Mengapa Kapitalisme adalah Sistem Ekonomi Terkuat

    834

    Coba tanya ke orang-orang di sekitar kamu: apa lawan kata dari “fragile” (“rapuh” atau “rentan”). Kebanyakan orang akan menjawab “robust” (“kokoh”). Secara logika, jawaban ini salah.

    Jika kita mendefinisikan hal-hal yang fragile sebagai sesuatu yang akan rusak, dan bahkan hancur, ketika mendapatkan guncangan atau tekanan, maka lawan kata atau kebalikan dari fragile bukanlah sekedar kokoh. Benda yang kokoh hanya sekedar “kuat” menerima guncangan atau tekanan. Lawan kata dari fragile haruslah sesuatu yang bukan sekedar “kuat”, tetapi “tumbuh” dan “berkembang” ketika mendapatkan guncangan atau tekanan. Benda-benda yang fragile membenci tekanan, ketidakpastian, dan instabilitas, sedangkan benda-benda yang berkebalikan dari fragile menyukai itu semua.

    Anehnya, sebagaimana disadari oleh Nassim Taleb, kita tidak punya istilah khusus untuk menyebut benda-benda yang berada di ujung seberang fragility ini. Entah mengapa secara intuitif manusia selalu menganggap lawan kata dari fragility adalah robustness. Padahal ini keliru. Maka Taleb kemudian menggunakan neologi sederhana “antifragile” untuk merujuk pada objek-objek yang memiliki karakteristik berkebalikan dari fragile. Kebalikan atau lawan kata dari “fragile” adalah “antifragile”, bukan “robust”.

    Tilikan-tilikan sederhana—namun kerap luput disadari oleh orang banyak—semacam inilah yang menjadikan Nassim Taleb sebagai salah satu filsuf paling menarik untuk dibaca saat ini. Sayangnya, kebanyakan orang hanya mengenal Taleb sebagai penulis buku The Black Swan (bisa dimaklumi, karena buku ini merupakan karya Taleb yang masuk kategori bestseller). Dan kebanyakan orang memahami The Black Swan hanya sebagai buku yang menjelaskan adanya hal-hal tak terduga dan di luar prediksi manusia, khususnya di bidang finansial.

    Padahal, dua buku pertama Taleb, Fooled by Randomness dan The Black Swan, hanyalah sebagian kecil dari sebuah corpus besar pemikiran Taleb tentang tekstur realitas yang bersifat acak (random) dan buram (opaque). Corpus pemikiran ini diberi judul Incerto, dan terdiri dari lima buku (Fooled by Randomness, The Black Swan, The Bed of Procrustes, Antifragile, dan Skin in the Game yang baru akan terbit) serta sejumlah esai pendukung yang diterbitkan pada blog fooledbyrandomness.com.

    Buku pertama, Fooled by Randomness, adalah upaya Taleb untuk menjelaskan kepada kita bahwa, dalam banyak hal, hidup ini lebih sering didominasi oleh variabel acak atau randomness. Orang sering keliru menganggap apa-apa yang mereka miliki, entah itu kekayaan, jabatan, atau kecerdasan, merupakan hasil jerih payah individual, meski pada kenyataannya randomness berperan besar menentukan itu semua. Kita sering tertukar antara luck dan skill. Kita sering diperdaya oleh randomness.

    Buku kedua, The Black Swan, merupakan elaborasi atas buku pertama. Misi besar Taleb di buku The Black Swan adalah menunjukkan pada kita bahwa hal-hal yang tidak kita ketahui jauh lebih signifikan daripada hal-hal yang kita ketahui. Sayangnya, kita—khususnya para ekonom dan pakar ilmu sosial—lebih sering membodohi diri sendiri dengan mengatakan bahwa “semua hal yang relevan dapat diketahui dan ketidakpastian dapat dijinakkan”.

    Secara sederhana, dapat disimpulkan bahwa dua buku pertama Taleb adalah semacam wake up call untuk membuat kita sadar bahwa manusia, dengan segala pengetahuannya, sama sekali tidak berdaya di hadapan randomness dan ketidakpastian. Pertanyaannya kemudian: apa yang bisa kita lakukan?

