Isu mengenai impor saat ini merupakan salah satu isu politik yang kerap menjadi bola panas yang dimainkan oleh para politisi dan juga berbagai kelompok masyarakat. Di satu sisi, ada yang menganggap impor merupakan sesuatu yang penting sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia.
Namun, di sisi lain, tidak sedikit pula yang memiliki pandangan bahwa praktik impor merupakan praktik yang bertentangan dengan nilai-nilai nasionalisme dan merupakan bentuk ketergantungan kita kepada negara lain. Mereka yang memiliki pandangan ini umumnya mendukung kebijakan ekonomi yang berdikari, di mana kita berusaha memenuhi kebutuhan kita melalui produksi dalam negeri, dan tidak banyak membeli dari negara lain.
Tidak jarang, mereka yang memiliki pandangan anti-impor kerap menuduh orang-orang yang mendukung kebijakan impor sebagai kelompok yang tidak nasionalis hingga pengkhianat ingin menjual negara. Kelompok ini berpandangan bahwa, bila Indonesia ingin makmur dan maju, maka kita harus mampu untuk memenuhi kebutuhan kita melalui produksi di dalam negeri kita sendiri.
Lantas, apakah pandangan ini merupakan sesuatu yang tepat? Apakah kebijakan impor merupakan bentuk kebijakan yang tidak nasionalistis yang niscaya akan merugikan bangsa?
*****
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, izinkan saya menuliskan ilustrasi sederhana. Di masyarakat modern, khususnya kita yang tinggal di kawasan urban, membeli barang dari luar rumah untuk memenuhi kebutuhan kita merupakan kegiatan yang tidak bisa kita lepaskan dari kebutuhan sehari-hari.
Setiap hari, kita membeli makanan atau bahan-bahan pangan dari toko, rumah makan, atau pedagang yang ada di luar rumah kita. Sesekali, seperti di hari libur atau akhir pekan, tidak jarang kita juga membeli barang-barang lain seperti pakaian, furniture, hiasan rumah, atau berbagai asesoris unik yang bisa kita pakai.
Tanpa sadar, ketika kita membeli barang-barang tersebut, kita juga telah melakukan “impor” dalam lingkup yang kecil di ranah rumah tangga. Kita, dalam hal ini, sudah “mengimpor” barang-barang tersebut, yang kita dapatkan dari luar rumah kita ke dalam tempat tinggal yang kita miliki.
Lantas, mengapa kita harus membeli barang-barang tersebut dari luar rumah kita? Mengapa tidak kita berdikari, untuk menanam bahan pangan kita sendiri di halaman rumah, atau menjahit pakaian kita sendiri yang akan kita gunakan sehari-hari? Mengapa kita harus repot-repot mengeluarkan uang untuk mendapatkan barang-barang tersebut dari luar hunian kita?
Mungkin jawaban yang terlintas di pikiran adalah, Anda dan banyak orang tidak bisa melakukan berbagai hal tersebut. Banyak dari kita tidak tahu cara menanam bahan pangan, menjahit pakaian, atau membuat kursi dan meja dari kayu mentah. Oleh karena itu, kita lebih memilih untuk mendapatkan barang-barang tersebut dengan membeli dari orang lain (atau dalam analogi ini, “mengimpor” ke dalam rumah Anda).
Namun, for the sake of argument, katakan Anda bisa melakukan berbagai hal tersebut. Anda bisa menanam bahan pangan, tahu cara menjahit pakaian, dan memiliki pengetahuan untuk membuat kursi dan meja dari bahan kayu mentah. Akankah Anda akan menghabiskan sebagian besar waktu Anda untuk melakukan hal-hal tersebut?
Besar kemungkinan, Anda akan lebih memilih menghabiskan sebagian besar waktu Anda untuk bekerja sesuai dengan profesi yang Anda miliki. Anda yang berprofesi sebagai atlet misalnya, akan memilih menggunakan sebagian besar waktu yang dimiliki untuk latihan dan bertanding di atas lapangan daripada menanam tanaman atau menjahit pakaian, meskipun Anda memiliki kemampuan untuk melakukan hal tersebut. Begitu pula dengan Anda yang memiliki berbagai profesi lain, seperti pengacara, pilot, pengusaha, peneliti, dan lain sebagainya.
