Hari-hari ini cuaca kultural, intelektual, dan politik di Indonesia semakin sarat dengan nuansa kolektivisme. Epidemi kolektivisme ini tengah mengemuka sedemikian rupa dalam banyak bendera organisasi, berikut juga dalam banyak kepala pembuat kebijakan di Republik ini. Problemnya, dalam remang paham yang core intelektualnya lebih menekankan pada tendensi kelompok, kecenderungan untuk mengingkari—pun membatalkan–individualitas atas nama kepentingan bersama.
Disini, individualitas bukan saja dengan mudahnya dapat ditunda namun juga dapat diberangus demi dan atas nama kepentingan masyarakat, umat dan Negara. Ironi ini tidak hanya keliru secara konseptual, (dan tentu utopis), melainkan juga berbahaya sebab tak ubahnya dengan “membunuh” manusia itu sendiri dengan perangkat-perangkat politis yang sublim dalam bentuk kebijakan-kebijakan kolektivisme. Sebab, tak ada satu pun individu yang sejatinya dapat dilepaskan dari individulitasnya, yang tiba-tiba dengan mudahnya bermetamorfosa menjadi superhero, yang abai dengan kepentingan idividualnya dan memilih mengorbankan diri demi kepentingan bersama-umum.
Lantas, apa yang terjadi dengan kedaulatan individu di bawah payung demokrasi di Republik kita hari-hari ini? Disini, individualitas manusia tengah sekarat oleh terjangan banalitas kelompok dan miopisme akut pemerintah yang gagal memaknai kebaikan ide individualisme itu sendiri. Sejatinya, yang tengah darurat di Republik ini bukanlah demokrasi sebagaimana dengan lantangnya diteriakkan belakangan ini, melainkan individualitas manusia Indonesia yang sejengkal demi sejengkal digagahi kebebasannya oleh syahwat kolektivisme.
Demokrasi sendiri dengan dimensi mayoritarianismenya, tak lebih dari sebentuk soft totalitarianism yang justru menyumbang terhadap membuminya ketololan kolektif di Negeri ini. Dalam situasi yang centang perenang inilah kiranya kita perlu menengok ke khasanah pemikiran individualisme dan meletakkannya dalam konteks keindonesiaan kita saat ini.
Dalam mitologi Yunani Kuno, tersebutlah nama Prometheus, dewa yang konon mencuri api untuk kemudian diberikan kepada manusia agar mereka dapat hidup bebas sejahtera. Walaupun harga yang harus dibayar oleh sebab pembangkangannya tersebut, Prometheus mesti menanggung murka Zeus dalam sebentuk hukuman yang mengerikan. Dalam kerangka kedaulatan individu, legenda Promotheus adalah perlambang dari kemerdekaan dan kedaulatan vis a vis dengan otoritas langit yang restriktif, koersif serta eksploitatif. Dan Promotheus sendiri adalah simbol dari kemerdekaan dan kedaulatan individu tersebut. Lewat mitologi ini—dalam kerangka imanensi–juga hendak ditunjukkan bahwa tak ada satu alasan apapun bagi manusia untuk tundak, taat dan patuh pada sebentuk tatanan kekuasaan, apapun itu.
Masih dalam konteks yang sama, lewat perbendaharaan sejarah filsafat, gagasan kedaulatan individu pun dapat ditemukan dalam gugus intelektualisme filsuf abad pencerahan, Rene Descartes dengan diktumnya, “Cogito Ergo Sum” yang memposisikan manusia sebagai subjek rasional dan otonom–Sebentuk subjek yang dengan kekuatan pikirannya, merdeka dalam memilih dan bertindak sesuai dengan keputusan-keputusan yang diambil dalam hidupnya–sampai pada Imanuel Kant dengan slogan, “Sapere Aude” yang menggemakan kembali semangat Prometheusian agar manusia berani untuk menjadi otoritas bagi dirinya sendiri. Kant dalam risalahnya, “What is Enlightenment?” mendedahkan secara tegas bahwa spirit pencerahan adalah merengkuh kembali otoritas berpikir manusia agar merdeka dari tuntunan, panduan atau pun arahan otoritas suci yang bermukim di dunia antah berantah itu. Berangkat dari konsepsi ini, tenun gagasan kedaulatan individu sejatinya telah setua usia kebangkitan rasionalitas di Eropa, bahkan akar sejarahnya pun dapat dirujuk hingga ke masa Yunani kuno.