    Pertanyaan inilah yang coba dijawab Taleb di dalam buku yang keempat, Antifragile: Things That Gain from Disorder. Jika Fooled by Randomness dan The Black Swan adalah semacam wake up call terhadap suatu situasi gawat nan genting, maka Antifragile adalah resep jalan keluarnya. Inilah mengapa saya menganggap Antifragile sebagai bagian Incerto yang paling penting. Kita tidak cukup hanya memahami keterbatasan pengetahuan yang kita miliki, tetapi kita juga perlu mengetahui apa-apa saja yang bisa kita lakukan untuk keluar dari persoalan tersebut.

    Lalu apa jalan keluar yang ditawarkan Taleb? Jawaban Taleb sederhana: jauhi segala bentuk fragility, jadilah antifragile, atau minimal robust.

     

    Antifragility

    Untuk memahami antifragility secara utuh, kita mesti memahami tiga karakteristik utama yang dimiliki setiap objek ketika berhadapan dengan randomness dan ketidakpastian: fragile, robust, dan antifragile.

    Benda-benda yang fragile rusak atau hancur ketika mendapatkan tekanan (stressor). Dengan kata lain, benda-benda yang masuk dalam kategori ini rentan terhadap black swan. Contohnya: vas bunga, kaca jendela, pajangan kristal yang dikirim sebagai paket melalui JNE, sistem perbankan yang tersentralisasi, negara yang diatur secara central planning (contoh: Uni Soviet), tumit Achilles, dan lain sebagainya.

    Sedangkan benda-benda yang robust bersifat netral terhadap stressor: (sampai tahap tertentu) ia tidak rusak, tetapi juga tidak mendapatkan benefit atau keuntungan apa-apa dari stressor. Contohnya bisa kita lihat pada bangunan tahan gempa di kota-kota Jepang.

    Sebaliknya, segala sesuatu yang antifragile adalah objek-objek yang bukan saja robust, tetapi ia akan tumbuh dan semakin kuat jika diterpa stressor. Contoh: ide, karya tulis (buku, esai, dsb.), kapital, resep makanan (misalnya: pizza), makhluk mistis Hydra, bisnis skala kecil-menengah, industri penerbangan, hingga reputasi.

    Secara sekilas, perbedaan paling mencolok antara objek-objek yang fragile dan yang antifragile terletak pada fakta bahwa benda-benda yang fragile kebanyakan benda mati, sedangkan objek-objek yang antifragile adalah organisme “hidup” yang kompleks. Pembedaan ini ada benarnya, meski menyesatkan. Kita, misalnya, bisa memasukkan kondisi kejiwaan seorang trader derivatif sebagai contoh objek yang fragile.

    Perbedaan utama antara benda-benda yang fragile dan yang antifragile terletak pada respon keduanya terhadap stressor, ketidakpastian, dan volatility. Benda-benda yang fragile membenci volatility, sedangkan benda-benda yang antifragile menyukai, bahkan membutuhkan volatility untuk tumbuh. (Makhluk mitis Hydra tadinya hanya memiliki satu kepala, namun jumlah kepalanya akan berlipat ganda ketika mendapatkan stressor, yakni ketika ditebas oleh Heracles).

    Volatility adalah fitur sentral bagi antifragility. Bahkan, jika harus diringkas, inti dari menjadi antifragile adalah sikap mengakui dan penerimaan terhadap volatility. Kita menjadi fragile ketika kita merepresi dan menyembunyikan volatility dengan berbagai cara demi menciptakan suatu stabilitas yang sebetulnya semu. Inilah mengapa Taleb begitu membenci kurva Gaussian atau kurva lonceng dan menyebutnya sebagai the great intellectual fraud (kebohongan intelektual besar).

    Poin ini mungkin akan menjadi lebih jelas melalui kisah dua bersaudara yang dipaparkan Taleb dalam Chapter 5 buku Antifragile. Tersebutlah dua bersaudara, John dan George. John bekerja sebagai pegawai kantoran yang memiliki gaji tetap dan stabil. Setiap bulan John menerima gaji sebesar 3.082 poundsterling (kedua bersaudara ini tinggal di London), plus berbagai benefit dan bonus tahunan. Sedangkan George bekerja sebagai supir taksi. Pendapatan George tidak tetap. Terkadang ia bisa membawa pulang beberapa ratus poundsterling, namun tidak jarang pula pendapatannya dalam sehari tidak cukup untuk membayar ongkos bensin. Tetapi, jika ditotal dalam setahun, rata-rata pendapatan kedua bersaudara ini sebetulnya tidak jauh berbeda.

