Globalisasi saat ini menjadi isu yang cukup kontroversial, khususnya di negara-negara Barat. Berbagai kekuatan politik, baik kanan maupun kiri, menaruh kecurigaan terhadap globalisasi. Kelompok kiri umumnya menganggap bahwa globalisasi merupakan produk kapitalisme yang harus dilawan. Sementara, kelompok kanan umumnya menentang globalisasi karena dianggap mengadvokasi imigrasi dan mengancam tenaga kerja dalam negeri.
Padahal, globalisasi sudah terbukti merupakan kekuatan yang berhasil membawa kemakmuran dan kesejahteraan. Sebelum perekonomian dunia terintergrasi, sebagian besar penduduk bumi, khususnya yang tinggal di negara-negara dunia ketiga, hidup di dalam kemiskinan. Saat ini, berkat adanya globalisasi dan perdagangan bebas, standar hidup ratusan juta penduduk dunia menjadi meningkat.
Topik inilah yang menjadi bahasan Martin Morse Wooster dalam artikelnya yang dipublikasikan oleh Foundation for Economic Education (FEE), yang berjudul “Why Globalization Works”. Wooster, dalam artikelnya, membahas mengenai buku “Why Globalization Works” karya ekonom Inggris, Martin Wolf.
Wolf sendiri merupakan seorang kolumnis ekonomi untuk harian Financial Times. Pada tahun 1970-an, Wolf menjadi ekonom untuk Bank Dunia, dan ia melihat dengan matanya sendiri bagaimana sistem peminjaman yang diberlakukan oleh berbagai institusi perbankan besar dunia untuk negara-negara Dunia Ketiga telah gagal untuk membantu pertumbuhan dan meningkatkan standar hidup di negara-negara tersebut.
Pengalamannya tersebut membuat Wolf yakin bahwa kebijakan yang bisa dan mampu untuk membawa pertumbuhan ekonomi yang akan meningkatkan standar hidup masyarakat di negara-negara Dunia Ketiga dalah perdagangan bebas. Melalui perdagangan bebas misalnya, negara-negara Dunia Ketiga mendapatkan banyak pekerjaan dari yang sebelumnya dikerjakan oleh banyak tenaga kerja di negara-negara maju, seperti sektor manufaktur.
Dengan demikian, akan semakin banyak lapangan pekerjaan yang tersedia di negara-negara Dunia Ketiga, yang tentunya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di negara-negara tersebut. Selain itu, negara-negara maju juga bisa memfokuskan diri mereka untuk memproduksi barang-barang berteknologi tinggi yang sangat sulit untuk dipindahkan ke negara-negara berkembang, seperti pembuatan pesawat terbang atau obat-obatan medis.
Sebagaimana yang disebutkan di awal artikel ini, globalisasi sendiri bukan tanpa kritik. Salah satu kritik dari globalisasi adalah, dengan adanya perdagangan yang semakin meluas, maka hal tersebut akan semakin mendorong manusia untuk bertindak konsumtif. Inilah salah satu kritik yang diungkapkan oleh salah satu kritikus globalisasi yang paling dikenal, Naomi Klein, bahwa korporasi telah men”teror” jutaan orang untuk membeli produk mereka.
Namun, pandangan tersebut adalah sesuatu yang sangat tidak tepat, dan jauh dari kenyataan. Menyatakan bahwa dorongan seseorang untuk bertindak sangat konsumtif bukanlah disebabkan oleh “teror” yang dilakukan oleh berbagai perusahaan-perusahaan besar tersebut terhadap para konsumennya.
Tidak seperti institusi negara yang memiliki wewenang untuk memaksa warganya, berbagai perusahaan-perusahaan besar tersebut tidak memiliki wewenang untuk memaksa para konsumen untuk membeli produk-produk yang mereka tawarkan. Para konsumen itulah yang secara sukarela menggunakan uang yang mereka miliki untuk membeli berbagai macam produk-produk tersebut, yang mereka percayai dapat mempermudah dan dapat memberi manfaat bagi kehidupan mereka.
Bila konsumen memutuskan untuk tidak membeli produk yang ditawarkan oleh perusahaan tertentu, maka perusahaan tersebut tidak bisa memaksa atau menghukum konsumen tersebut. Hal ini tentu jauh berbeda dengan “teror” yang dilakukan oleh negara atau pemerintah otoriter, yang bila ada seseorang atau kelompok yang tidak bersedia mengikuti keinginan penguasa, maka individu atau kelompok tersebut akan ditangkap, dihukum, atau disiksa.
Selain itu, salah satu kritik lain yang kerap diungkapkan terkait dengan dampak dari globalisasi adalah meningkatnya ketimpangan antar negara-negara di dunia, khususnya antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang. Globalisasi dianggap sebagai biang keladi semakin melebarnya jurang ketimpangan antara negara-negara kaya, dengan negara-negara miskin.
Namun, sebagaimana pandangan bahwa globalisasi telah membawa “teror” yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional terhadap para konsumen, anggapan tersebut sangat salah dan tidak tepat. Melalui globalisasi, justru ketimpangan antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang akan semakin kecil.
Melalui globalisasi, lapangan kerja di negara-negara berkembang akan semakin meningkat bagi masyarakat yang tinggal di negara-negara tersebut. Dengan semakin luasnya lapangan kerja, maka masyarakat di negara-negara berkembang dapat semakin mampu untuk meningkatkan taraf dan standar hidup mereka, yang tentunya akan semakin meningkatkan kesejahteraan di negara-negara tersebut, dan semakin mampu untuk mencapai kesejahteraan yang bisa didapatkan oleh negara-negara maju.
Hal lain yang penting untuk kita perhatikan juga, ketika membahas mengenai globalisasi, perusahaan-perusahaan multinasional besar tidak melakukan investasi secara acak di negara-negara berkembang. Perusahaan-perusahaan multinasional akan cenderung untuk memilih menginvestasikan dana yang mereka miliki di negara-negara yang memiliki kerangka hukum yang baik, seperti melindungi hak kepemilikan, dan lembaga peradilan yang dapat menegakkan kontrak yang sudah disepakati.
Sebagai penutup, globalisasi sudah terbukti merupakan kekuatan yang telah berhasil semakin menyebarkan kesejahteraan di negara-negara berkembang, yang pada masa sebelumnya hanya bisa didapatkan oleh masyarakat yang tinggal di negara-negara maju. Tanpa adanya globalisasi, jutaan, atau bahkan miliaran, penduduk dunia yang tinggal di negara-negara berkembang tentu akan mustahil untuk memiliki standar hidup seperti saat ini.
*Artikel ini diambil dari tulisan Martin Morse Wooster yang berjudul “Why Globalization Works.” Link artikel: https://fee.org/articles/why-globalization-works/ Diakses pada 13 Desember 2020, pukul 03.20 WIB.

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.