Mendorong Kebebasan Ekonomi bagi Kemajuan Indonesia

424
CNN.com

wal tahun 2015 ditandai peristiwa politik hukum yang menempatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) sebagai aktor sentral. Bagi banyak masyarakat pendukung KPK, Polri sedang sistematis dan terencana telah berupaya melemahkan KPK. Akan halnya pelemahan institusi pemberantasan korupsi terdepan di Indonesia itu, mata uang kita Rupiah (Indonesian Rupiah/IDR) mengalami nasib yang tidak berbeda, namun dengan musabab yang berbeda tentunya.

Dalam dua minggu terakhir, IDR sudah mengalami pelemahan 6,3 persen terhadap Dollar AS (United States Dollar) dibandingkan akhir tahun lalu. Arus dana keluar dari pasar modal Indonesia mencapai Rp 13,5 Triliun pada tanggal 12 Maret lalu. Indeks harga saham gabungan melemah dan imbal hasil Surat Utang Negara jangka 10 tahun naik. Apa makna dari indikator ekonomi tersebut?

Tekanan pelemahan IDR memang banyak terpengaruh kondisi global berupa penguatan USD terhadap mata uang negara lainnya. Muara dari kondisi global tersebut ialah adanya normalisasi kebijakan moneter di Negeri Paman Sam, yang akan menaikkan suku bunga bank sentral yang saat ini berada di level 0.25 persen.

Namun, mengkambinghitamkan kondisi global sebagai biang keladi depresiasi Rupiah bukan hal yang tepat. Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa Rupiah sangat tertekan justru ketika ekonomi dalam negeri mengalami perbaikan? Misalnya, Pemerintah dapat menyakinkan DPR untuk menurunkan beban subsidi BBM secara signifikan di APBNP 2015 dan realokasi beban subsidi tersebut ke alokasi infrastruktur.

Secara fundamental pelemahan Rupiah merupakan tanda ekonomi sedang tidak sehat. Dampak yang paling perlu diwaspadai dari depresiasi Rupiah akan memukul sektor riil sehingga menekan angka pertumbuhan ekonomi. Bisa kita bayangkan pengusaha yang di akhir tahun sebelumnya, misalnya 2013, memiliki utang luar negeri dalam Dollar, setelah Rupiah melemah di awal tahun 2015 ini, maka utang luar negeri pengusaha itu pasti meningkat cukup signifikan. Pertanyaan untuk pemerintah adalah bagaimana pengusaha dapat bertahan jika kondisi serupa kembali menghantui?

Pemerintah telah berupaya mengeluarkan kebijakan untuk mengatasi tekanan pada IDR, hal ini tentu saja perlu diapresiasi. Selain insentif pajak bagi perusahaan yang mereinvestasikan keuntungan di Indonesia dan perusahaan yang mengekspor 30 persen dari hasil produksinya, penggunaan IDR untuk transaksi di dalam negeri, dan kebijakan-kebijakan lainnya, pemerintah dituntut memiliki sense of crisis.

Pejabat pemerintah tidak boleh tenggelam dalam keyakinan bahwa ekonomi Indonesia tetap kuat walaupun Rupiah menembus angka 13,500 per Dollar dan akan baik bagi para eksportir kita. Darimana logika ekonomi ini berasal? Ketimbang bertindak reaktif dan normatif, pemerintah dapat mulai meneruskan reformasi struktural ekonomi Indonesia berbasis bukti dan membandingkannya dengan negara-negara pesaing.

Indeks Freedom Barometer telah lama diluncurkan oleh Yayasan Politik Frederich Naumann Stiftung for Freedom (FNF) boleh jadi berperan sebagai alat ukur untuk mengetahui darimana sebaiknya Pemerintah mulai meneruskan program reformasi ekonomi kita. Freedom Barometer memiliki keunggulan kelengkapan dari indikator pengukuran, tidak hanya dari aspek ekonomi, namun juga politik bahkan hukum (rule of law). Singkatnya, freedom barometer adalah alat ukur yang komprehensif namun mudah dipahami.

Indeks kebebasan ekonomi yang diukur terdiri dari 4 indikator utama: (1) jaminan atas hak milik, (2) ukuran pemerintahan (belanja, pajak dan kemudahan berbisnis), (3) peraturan tentang kredit, tenaga kerja, dan bisnis, serta (4) kebebasan dalam perdagangan internasional. Rangking kebebasan ekonomi Indonesia berada di peringkat 7-9 mulai tahun 2010 sampai 2014. Kita berada di bawah Malaysia, Thailand, bahkan Mongolia. Jangan dibandingkan dengan Ekonomi Asia Timur seperti Hongkong, Jepang, dan Korea Selatan, apalagi dengan kecenderungan terus menurun dalam 5 tahun terakhir.

Data terkini indeks tersebut menyatakan bahwa Pemerintah Jokowi telah mengambil langkah yang tepat untuk melakukan reformasi ekonomi, yaitu dengan mengurangi ukuran pemerintahan yang berarti mengelola belanja lebih efisien, mengurangi beban pajak yang tidak perlu, dan kemudahan dalam berbisnis. Di sisi lain, jaminan atas hak milik juga perlu ditangani dengan lebih baik. Hal ini berkaitan erat dengan kondisi indeks rule of law yang berjalan di tempat alias tidak bergerak selama beberapa tahun terakhir.

Kita menginginkan agar ekonomi Indonesia terus mengalami perkembangan menuju ekonomi maju (developed economy), namun cara untuk mencapai ekonomi maju tidak bisa melupakan kebebasan baik sebagai cara (means) untuk mencapai tujuan mulia itu, namun juga tujuan akhir (ends).