
Gambaran dan kondisi kepemiluan sempat terkaget-kaget pasca putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menunda Pemilu 2024, Kamis, (2/3). Perintah tersebut tertuang dalam putusan perdata yang dibacakan oleh Majelis Hakim terhadap gugatan yang diajukan Partai Prima dengan tergugat Komisi Pemilihan Umum.
Seperti diketahui, bahwa putusan tersebut memberikan gambaran yang cukup berpolemik lantaran isu putusan yang ada didalamnya menimbulkan konsekuensi jadwal Pemilu mundur ke tahun berikutnya. Hal ini lantas, menimbulkan pro dan kontra, termasuk banyak pihak yang mengkritisi hal ini dan mengkaitkannya dengan adanya ancaman terhadap proses demokrasi yang sudah berjalan baik.
Lebih jauh, salinan putusan tersebut menjelaskan bahwa Majelis Hakim dalam gugatan perdata perbuatan melawan hukum tersebut menghukum KPU sebagai tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilu dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan tujuh hari (detik.com, 6/3/2023).
Jika ditarik secara Hukum Acara, sudah sangat jelas dalam UU Pemilu No. 7 tahun 2017 pPasal 469, 470, dan 471 mengatur bahwa sengketa proses pemilu merupakan wilayah kewenangan Bawaslu dan PTUN, bukan kewenangan Pengadilan Negeri. Namun, fakta justru menjelaskan sebaliknya, perkara yang sejatinya secara hukum harus ditolak, menunjukkan hal yang berbeda (Antaranews.com, 3/3/2023)
Selain itu, menilik Pasal 22 Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 menyatakan Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Dengan asumsi Pemilu yang sudah dilaksanakan pada tahun 2019, maka dengan demikian penyelenggaraan Pemilu selanjutnya sudah jelas akan dilaksanakan pada tahun 2024 (mediaindonesia.com, 3/3/2023).
Gambaran umum mekanisme Pemilu yang akan diselenggarakan pada tahun 2024 kelak sejatinya sudah menjadi gambaran hukum yang lugas bagaimana konstitusi dan aturan perundang-undangan jelas menjaga marwah demokrasi. Hal ini dilakukan dengan memastikan proses tersebut berjalan dengan baik melalui suksesi yang terukur lewat mekanisme pembatasan kekuasan agar tidak absolut.
Putusan tersebut menjadi kondisi yang secara mengagetkan berdampak luas, mengingat putusan hakim sebagai hukum, walaupun dalam hal ini masih ada mekanisme lanjutan yang masih bisa ditempuh oleh KPU, dalam hal ini sebagai tergugat, untuk melakukan banding yang bersifat untuk menguji penerapan hukum yang dilakukan oleh hakim.
Hal yang perlu didalami lebih jauh adalah bagaimana mungkin peran peradilan sebagai salah satu penjaga konstitusi akhirnya meloloskan sebuah putusan yang membajak Pemilu yang sah. Hal ini tentu perlu ditelusuri lebih jauh dan didalami melalui berbagai aspek. Oleh karena itu, MA harus menyelidiki dan memastikan bahwa pelaksanaan hukum yang dilakukan terkait dengan gambarannya yang bertentangan dengan UUD dan peraturan perundang-undangan kepemiluan secara umum.
Adanya kondisi atas lahirnya putusan tersebut memberikan kritik tajam atas kinerja lembaga peradilan saat ini. Putusan yang hadir harus benar-benar membela kepentingan hukum yang adil dan benar. Kritik dunia peradilan dalam beberapa waktu terakhir juga menggarisbawahi bahwa independensi kekuaan kehakiman harus benar-benar dijaga seperti sesuai dengan amanat Pasal 24 UUD 1945.
Tantangan dalam menggerus demokrasi secara utuh adalah menjadi tantangan yang sangat krusial hadir di tengah-tengah masyarakat, termasuk isu penundaan Pemilu yang berkali-kali hadir secara nyata. Hal ini jelas bertentangan dengan konsep demokrasi yang mendorong perlunya pembatasan kekuasaan.
Referensi
https://kalbar.antaranews.com/berita/537078/putusan-penundaan-pemilu-jadi-teror-hukum-yang-mengancam-demokrasi. Diakses pada 8 Maret 2023, pukul 19.00 WIB.
https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/2907-sabotase-pemilu. Diakses pada 8 Maret 2023, pukul 16.00 WIB.
https://news.detik.com/x/detail/spotlight/20230306/Geger-Putusan-Menunda-Pemilu-2024/. Diakses pada 7 Maret 2023, pukul 20.00 WIB.

Galang Taufani adalah Managing Editor di Suara Kebebasan. Galang adalah lulusan program Sarjana Hukum (2013) dan Magister Hukum (2016) di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Sebelum bergabung di Suara Kebebasan, Galang pernah bekerja sebagai wartawan, peneliti, dan dosen sejak tahun 2013. Galang menulis banyak karya berupa buku, jurnal, dan artikel ilmiah. Bidang yang digeluti olehnya, yaitu adalah bidang Hukum, Kebijakan Publik, Pajak, Filsafat, dan Sastra.