Menelaah Kasus Kebohongan Ibu Hamil dan Kekerasan Aparat di Gowa

    325

    Suatu ketika Nabi Ibrahim atau Abraham dan istrinya Sarah melintasi negeri Mesir Sesampainya di Mesir, Nabi Ibrahim segera menemui Fir’aun sang raja Mesir. Saat Fir’aun terpikat oleh kecantikan Sarah, istri Ibrahim, Fir’aun bertanya padanya, “Siapa perempuan ini?” lalu Ibrahim menjawab, “Dia saudara perempuanku.”

    Sarah heran mendengar ucapan suaminya, yang melakukan kebohongan. Bagaimana seorang nabi yang suci dan juga teladan umat masyarakat melakukan tindakan tak terpuji dengan melakukan kebohongan?

    Nabi Ibrahim tahu apa yang dipikirkan oleh istrinya dan ia menjelaskan kenapa ia berbohong. “Wahai Sarah, di dunia ini tidak ada yang beriman selain aku dan engkau. Raja zalim ini menanyaiku, lalu aku mengatakan kepadanya bahwa engkau adalah saudara perempuanku, maka janganlah engkau mendustakanku” (Shahih Muslim).

    Setelah ratusan tahun berlalu, kejadian serupa juga terjadi pada pengikut awal Nabi Muhammad SAW. Para sahabat Muhammad disiksa dan dibunuh karena mereka masuk Islam dan para pemuka feodal Arab berusaha memaksa mereka untuk kembali ke agama nenek moyang mereka.

    Seorang sahabat yang bernama Ammar bin Yassir dan keluarganya juga mengalami siksaan berat dari kelompok feodal Arab Jahiliyah. Karena kebetulan, status Ammar bin Yassir dan keluarganya menduduki tingkat terendah, dengan kejamnya para feodal menyiksa keluarga mereka.

    Tak kuat menahan siksaan, akhirnya Ammar mengatakan meninggalkan keyakinan Islam dan kembali ke agama Pagan. Para feodal bersorak sorai gembira dan membebaskan Ammar. Ammar merasa menyesal telah berbohong dan segera menghadap ke Baginda Nabi, lalu Nabi Muhammad berkata.

    “Kalau mereka kembali mengancammu, maka engkau boleh mengucapkan lagi kalimat kufur, selama hatimu tetap tenang dalam keimanan.” Lalu, turunlah ayat “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)” (Tafsir Thabari).

    Dua kisah di atas merupakan contoh bahwa dalam tindakan berbahaya, terdesak, dan mengancam diri, maka berbohong dibolehkan. Walaupun secara umum norma masyarakat kita menganggap berbohong itu tidak baik, namun dalam waktu tertentu, berbohong bisa menjadi solusi terbaik yang dapat diterima jika kita mau berpikir secara bijak.

    Dalam kisah lainnya, pernah pula Confusius dan murid-muridnya dihadang oleh satu pasukan, pasukan tersebut meminta agar Confusius berjanji tidak akan memasuki kota A. Lalu Confusius sepakat dengan permintaan mereka.

    Setelah sepasukan prajurit itu pergi, Confusius kemudian meminta agar muridnya memutar haluan untuk menuju Kota A. Ketika sang murid bertanya, mengapa sang guru mengingkari janji, lalu Confusius berkata, perjanjian yang dilakukan dalam paksaan (tekanan satu pihak) sama sekali tidak berarti (The Saying of Confucius).

    Maha Guru Etika seperti Confucius pun mengakui bahwa dalam tindakan tertentu, berdusta adalah jalan yang tak bisa dielakkan untuk mencapai tujuan yang baik. Hal ini bukan berarti berbohong dianggap bermoral, sebab dalam hal ini berbohong masuk ke kategori pengecualian. Menurut penulis, hal ini juga berlaku dalam kasus kekerasan Satpol PP terhadap seorang Ibu pemilik warkop di Kabupaten Gowa, yang baru-baru ini ramai dibicarakan.

     

    Kekerasan Satpol PP dan Arogansi Kekuasaan

    Jagad media sosial kembali heboh. Beredar sebuah video di mana seorang oknum Petugas Satpol PP melakukan pemukulan dan kekerasan terhadap seorang perempuan  yang diduga hamil.