Meskipun demikian, di Republik ini, gagasan tentang kedaulatan individu justru tak sepopuler gagasan tentang kedaulatan rakyat, kedaulatan Pangan, kedaulatan laut hingga kedaulatan lingkungan. Sebagai sebuah gagasan, ia nampak dibungkam oleh teriakan aspiratif di ruang-ruang sidang mereka yang kini mendaku diri sebagai pemangku amanah rakyat di parlemen, pun demikian, tak tersemat dalam pidato para pemimpin Negara, namun ironisnya, cenderung menjadi hujatan dari gugatan demi gugatan yang mewujud dalam aksi demonstrasi yang berjilid-jilid saban waktu itu.
Tentu, ketidakpopuleran tersebut bukan sekedar problem inseminasi dan massifikasi pengetahuan, melainkan juga yang lebih mendasar adalah problem intelektualisme. Dimana konsepsi individualisme sejak awal cenderung diprasangkai sebagai egosentrisme, anti sosial, bertentangan dengan kultur bangsa Indonesia yang bersifat gotong royong dan kekeluargaan, ketimbang dimengerti dalam terang gagasan individualisme itu sendiri, yakni sebentuk falsafah moral dan sosial yang memberikan penghargaan yang tinggi terhadap manusia sebagai individu yang berpikir, bertindak dan bertanggungjawab.
Meneguhkan kembali kedaulatan individu adalah memberikan ruang sebebas-bebasnya bagi setiap individu di Republik ini untuk menjadi tuan bagi pikiran, tindakan dan keputusan-keputusan dalam hidupnya. Dan tentu, berikut dengan tanggungjawab yang mengikutinya.
Secara lebih mendasar, Rizal Malarangeng dalam bukunya, “Dari Langit; Kumpulan Esay Tentang Manusia, Masyarakat dan Kekuasaan” mengetengahkan bahwa dalam tradisi individualisme sendiri sejak era Locke, Hume, Smith dan Hayek, mendasarkan pandangannya tentang Individualisme setidaknya pada dua hal, Pertama, kesadaran bahwa individu adalah bagian dari entitas masyarakat berbeda (berikut dengan segudang preferensinya masing-masing), yang tentunya tak dapat diseragamkan. Hal itu telah menjadi kodrat alamiah manusia di semesta ini.
Kedua, sebagai konsekuensi logis dari prinsip pertama adalah menerima manusia dengan segala keterbatasannya, apa adanya. Dan melihatnya sebagai keunikan individu masing-masing, untuk kemudian dihargai dan diperlakukan sebagaimana layaknya individu. Berupaya mengubah, memaksakan agar sesuai dengan tata kuasa tertentu, akan sama halnya dengan menentang alam. Sesuatu yang tentu mustahil, jika bukan nantinya berimplikasi destruktif bagi manusia itu sendiri. Poin pertama menunjukkan bahwa individu bukanlah makhluk anti sosial, yang crusoeis, melainkan mereka yang ada di tengah masyarakat, yang berpartisipasi di dalamnya, namun tak dapat direduksi ke dalam “kerumunan” kata rakyat atau komunitas tertentu yang pada akhirnya mengorbankan indidualitasnya. Sedangkan poin kedua lebih kepada penekanan terhadap keunikan individu yang tak dapat diseragamkan dalam satu arah dan tujuan tertentu. Sehingga, berdasarkan keterangan ini, makna kontekstual dari peneguhan kedaulatan individu dalam situasi keindonesian kita saat ini adalah—secara agak profetis—menatap manusia Indonesia yang merdeka dari koersi restriksi, ancaman, ketakutan, kekerasan dan todongan sejata yang dengan sengaja dibangun hanya karena pikiran dan tindakan individu yang menyelisihi konsensus moral tertentu; hanya karena orientasi seksual yang tak sama; hanya karena keyakinan agama yang tak legal; hanya karena warna ideologi yang berbeda; dan hanya karena kegenitan free sex, miras, ganja, narkoba hingga perjudian.
Tak ada lagi kelebaian untuk menginvasi ruang bebas individual manusia demi dan atas nama menjaga moral dan akidah kolektif umat tertentu. Tak ada lagi badut-badut yang—ketika diberikan nyawa (kekuasaan)—megontrol tubuh manusia atas nama moral kolektif, atau moral religius. Menegaskan kembali kedaulatan individu sejatinya juga untuk memupus segala bentuk kehendak untuk menguasai, mengatur, dan mengontrol manusia.