Hal ini disebabkan waktu dan tenaga yang Anda gunakan lebih efisien bila dialokasikan untuk bekerja sesuai dengan profesi yang Anda miliki, daripada untuk memproduksi barang-barang kebutuhan Anda yang bisa dengan mudah Anda beli dari orang lain. Bila Anda seorang pengacara misalnya, bila tarif yang dikenakan bagi klien untuk mendapatkan jasa Anda adalah 1 Juta per jam, maka dalam waktu 3 jam Anda bisa mendapatkan 3 juta rupiah.
Sementara, bila dibutuhkan waktu 3 jam bagi Anda untuk menjahit baju yang Anda kenakan, Anda mungkin bisa mendapatkan baju yang sama dengan biaya lebih murah. Misalnya, bila Anda membeli baju di toko, harga yang dikenakan adalah 600 ribu, sementara kalau Anda menjahit baju sendiri Anda hanya akan keluar uang 200 ribu rupiah. Anda akan mendapatkan keuntungan 400 ribu rupiah dengan menjahit baju Anda sendiri, namun Anda akan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan 3 juta rupiah dari waktu 3 jam yang Anda miliki.
Hal yang sama juga berlaku bagi kebijakan “impor” dalam skala nasional yang lebih tinggi. Suatu negara membeli barang dari negara lain bukan hanya karena negara tersebut tidak bisa membuat barang yang ia beli. Bisa jadi, negara tersebut juga memiliki kemampuan untuk membuat barang yang sama.
Namun, sumber daya yang negara tersebut miliki akan jauh lebih efektif dan efisien bila dialihkan untuk membuat produk lain dibandingkan dengan bila digunakan untuk membuat sendiri produk barang yang diimpor tersebut. Inilah yang oleh ekonom Britania Raya di abad ke-19, David Ricardo, sebagai comparative advantage (thebalance.com, 28/05/2020).
Ricardo berargumen bahwa, untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, maka setiap negara harus dapat berfokus pada industri yang memiliki keunggulan komparatif dibandingkan dengan negara lain. Misalnya, Inggris mempu memproduksi pakaian murah, sementara Portugal mempu memproduksi anggur yang murah. Maka Inggris akan lebih diuntungkan bila menggunakan sumber dayanya untuk membuat pakaian dan membeli anggur dari Portugal, daripada harus memproduksi anggurnya sendiri. Hal yang sama juga berlaku bagi portugal (thebalance.com, 28/05/2020).
Indonesia misalnya, merupakan negara produsen dan eksportir minyak sawit (Crude Palm Oil / CPO) terbesar di dunia, di mana negara kita memasok 50% dari seluruh permintaan minyak sawit dunia (The Guardian, 11/09/2013). Hal ini menyebabkan nilai ekspor CPO di Indonesia tinggi. Pada tahun 2019 lalu, nilai ekspor minyak sawit Indonesia mencapai USD19 miliar, atau sekitar 266 triliun rupiah (GIMNI, 2020).
Minyak sawit memang merupakan salah satu produk ekspor yang paling unggul yang dimiliki oleh Indonesia. Hal ini bukan hanya diakui di dalam negeri, namun juga di dunia internasional. Uni Eropa misalnya, mengakui bahwa minyak sawit Indonesia memiliki kualitas terbaik di dunia (Liputan6.com, 05/09/2019). Hal ini tentu merupakan sesuatu yang sangat positif, dan industri sawit harus terus kita dorong untuk meningkatkan pendapatan bagi negeri kita.
Untuk itu, sangat penting bagi Indonesia untuk berfokus pada industri yang menjadi keunggulan kita dibandingkan dengan negara-negara lain. Sama dengan ilustrasi rumah tangga yang disampaikan sebelumnya, bila Indonesia menggunakan sumber dayanya untuk membuat produk-produk lain yang bukan unggulan kita, atau yang bisa kita dapatkan dengan harga yang lebih murah dan kualitas yang lebih bagus dari luar negeri, maka sama saja kita sudah menghamburkan modal dan sumber daya yang kita miliki untuk sesuatu yang tidak efisien.