    Kita mungkin berpikir bahwa John memiliki hidup yang lebih “stabil” ketimbang saudaranya. Padahal, model gaji bulanan pegawai kantoran seperti John justru jauh lebih fragile ketimbang model pekerjaan yang kurang necis seperti supir taksi. Bayangkan: hanya melalui keputusan seorang direksi untuk melakukan “perampingan”, John bisa dipecat dan kehilangan seluruh pendapatannya.

    Resiko semacam itu tidak hadir di dalam profesi George sebagai supir taksi. Pendapatan George sebagai supir taksi mungkin tidak tetap, tetapi George punya kuasa penuh untuk melakukan pekerjaannya sefleksibel mungkin. Ia tahu (berdasarkan pengalaman dan proses trial and error) ke mana ia harus pergi untuk mendapatkan lebih banyak penumpang ketika pendapatan sedang turun. Lebih jauh, profesi seperti yang dilakukan George lebih mudah terekspos pada ‘bonus-bonus tak terduga’ alias positive black swans. Contohnya, ketika gunung berapi di Islandia meletus pada tahun 2010, dan seluruh rute penerbangan di belahan utara Eropa lumpuh total, George menerima permintaan aneh dari seorang perempuan tua kaya raya untuk mengantar beliau ke pernikahan kerabatnya di Perancis lewat jalur darat, tentu saja dengan bayaran yang sangat besar. Dan George punya kuasa penuh untuk menerima atau menolak ‘bonus’ tersebut. Hal-hal semacam ini hanya dapat terjadi pada profesi-profesi yang justru terlihat volatile: entrepreneur, seniman, freelancer, penulis lepas, atau pelacur.

    Untuk lebih mudah memahami betapa fragile-nya John, dan betapa robust, atau bahkan antifragile-nya George, perhatikan grafik berikut:

    Proses yang sebelah kiri menggambarkan pendapatan George sebagai supir taksi, sedangkan yang sebelah kanan adalah pendapatan John sebagai pegawai kantoran. Proses yang dilalui George jelas lebih volatile, tetapi jauh lebih robust karena setiap risiko bersifat manifes sehingga dapat ditanggulangi dengan cepat (domain mediocristan). Berbeda dengan profesi John, di mana prosesnya lebih halus dan stabil, tetapi risiko bersifat laten sehingga rentan terhadap peristiwa-peristiwa ekstrem yang tak terduga alias black swan event (domain extremistan).

    Tetapi dua grafik di atas juga berlaku pada hal-hal lain di luar kisah dua bersaudara John dan George. Prinsip volatility vis a vis fragility ini juga berlaku di bidang kesehatan, politik, ekonomi, atau bahkan kondisi psikologi manusia. Ambil contoh kondisi psikologi manusia: kondisi psikologis kita akan lebih robust jika terbiasa menerima berbagai stressor, ketimbang jika terus-menerus “distabilisasi” dengan berbagai macam obat seperti Prozac. Di bidang ekonomi: akan lebih baik bagi pemerintah untuk membiarkan berbagai jenis bisnis untuk kolaps ketimbang mem-bailout dan menyubsidi mereka terus-menerus. Atau di bidang politik: lebih baik membiarkan terjadinya konflik atau perseteruan pandangan politik (dalam skala kecil dan menengah) ketimbang merepresi antagonisme tersebut yang dapat berujung pada revolusi atau uprising.

    Dari contoh-contoh di atas, kita bisa melihat bahwa fragility lahir dari berbagai upaya manusia untuk merepresi volatility. Tujuannya, tentu saja, adalah untuk menciptakan suatu stabilitas yang dapat diandalkan. Tetapi Taleb menjelaskan bahwa merepresi volatility bukanlah strategi yang bijak karena upaya tersebut hanyalah sekedar upaya untuk menyembunyikan volatility ke bawah karpet. Ujung-ujungnya, volatility justru bertransformasi menjadi hidden and silent risk yang dapat meledak sewaktu-waktu.

