompok-kelompok keagamaan fundamentalis misalnya, yang gemar melakukan berbagai tindakan kekerasan dan memaksakan kehendak mereka kepada orang lain yang berbeda, tumbuh subur pasca Reformasi. Kelompok-kelompok tersebut tidak diragukan lagi merupakan ancaman besar bagi kebebasan sipil. Pada tahun 2014-2019 misalnya, organisasi pegiat kebebasan sipil dan Hak Asasi Manusa, KontraS, mencatat ada 148 kekerasan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dilakukan oleh organisasi masyarakat (nasional.republika.co.id, 22/10/2019).
Munculnya berbagai aturan represif dan mengekang kebebasan berpendapat dan berekspresi misalnya, juga merupakan ancaman besar bagi kebebasan di negara kita. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) misalnya, kerap dijadikan alat untuk membungkam kritik melalui dunia maya. Belum lagi saat ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah menyetujui Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) baru, yang isinya antara lain memuat larangan menghina presiden dan wakil presiden, dengan ancaman hukuma 3,5 tahun penjara (nasional.kompas.com, 9/6/2021).
Perkembangan ini tentu merupakan sesuatu yang sangat memprihatinkan. Berkembangnya kelompok-kelompok keagamaan radikal, dan juga munculnya banyak perundang-undangan yang mengancam kebebasan adalah hal yang sangat mengkhawatirkan. Jangan sampai kita terlena dengan jatuhnya rezim otoritarian, maka lantas kebebasan yang kita miliki dapat selalu terjaga seterusnya.
Sebagai penutup, kebebasan bukanlah sesuatu yang taken for granted. Kebebasan adalah sesuatu yang harus kita perjuangkan terus menerus agar tidak tergerus dan hilang. Because, freedom isn’t free.
Referensi
https://www.bbc.com/news/world-asia-china-52765838 Diakses pada 6 Oktober 2021, pukul 22.40 WIB.
https://www.cfr.org/backgrounder/hong-kong-freedoms-democracy-protests-china-crackdown Diakses pada 6 Oktober 2021, pukul 21.35 WIB.
https://www.investopedia.com/terms/f/four-asian-tigers.asp Diakses pada 6 Oktober 2021, pukul 20.45 WIB.
https://nasional.kompas.com/read/2021/06/09/14510141/soal-pasal-penghinaan-presiden-dalam-rkuhp-yasonna-kebebasan-sebebas?page=all Diakses pada 7 Oktober 2021, pukul 01.05 WIB.
https://nasional.republika.co.id/berita/pzqlrs320/kontras-kekerasan-atas-nama-agama-tinggi-di-indonesia Diakses pada 7 Oktober 2021, pukul 00.25 WIB.
https://tirto.id/membungkam-pengkritik-gaya-rezim-orde-baru-melanggengkan-kekuasaan-eL7f Diakses pada 6 Oktober 2021, pukul 23.35 WIB.
https://www.washingtonpost.com/news/volokh-conspiracy/wp/2016/08/03/giving-historys-greatest-mass-murderer-his-due/ Diakses pada 6 Oktober 2021, pukul 20.15 WIB.

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.