Mengapa Kita Harus Membela Kebebasan?

    486
    Sumber gambar: https://go.atlasnetwork.org/campaign/ukraine-freedom-fund/c394061

    Pada periode 2020-2022, kita dapat melihat kebangkitan otoritarianisme di banyak negara di dunia, bahkan di negara-negara yang dianggap sangat demokratis sekalipun. Otoritarianisme dengan berbagai macam bentuk variasi menggulung berbagai negara, mulai dari Afghanistan, Ukraina, Myanmar, Kanada, bahkan negara kita tercinta, Indonesia.

    Di negara terdekat kita, rakyat Myanmar harus merasakan tangan besi Min Aung Hlaing, panglima militer Myanmar yang berkuasa melalui kudeta militer pada 1 Februari 2021 lalu. Dengan dalih kecurangan pemilu, militer Myanmar menggulingkan kekuasaan sipil yang terpilih secara sah melalui proses demokratis. Pemerintah baru ini pun segera menerapkan darurat militer sebagai respon terhadap berbagai protes yang dilakukan oleh masyarakat sipil. Akibat dari penerapan darurat militer ini, aparatus-aparatus negara Myanmar telah membunuh ratusan orang dan memenjarakan ribuan lainnya (Amirullah, 2022).

    Rakyat Afghanistan pun mengalami hal yang sama, di mana mereka kehilangan kebebasannya setelah Taliban kembali berkuasa. Selain itu, Ukraina yang baru-baru ini diinvasi oleh Rusia di mana rakyat Ukraina harus menjadi korban ambisi dan kerakusan para politisi gila perang. Myanmar, Afghanistan, dan Ukraina telah menunjukkan kepada kita betapa berharganya kebebasan.

    ***

    Benjamin Tucker (1854-1939), seorang filsuf dan teoritikus ekonomi politik yang kerap disebut sebagai Bapak Libertarianisme pernah dengan tegas menyatakan bahwa, “perang merupakan sahabat dari otoritarianisme.” Maka, tidak heran jika dalam sejarah panjang peradaban umat manusia, perang pasti disebabkan oleh ambisi kekuasaan sekelompok elit, dititahkan oleh para penguasa dari singgasana mereka, dan mengorbankan para serdadu rendahan dan rakyat. Dari Perang Dunia ke-1 dan ke-2, hingga peperangan di Timur Tengah, dan Rusia-Ukraina yang terjadi di era modern ini, tak terhitung sudah berpuluh-puluh juta nyawa manusia menjadi korban kebiadaban perang.

    John Locke dalam salah satu karya terbesarnya “Two Treaties on Civil Government” (1689), menyatakan bahwa setiap manusia dikarunia oleh natural rights yang terdiri dari hak hidup, hak kebebasan, dan hak kepemilikan. Hak-hak ini bersifat universal dan tidak dapat dicabut oleh sesiapapun, termasuk oleh negara (Taufani, 2022). Perang terus terjadi tidak peduli seberapa banyak korban telah jatuh dan berbagai upaya yang dilakukan untuk mencegahnya, karena negara sebagai aktor utama peperangan yang mendapatkan keuntungan paling banyak darinya. Bastiat (1801-1850) menjelaskan hal ini secara jelas dengan menyatakan bahwa negara-negara mendapatkan banyak keuntungan dari peperangan. Mereka akan mendapatkan kekuasaan besar seluruh umat manusia. Mereka akan dapat menekan rakyat dengan berbagai instrumen ekonomi yang akan digunakan untuk perbaikan pasca-perang yang mereka lakukan, seperti kenaikan pajak, kerja paksa, hingga wajib militer (Rockwell, 2001).

    Maka, perang dan otoritarianisme telah melanggar bahkan merenggut natural rights dari setiap individu. Ia merenggut hak hidup dengan membunuh, memenjarakan, menyiksa, dan menghilangkan manusia-manusia tanpa pandang bulu. Ia merenggut kebebasan dari setiap individu, baik dengan pemenjaraan, represi, hingga kerja paksa, dan wajib militer, serta merenggut hak kepemilikan dengan menghambat atau bahkan menghancurkan properti dan kebebasan berusaha (entrepeneurship) dengan berbagai instrumen ekonomi seperti pajak, nasionalisasi, proteksionisme, dan lain-lain.

    Sebagai contoh aktual, pemerintahan junta militer Myanmar telah membunuh dan memenjarakan ratusan orang. Masalah ini juga memiliki efek berantai lainnya, mulai dari konflik sipil hingga krisis ekonomi. Myanmar mengalami penurunan ekonomi hingga 18%, penurunan nilai mata uang mencapai angka 60%, penurunan kas negara, hingga kelangkaan banyak bahan kebutuhan pokok semenjak kudeta militer pada Februari 2021 lalu (CNN Indonesia, 2021). Hal serupa terjadi pula pada negara-negara yang tengah dilanda perang seperti Suriah, Iran, Rusia hingga Afghanistan, di mana saat tidak ada kebebasan, maka hanya akan kesengsaraan dan kematian.

    Otoritarianisme dan perang yang melanda banyak negara di dunia telah menunjukkan secara nyata kepada kita semua betapa berharganya kebebasan yang kita miliki. Dengan kebebasan ini, kita memiliki hak untuk bisa hidup, untuk berekspresi dan bersikap, hingga bekerja dan membuka usaha. Kebebasan menjadi sangat penting untuk diperjuangkan dan dilindungi karena ia bukanlah aktor hidup, ia dapat kapan saja dikurangi bahkan direnggut dari kita semua oleh siapa saja.

    Namun pastinya, mereka yang bisa merenggut kebebasan dari satu individu pastilah mereka yang punya posisi lebih kuat. Dengan demikian, bersikap kritis terhadap otoritas dan melawan setiap intervensi-intervensi negara yang terlalu jauh pada kehidupan manusia merupakan salah satu cara kita semua untuk dapat melindungi kebebasan yang kita miliki. Lebih lanjut, menjaga dan memperjuangkan kebebasan merupakan salah satu cara kita untuk menciptakan dunia yang aman, damai, dan sejahtera.

     

    Referensi

    Amirullah, Iman. (2022). “Junta Militer dan Proses Demokrasi di Myanmar.” Suara Kebebasan. https://suarakebebasan.id/4448-2/. Diakses pada 8 Maret 2022, pukul 22.45 WIB.

    CNN Indonesia. (2021). “Myanmar Krisis Ekonomi: Inflasi Naik hingga Nilai Uang Turun.” https://cnnindonesia.com/ekonomi/20211011082109-532-705944/myanmar-krisis-ekonomi-inflasi-naik-hingga-nilai-uang-turun. Diakses pada 9 Maret 2022, pukul 12.30 WIB.

    Rockwell, Llewellyn H. Jr. (2001). “Bastiat Was Right.” Mises Institute. https://mises.org/library/bastiat-was-right. Diakses pada 9 Maret 2022, pukul 12.05 WIB.

    Taufani, Galang. (2022). “Perang dan Harga Mahal Sebuah Kebebasan.” Suara Kebebasan. https://suarakebebasan.id/perang-dan-harga-mahal-sebuah-kebebasan/. Diakses pada 8 Maret 2022, pukul 23.00 WIB.

    .