     

    Kapitalisme: Volatile dan Amoral

    Contoh lain bagaimana dinamika volatility dapat menghasilkan sebuah sistem yang robust atau bahkan antifragile: perhatikan suatu wilayah yang terkenal dengan bisnis kuliner atau restoran, misalnya Pasar Malam Shilin di Taiwan. Kita hanya akan mendapatkan sebuah wilayah kuliner yang terbaik apabila tiap-tiap unit restoran di wilayah tersebut saling berkompetisi secara bebas dan terekspos resiko menjadi bangkrut (memiliki skin in the game). Dengan begini, unit-unit yang survive adalah unit-unit yang terbaik dan memang disukai oleh konsumen.

    Bandingkan apabila sebuah wilayah bisnis makanan dikelola secara terpusat ala kafetaria Uni Soviet, di mana hampir seluruh aspek bisnis tunduk pada regulasi dan desain “dari atas”, mulai dari daftar menu, alokasi pekerja, hingga harga makanan. Sisi baiknya, tentu saja, sistem menjadi lebih stabil. Tidak akan ada pengusaha makanan di dalam sistem tersebut yang terpapar resiko menjadi bangkrut. Tetapi di sisi lain, sistem sentralistik semacam ini membuat bisnis makanan menjadi seragam, membosankan, dan, yang paling penting, fragile (keberlangsungan hidup sistem ini bergantung hanya pada satu otoritas tunggal saja. Bayangkan apabila rejim berganti atau tiba-tiba kolaps).

    Inilah mengapa sistem yang antifragile biasanya berskala kecil-menengah dan terdesentralisasi (lihat Hong Kong, Taiwan, dan Swiss). Kalaupun berskala besar, sistem yang antifragile biasanya membagi dirinya ke dalam sejumlah sub-unit kecil yang dinamis dan volatile. Dan kita tahu dinamika dan volatility tidak akan kita temui di dalam sistem yang sentralistik seperti sosialisme. Sebaliknya, dinamika dan volatility adalah dua karakteristik utama dari sistem kapitalisme.

    Banyak orang mengatakan bahwa “kapitalisme adalah sistem paling volatile di dunia”. Mereka mengatakan itu sebagai ejekan. Tetapi orang-orang ini tidak sadar bahwa kapitalisme menjadi sebesar sekarang justru karena sistem ini mengandung volatility. Kapitalisme tidak berupaya memoderasi real-life volatility dan ini justru membuatnya menjadi antifragile.

    Lihat bagaimana logika progress dan inovasi di dalam kapitalisme bekerja. Saat ini kita bisa menikmati berbagai produk teknologi canggih yang lahir dari rahim kapitalisme bukan karena kapitalisme adalah sistem yang paling efektif untuk menghasilkan berbagai produk tersebut. Ini cara pandang yang terbalik. Yang lebih tepat: banyak produk teknologi canggih yang lahir dari rahim kapitalisme karena kapitalisme memberikan keleluasaan bagi para inovator dan entrepreneur untuk melakukan kasalahan dan kagagalan. Dan ini bukan hanya berlaku pada produk-produk teknologi tinggi, tetapi juga mencakup semua produk konsumen yang paling basic dan mengelilingi hidup kita sehari-hari, sebut saja: penanak nasi, mesin cuci, sambal botolan, sabun mandi, urinoar, mie instan, hingga korek api.

    Menarik untuk membandingkan bagaimana kita sering salah memahami kapitalisme dan teori evolusi. Karena mengidap survivorship bias, yakni cacat kognitif yang membuat kita hanya melihat ‘hasil akhir’ dari suatu proses yang panjang dan berdarah-darah, kita cenderung menerima semua hasil produksi kapitalisme sebagai sesuatu yang taken for granted. Kita juga cenderung melihat progress dan inovasi sebagai hasil dari kejeniusan seorang entrepreneur yang lihai membaca peluang dan cerdik dalam menawarkan hal baru (lihat bagaimana kita begitu memuja Steve Jobs). Ini mirip dengan para penentang teori evolusi yang hanya melihat ‘hasil akhir’ dari proses evolusi, kemudian menyatakan bahwa ‘hasil akhir’ yang kompleks dan rumit tersebut mestilah berasal dari seorang ‘Arsitek’ atau ‘Perancang’ yang maha cerdas dan maha mengetahui.

