Menentang Perusakan Fasilitas Umum Bukan Berarti Menyetujui Pembakaran Hutan

619

Pada 5 Oktober 2020 lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia secara resmi mensahkan Undang-Undang Cipta Kerja. Melalui Undang-Undang tersebut, berbagai regulasi kegiatan usaha dipangkas, dan juga kewenangan pemerintah pusat terhadap izin investasi menjadi diperbesar.

Tidak bisa dipungkiri bahwa, izin dan regulasi yang terlalu rumit dan berbelit-belit merupakan salah satu permasalahan yang harus dihadapi oleh berbagai investor atau pelaku usaha yang ingin menanamkan modal, atau membuka usahanya, di Indonesia. Tak jarang, berbagai izin dan regulasi ini, mulai dari tingkat pusat sampai dengan tingkat daerah, saling tumpang tindih. Hal ini membuat insentif para pelaku usaha dan investor untuk menginvestasikan modal mereka dan membuka usaha menjadi semakin kecil.

Salah satu contohnya adalah, yang terjadi pada bulan September tahun 2019 lalu, di mana ada 33 pabrik yang keluar dari China, namun tidak ada satupun yang memilih Indonesia sebagai tujuan mereka, karena izin dan regulasi yang sangat berbelit. Sebagian besar pabrik tersebut, yakni 22 diantaranya, memilih untuk pindah ke Vietnam, sementara pabrik lainnya memilih Thailand, Malaysia, dan Kamboja (CNN Indonesia, 04/09/2019).

Hal ini tentu adalah sesuatu yang sangat disayangkan. Investasi dan kegiatan usaha adalah hal yang sangat penting untuk mendorong perekonomian dan menciptakan jutaan lapangan kerja. Tanpa adanya orang-orang yang bersedia menanamkan modal yang mereka miliki, maka kegiatan usaha juga semakin berkurang, dan tentunya lapangan kerja juga akan semakin menyusut.

Namun, undang-undang ini juga bukan tidak menimbulkan kontroversi. Berbagai elemen masyarakat, seperti sebagian gerakan mahasiswa dan gerakan buruh, menganggap undang-undang ini akan mengurangi daya tawar (bargaining power) yang dimiliki pekerja dan hanya menguntungkan pemilik modal besar. Selain itu, tidak sedikit pula kalangan yang berpandangan bahwa undang-undang ini berpotensi besar akan semakin membuat perlindungan terhadap kelestarian alam semakin sulit, dan akan memperbesar kerusakan lingkungan.

Oleh karena itu, pasca disahkannya undang-undang ini oleh DPR, berbagai elemen masyarakat melakukan demonstrasi besar di sejumlah daerah. Mereka menuntut agar undang-undang ini segera dicabut.

Dalam berbagai aksi massa tersebut, tidak jarang juga diikuti dengan kekerasan dan perusakan terhadap sejumlah properti pribadi dan publik. Puncaknya adalah yang terjadi pada 8 Oktober 2020 lalu, ketika terjadi perusakan dan pembakaran terhadap berbagai fasilitas umum di berbagai kota. Salah satu fasilitas umum yang menjadi sasaran adalah halte transjakarta dan MRT di Jakarta, yang dirusak dan dibakar massa. Estimasi kerugian Pemda DKI atas kerusuhan tersebut adalah 65 miliar rupiah (Detik.com, 09/10/2020).

Berbagai aksi vandalisme dan perusakan tersebut tak ayal mendapatkan kecaman dari berbagai pihak. Tidak sedikit kalangan masyarakat yang berpandangan bahwa aksi tersebut merupakan sesuatu yang kontra produktif, dan bahkan justru merugikan masyarakat, karena berbagai fasilitas umum tersebut juga digunakan oleh banyak warga dalam keseharian mereka.

Namun, ada juga yang menanggapi berbagai kritik terhadap perusakan dan pembakaran fasilitas umum tersebut dengan nada sinis. Sebagian pihak beranggapan mereka yang mengkritik aksi perusakan dan pembakaran tersebut lebih memperdulikan halte dan fasilitas umum dibandingkan dengan pembakaran hutan dan kerusakan lingkungan.

Tuduhan yang dilontarkan oleh sebagian pihak bahwa kalangan yang mengecam pembakaran properti pribadi dan fasilitas umum tidak peduli pada kerusakan lingkungan tentunya tuduhan yang sangat mengada-ngada dan tidak sesuai dengan akal sehat. Tuduhan semacam ini adalah bentuk kecacatan cara berpikir yang luar biasa.

Hanya karena seseorang mengecam sesuatu yang buruk bukan berarti ia menyetujui atau membenarkan hal lain yang jauh lebih buruk. Hal ini sama seperti, bila Anda mengecam seseorang yang memukul orang lain, bukan berarti Anda membenarkan bila ada seseorang yang mengambil nyawa orang lain. Anda bisa tetap mengakui tindakan membunuh merupakan tindakan yang jauh lebih jahat dan kejam daripada memukul, seraya juga mengecam seseorang yang melakukan pemukulan atau pembunuhan.

Hal serupa juga berlaku bagi perusakan dan pembakaran terhadap fasilitas umum dan properti pribadi, dengan pembakaran hutan. Anda bisa mengakui bahwa pembakaran hutan jauh lebih buruk daripada perusakan dan pembakaran fasilitas umum dan properti pribadi, seraya juga tetap mengecam kedua perbuatan tersebut.

Besar kemungkinan juga, mereka yang mengecam keras tindakan pembakaran fasilitas umum, baik di media sosial atau media massa, ketika ditanya apa pandangan mereka terkait dengan pembakaran hutan, mereka juga akan sangat mengecam. Oleh karenanya, tuduhan semacam itu bukan hanya bentuk kecatatan logika, namun juga tuduhan yang sangat tidak berdasar.

Sebagai penutup, tidak bisa dipungkiri bahwa, hak untuk mengemukakan pendapat dan kebebasan berbicara merupakan hak yang sangat fundamental dan harus dijunjung tinggi di negara demokrasi seperti Indonesia. Hal ini tentu termasuk juga hak untuk mengemukakan pendapat melalui demonstrasi untuk memprotes dan menunjukkan sikap ketidaksetujuan terhadap suatu produk undang-undang atau kebijakan pemerintah.

Namun, bukan berarti lantas seseorang memiliki hak untuk merusak fasilitas umum yang digunakan oleh ribuan hingga jutaan orang. Fasilitas publik merupakan fasilitas yang dimiliki oleh masyarakat, yang didirikan dan dibiayai salah satunya melalui dana publik yang dihimpun dalam bentuk pajak. Merusak fasilitas umum adalah tindakan kriminal, di mana pelakunya wajib ditangkap dan diproses oleh aparat penegak hukum.

Hal yang sama tentunya juga berlaku bagi properti pribadi, seperti kendaraan, pertokoan, rumah makan, hingga hunian yang dimiliki oleh seseorang. Merusak berbagai properti tersebut adalah tindakan yang tidak berbeda dengan perampasan yang mengambil hak milik orang lain. Besar kemungkinan, seseorang yang memiliki properti tersebut mendapatkan propertinya melalui kerja keras selama bertahun-tahun yang harus kita hormati, hargai, dan wajib dilindungi oleh negara.