    Berita yang beredar di berbagai media menjelaskan secara jelas kronologi tersebut. aksi pemukulan terjadi saat razia Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di warkop miliknya di Panciro, Kabupaten Gowa.

    Sang petugas marah kepada pemilik warung yang masih membuka kedainya. “Mana izinmu. Saya punya kewenangan. Tadi ko bilang saya tidak punya kewenangan, saya Satpol. Mana izinmu, saya tutup ini kalau tidak ada izinmu,” ujar satpol PP dalam video tersebut.

    Seketika terjadi adu mulut antara petugas dengan istri pemilik warung, lalu sang suami meminta agar petugas tak bertindak kasar karena istrinya tengah hamil.

    “Santai Pak, orang (istri saya) lagi hamil, Pak.” kata sang suami selaku pemilik warung. Lalu, si petugas berbalik dan menampar si suami. Kejadian menjadi semakin tak kondusif ketika si istri melihat suaminya ditampar, sang istri tak terima dan melempar anggota Satpol PP tersebut dengan kursi.

    Terkena lemparan kursi, anggota Satpol PP tersebut juga balik menampar. “Lihat pak dia memukul istri saya. Saya laporkan,” tuturnya. Kejadian tersebut dilerai sejumlah anggota Satpol PP lainnya dan juga anggota polisi (Pedoman Tangerang, 15/7/2021).

    Kejadian ini kemudian menyeret oknum Satpol PP tersebut yang juga merupakan Sekretaris Satpol PP Kabupaten Gowa sebagai tersangka dalam kasus pemukulan tersebut. Namun, tak berapa lama kemudian muncul sekelompok organisasi masyarakat (ormas) Brigade Muslim Indonesia (BMI) yang kemudian melaporkan pemilik warung dan istrinya karena mereka diduga berbohong soal kehamilan perempuan tersebut.

    Memang, setelah dilakukan pengujian, istri pemilik warung tersebut tidak dalam kondisi hamil. Pengacara pemilik warung mengaku bahwa si suami terpaksa berbohong istrinya hamil agar sang oknum Satpol PP tidak melakukan kekerasan pada mereka. Seorang pakar dari Universitas Muslim Indonesia juga mengatakan bahwa kebohongan si suami yang tertera dalam video tersebut yang mengaku bahwa istrinya tengah hamil telah meresahkan publik dan juga menyulut kebencian yang dapat dikenakan UU ITE Nomor 11 Tahun 2008 Pasal 28 ayat 2 tentang berita bohong dengan ancaman pidana enam tahun penjara dan atau denda Rp6 miliar (Suara.com, 22/7/2021).

    Tentu saja, para warganet merasa heran dan korban pemukulan menjadi takut. Harapan keadilan yang mereka dapatkan dari aparat hukum, justru malah dikriminalisasi karena berbohong oleh sekelompok ormas yang tidak memiliki kaitan apapun dengan video yang beredar tersebut.

    *****

    Secara prinsipil, hukum dibuat dan disepakati oleh masyarakat untuk menjamin keamanan dan keadilan tanpa melihat golongan dan kelompok. Hukum melindungi individu dari kejahatan orang lain, termasuk dari kejahatan yang dilakukan oleh negara dan aparaturnya.

    Mengutip ucapan Frederic Bastiat, ia menjelaskan esensi hukum sebagai penjaga keadilan, dan bukan justru menjadi alat untuk memberlakukan ketidakadilan kepada masyarakat. Bagi Bastiat, hukum bukanlah hanya sekedar komando yang dipaksakan oleh para politisi dan penguasa. Hukum haruslah berdasarkan kondisi alamiah manusia (human nature) dan juga prinsip moral yang universal (Suarakebebasan.id, 7/6/2021).

    Hukum tercipta karena adanya masyarakat. Karena itu, dalam suatu kasus, seseorang bisa dikenakan sanksi hukum jika tindakan dirinya merugikan orang lain dan memberi dampak sosial yang buruk.

    Lantas, bagaimana dengan masalah berbohong? Apakah seorang yang berbohong bisa dipidana penjara?

    Harus dicatat bahwa kebohongan adalah tindakan amoral yang menyalahi norma, tetapi bukan sebuah tindak pidana yang bisa dijatuhkan penjara atau denda. Kecuali, jika seseorang berbohong untuk mencari keuntungan pribadi, seperti undian penipuan atau kasus lainnya yang membuat seseorang dirugikan (hukumonline.com, 4/12/2013).