    Padahal, produk-produk kapitalisme yang kita nikmati sehari-hari, sebagaimana makhluk biologis di dalam teori evolusi, menjalani proses trial and error yang panjang. Di tengah-tengah proses trial and error tersebut, banyak produk yang akhirnya tidak laku, gagal di pasaran, dan kemudian dilupakan. ‘Kegagalan’ ini kemudian dijadikan pelajaran oleh entrepreneur lain agar mereka tidak terjebak pada lubang kebangkrutan yang sama. Jadi, lain kali anda mengagumi iPad di tangan anda, ketahuilah bahwa produk tersebut berdiri di atas puluhan produk gagal yang tidak pernah anda dengar namanya, seperti Microsoft Zune atau Apple Newton.

    Salah satu keunggulan kapitalisme adalah orang-orang yang hidup di dalamnya mengetahui apa-apa saja yang harus tidak dilakukan berkat kesalahan yang dilakukan oleh orang lain. Apabila Nietzsche mengatakan bahwa what doesn’t kill me makes me stronger (apa yang gagal membunuhku membuat diriku semakin kuat), maka motto kapitalisme adalah what kills me makes other people stronger (apa yang berhasil membunuhku membuat orang-orang lain disekitarku semakin kuat).

    Pada poin ini kita juga bisa melihat kelemahan sistem kapitalisme yang paling mencolok, yakni terkait aspek moral. Pertama-tama, perhatikan bagaimana industri pesawat terbang menjadi antifragile: setiap kecelakaan pesawat membuat probabilitas terjadinya kecelakaan berikutnya menjadi berkurang secara signifikan.  Saat ini kita bisa menikmati penerbangan yang aman dan terpercaya, tetapi kenyamanan ini hanya bisa kita nikmati di atas tumpukan korban jiwa kecelakaan pesawat di masa lalu. Ini persis sama dengan logika progress yang inheren di dalam sistem kapitalisme: seluruh capaian kapitalisme didirikan di atas tumpukan individu-individu yang gagal dan bangkrut.

    Sialnya, masyarakat kapitalis yang mengagungkan kesuksesan seringkali bersikap buruk terhadap individu-individu yang mengalami kegagalan. Individu-individu yang berani mengambil resiko namun bangkrut seringkali diperlakukan seperti sampah yang tidak ada harganya. Perhatikan bagaimana masyarakat kita begitu fetish terhadap sosok-sosok yang dianggap berjasa: kita sigap menyelenggarakan seremonial semacam “Hari Pahlawan” atau “Hari Buruh”, tapi tidak sekalipun terpikir oleh kita untuk menyelenggarakan “Hari Entrepreneur” untuk mengingat jasa para entrepreneur gagal yang punya kontribusi tidak kecil dalam memperbaiki kualitas hidup kita saat ini.

    Pertanyaan yang paling sulit dijawab adalah bagaimana kita menjustifikasi pencapaian besar yang dihasilkan kapitalisme di atas kebangkrutan dan kegagalan orang lain.

    Tetapi persoalannya mungkin kita harus melihat kapitalisme sebagai sistem yang amoral, bukan imoral. ‘Amoral’ berarti tidak terkait dengan kategori-kategori moral, berbeda dengan ‘imoral’ yang berarti bertentangan dengan standar moral yang berlaku. Kapitalisme sebagai sistem yang amoral berarti kita harus melihat kapitalisme semata-mata sebagai sebuah proses alamiah yang netral dari kategori moral benar-salah, sebagaimana teori evolusi. Kita tidak bisa mengenakan kategori benar-salah terhadap teori evolusi. Paling banter, kita hanya bisa menguji validitas teori evolusi sebagai sebuah upaya untuk menerangkan kenyataan di dunia. Menurut saya, kita harus menerapkan standar yang sama terhadap kapitalisme.