Hal lain yang cukup mendasar dari penekanan tentang kedaulatan individu ini adalah mengembalikan lagi manusia sebagai individu untuk dihargai dalam posisi yang lebih bermartabat. Sehingga atasnya, tak ada satu pun diktum yang paling absah untuk mengingkari individualitas manusia atas nama kepentingan kolektif yang lebih besar. Entah kepentingan tersebut mewujud dalam kata masyarakat, Negara, bahkan Tuhan sekalipun. Tak ada omong kosong, “Kepentingan bersama di atas segala-galanya,” meski kepentingan tersebut dibangun di atas tawaran surga seindah apapun.
Terakhir, apakah gagasan seputar kedaulatan individual bukan tidak mungkin akan menggiring pada kekacauan sosial, dimana setiap orang akan berkompetisi mengejar kepentingannya yang pada titik tertentu–sebagaimana dengan cerdas ditunjukkan oleh Hobbes–manusia bisa saja terjatuh dalam siklus saling memangsa, “Homo Homini Lupus,” dan fakta sejarah telah membuktikan itu? Bukankah dengan demikian kebebasan manusia yang tereksplisitkan dalam individualitasnya justru berujung tragis bagi peradaban manusia itu sendiri?
John Stuart Mill punya jawaban yang baik untuk hal ini. Namun, sebelum mengacu pada Mill sendiri, saya ingin mengajukan dua hal yang secara distingtif perlu dibedakan secara mendasar. Sebab, kegagalan membedakan ini justru yang mendorong rabun jauh pikiran kita. Yakni, pertama, perlu dengan cerdas untuk dibedakan antara kegagalan sebuah gagasan karena secara inheren didalamnya mengandung kelemahan, dan kedua, melihat kegagalan sebuah gagasan dari sudut eksperimentasi-eksternalnya. Pada hal pertama, sebuah gagasan ditolak karena jelas telah terkandung kelemahan di dalamnya, dan selamanya akan sulit—bahkan tidak akan berhasil membuktikan tesis-tesis yang dibangunnya dalam wilayah praktis. Hal itu dapat kita temukan dalam banyak gagasan-gagasan besar yang berhasrat mengubah dunia dengan tendensi kolektivis sejauh ini.
Sedangkan pada poin kedua, kegagalan dalam ruang eksperimentasi-eksternal menunjukkan bahwa problemnya bukan pada batang tubuh gagasannya, tapi pada kerangka eksperimentasinya. Sehingga, lewat perbaikan dan penajaman eksperimentasi secara terus menerus akan mendorong pada pembuktian kebenaran tesis-tesisnya. Di sini dimungkinkan adanya kebaruan tanpa mesti melangkahi prinsip dasar gagasan utamanya. Dan problem individualitas sebagaimana problem khas Hobbesian di atas justru bermain di wilayah eksperimentasi eksteralnya. Problem eksperimentasi itu bisa muncul dari, misalkan, tatanan pemerintahan yang totaliter, otoritarian, atau pun feodalistik. Sulit membayangkan individualisme tumbuh sempurna dalam tataran pemerintahan yang justru tak menghargai individualism seperti itu, atau belum ada rule of law yang ketat dalam sebuah wilayah yang memungkinkan setiap individualitas manusia terlindungi.
Manusia dalam dimensi individualisnya, adalah manusia yang sangat menghargai dan mematuhi hukum. Sebab, hanya dengan hukum jualah kebebasan individualnya dapat dihargai oleh individu lainnya. Dan persis di jantung gagasan individualisme tersebut, Mill menuturkan, “batas bagi kebebasan individu adalah kebebasan individu lainnya.” Disitulah hukum memainkan perannya.

Hendra Mangopa adalah anggota yang aktif di lingkaran Mises Club Indonesia dan penggiat di Amagi Indonesia, Organisasi Non Pemerintah yang didasarkan pada prinsip Libertarianisme, ingin membawa tradisi pemikiran Mazhab Austria ke dalam perbincangan ekonomi kita saat ini. Upaya Amagi diawali dengan pembukaan lingkaran studi bernama Mises Club Indonesia yang berpusat di Manado, Sulawesi Utara.