    Tidak ada dalam Kitab KUHP yang menulis bahwa seseorang yang berbohong dapat dikenakan pidana. Misalkan, orang berbohong bahwa dirinya adalah orang kaya raya, atau berbohong bahwa dirinya pernah kena COVID-19, kebohongan yang bersifat klaim semacam ini tidak bisa dipidana karena ia tidak melakukan kerugian material atau non materil pada orang lain. Tentu, kebohongan harus dilihat dalam kasus per kasus dan konteksnya.

    Begitu juga dengan kebohongan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim, Ammar bin Yassir, dan juga Guru Confusius, sebab mereka tidak merugikan siapapun. Malah, kebohongan yang dilakukan oleh mereka untuk melindungi diri sendiri.

    Demikian juga dengan dengan kasus suami pemilik warung di Kabupaten Gowa yang mengaku bahwa istrinya hamil. Ia berbohong agar Petugas Satpol PP tidak melakukan tindak semena-mena terhadap istrinya.

    Menurut hemat penulis, laporan ormas BMI dan juga akademisi di UMI memiliki dua kekeliruan.

    Pertama, menjerat si suami dan istri tersebut dengan UU ITE No. 11 Tahun 2008 Pasal 28 ayat 2 berkaitan dengan berita bohong. Dalam perspektif penulis, pasal 28 ayat 2 sama sekali tidak bisa dikaitkan dengan kasus tersebut, sebab si suami berbohong pada si Satpol PP untuk melindungi istrinya, bukan untuk menimbulkan kebencian dan permusuhan sebagaimana yang tertera dalam potongan ayat berikut,

    “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).”

    Di sini, akademisi dari Universitas Muslim Indonesia mengatakan bahwa kabar kehamilan tersebut telah menyulut kebencian pada Satpol PP, hal ini juga keliru besar. Sebab itu hanya “generalisir” semata. Yang dibenci netizen adalah perilaku pemukulan oknum Satpol PP, bukan Satpol PP sebagai sebuah institusi.

    Kedua, UU ITE yang dilimpahkan adalah berita hoaks yang mengacu pada provokasi dan permusuhan, bukan kepada klaim pribadi seperti kehamilan, kekayaan, dan keturunan yang sifatnya klaim pribadi.  Jika Anda mengklaim diri Anda kaya raya kepada semua orang, maka hal ini tidak bisa dijatuhkan pidana, karena ini bukan fitnah yang menjatuhkan siapapun. Begitu juga klaim kehamilan, yang dilakukan untuk membela diri.

    Jika kemarahan publik begitu meluap, hal ini bukan pada masalah si ibu pemilik warung itu hamil atau tidak, tetapi pada arogansi oknum aparat yang merasa paling berkuasa dan bertindak represif. Harusnya, kasus ini menjadi bahan introspeksi pada aparat bahwa tindakan represif apapun tidak dibenarkan, apalagi jika sampai melakukan kekerasan hanya untuk menunjukkan arogansi dan kekuasaan.

    Penulis sangat mendukung jika tindakan pemukulan, penganiayaan, dan juga kekerasan terhadap siapapun, termasuk penjahat, tidak boleh dilakukan bahkan oleh aparat kepolisian sekalipun. Setiap manusia memiliki hak untuk tidak disakiti, karena itu tidak ada yang memiliki hak untuk menyakiti orang lain.

     

    Referensi

    https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt528c8e48c4ed3/berbohong-di-depan-publik–dapatkah-dipidana Diakses pada 26 Juli 2021, pukul 19.50 WIB.

    https://pedomantangerang.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-072222142/viral-video-satpol-pp-gowa-aniaya-wanita-hamil-pemilik-kafe-alami-kontraksi-saat-lapor-polisi?page=3 Diakses pada 26 Juli 2021, pukul 16.47 WIB.

    https://www.suara.com/news/2021/07/22/213751/jika-terbukti-tak-hamil-korban-pemukulan-oknum-satpol-pp-gowa-terancam-6-tahun-penjara Diakses pada 26 Juli 2021, pukul 17.18 WIB.

    https://suarakebebasan.id/frederic-bastiat-dan-tujuan-hukum/ Diakses pada 26 Juli 2021, pukul 17.27 WIB.