Misalnya, mungkin Indonesia memiliki kemampuan untuk membangun industri otomotif. Kita memiliki tenaga ahli dan sumber daya yang dapat digunakan untuk industri tersebut, sehingga kita tidak harus bersandar pada impor untuk mendapatkan produk-produk otomotif seperti mobil dan motor.
Namun, harus diakui bahwa industri otomitif bukanlah produk yang menjadi keunggulan Indonesia. Negara kita sudah beberapa kali mencoba untuk membangun industri dalam negeri. Namun, tetap saja mobil-mobil Jepang dan Eropa yang banyak kita temui di jalan-jalan di berbagai kota. Lebih baik, sumber daya yang kita gunakan untuk membangun industri otomotif kita gunakan untuk membangun dan memajukan industri yang menjadi keunggulan negara kita.
Hal ini kian diperparah bila, seandainya, sumber daya dan modal yang digunakan untuk membangun industri yang bukan menjadi keunggulan kita tersebut adalah milik negara. Ini tentu adalah sesuatu yang sangat berbahaya, karena uang publik yang seharusnya bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya menjadi dihambur-haburkan di berbagai proyek tersebut.
Sebagai penutup, diskursus mengenai impor memang menjadi tema yang kerap menjadi polemik dan menimbulkan kontroversi. Dimensi dari diskursus mengenai impor di Indonesia tidak hanya pada aspek ekonomi, namun juga kerap menyentuh aspek politik dan ideologi seperti nasionalisme. Bagi sebagian pihak, nasionalisme Indonesia salah satunya harus diwujudkan dengan mendirikan negara yang berdikari.
Namun, bila kita melihat ke dunia luar, justru negara-negara yang menerapkan sistem “berdikari” adalah negara-negara yang paling miskin dan terbelakang. Korea Utara misalnya, dengan ideologi Juche-nya, yang mendorong negara tersebut untuk mandiri, malah berakhir pada kemiskinan dan kemelaratan. Pada tahun 2020, GDP per kapita Korea Utara hanya USD1.700, atau 24 kali lipat lebih rendah daripada Korea Selatan (The Heritage Foundation, 2020).
Selain itu, kalau kita memang seorang nasionalis, kita seharusnya lebih peduli pada membangun ekonomi negara kita, yang tentunya akan semakin meningkatkan kesejahteraan, daripada pada jargon-jargon lama mengenai “negara berdikari”, yang sudah terbukti hanya akan membawa suatu negara jalan di tempat, bahkan mundur ke belakang.
Melalui perdagangan yang bebas dengan negara-negara lain, kita bisa mengalokasikan sumber daya kita kepada hal-hal yang negara kita memiliki keunggulan dibandingkan dengan negara-negara lain, dan mendapatkan manfaat melalui produk-produk terbaik lainnya yang kita dapatkan dari negara-negara lain di seluruh dunia.
Referensi
https://www.thebalance.com/comparative-advantage-3305915 Diakses pada 10 November 2020, pukul 22.15 WIB.
https://www.theguardian.com/global-development/2013/sep/11/indonesia-palm-oil-destroy-forests Diakses pada 10 November 2020, pukul 15.05 WIB.
https://gimni.org/ekspor-minyak-sawit-2019-capai-us-19-miliar/#:~:text=JAKARTA%2D%20Ekspor%20minyak%20sawit%20nasional,yang%20sebesar%20US%24%2023%20miliar. Diakses pada 10 November 2020, pukul 15.40 WIB.
https://www.liputan6.com/bisnis/read/4055450/eropa-sebut-kualitas-minyak-sawit-indonesia-terbaik-di-dunia Diakses pada 10 November 2020, pukul 16.20 WIB.
https://www.heritage.org/index/country/northkorea Diakses pada 10 November 2020, pukul 18.30 WIB.

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.