Pilkada Jakarta 2017 mengulangi sejarah pilkada Gubernur Ibu Kota sebelumnya, tidak mudah bagi petahana menang melawan penantang, bahkan dengan tingkat kepuasaan terhadap Gubernur berkuasa begitu tinggi, mencapai 70 persen. Lalu bagaimana mungkin Petahana Gubernur Ahok terjungkal melawan seorang mantan Menteri yang sembilan bulan lalu terkena reshuffle Kabinet Presiden Joko Widodo.
Di sinilah uniknya publik selaku pemilih bersikap sejauh terukur pada beragam survei elektabilitas dari pelbagai pollster. Mungkin belum ada teori politik kontemporer yang bisa menjelaskan mengapa tingkat kepuasan warga yang tinggi mendekati 70 persen, disukai oleh lebih dari 60 persen warga (Fatah, 2017). Tetapi tidak terefleksi dalam keinginan warga memilih kembali calon inkumben Ahok hanya sedikit di atas 40 persen.
Kita perlu cermati bersama bangkitnya populisme yang ditawarkan oleh Gubernur-Wagub Terpilih Anies Rasyid Baswedan dan Sandiaga Salahuddin Uno, melalui tiga program: penyediaan rumah murah melalui Down Payment (DP) 0 Rupiah, Pendidikan berkualitas dan tuntas melalui Kartu Jakarta Pintar Plus Plus, dan penyediaan lapangan pekerjaan baru lewat One Kecamatan One Center for Entrepreneurship (OK OCE).
Respon publik Program penantang Anies Baswedan-Sandiaga Uno misalnya dikritik habis-habisan soal program rumah DP 0 Rupiah dianggap mustahil, gagasan yang absurd, menghabiskan APBD hanya buat membangun rumah, hingga krisis hipotik subprime negeri Paman Sam akan datang ke Jakarta. Sebagian kritik memang relevan.
Terlepas dari betapapun absurd-nya janji kampanye seorang calon, dapat kita katakan politik di era sosial media membuat gagasan dapat dikontestasikan dengan cek fakta (fact check) yang segera, lugas dan tanpa tedeng aling-aling. Dan ditambahkan kehadiran selebriti twit maupun aktivis sosial media buzzer membuat adu argument meninggi, membelah publik ke dalam pro dan kontra yang melelahkan dengan tensi tinggi.
Oleh sebab itu, kami (Suara Kebebasan) meminjam ide, gagasan, serta provokasi Jeffrey Tucker “Haruskah Kita Berpihak” dan “Jangan Korbankan Persahabatan Demi Politik” dari Foundation for Economic Education bagi kolom Sindikasi. Semata-mata ingin mewartakan akal sehat kembali ke tengah hiruk pikuk perdebatan politik pilkada 2017 ini. Kami tidak ingin larut kepada dukung mendukung, tolak menolak an sich tetapi alpa pada apa yang selama ini kami percayai dan perjuangkan.
Kembali ke topik awal soal populisme, kami menganggap tiga hal sebagai bahasan editorial ini: pertama, persoalan populisme, apa dan mengapa. Kedua, bagaimana populisme a la Anies-Sandi sebagai Gubernur-Wagub Terpilih dipertontonkan selama musim kampanye ini. Ketiga, bagaimana kita bersikap atas menguatnya populisme lokal di era pasca kebenaran (post-truth) ini.
Telah sangat banyak penutur menjelaskan apa dan mengapa populisme menjadi ledakan politik dahsyat, seraya membayang-bayangi demokrasi di pelbagai negara kontemporer. Bagi Eep S Fatah (2017), ledakan populis diperlihatkan oleh makin terkaitnya kebijakan atau rencana kebijakan dengan kehendak khalayak atau orang banyak.
Sementara itu, Michael Kazin dalam bukunya The Populist Persuasion menawarkan terminologi buat populisme: “sebuah bahasa dimana pencetusnya menjangkau khalayak luas orang kebanyakan tidak terbatas pada kelas tertentu, memandang elit hanya pelayan diri mereka sendiri dan tidak demokratis, oleh karenanya cenderung dimusuhi, serta usaha mobilisasi orang baru ketimbang yang lama.” Populisme sebagai gerakan umumnya melibatkan pemimpin karismatik, berorientasi kepada kehendak mayoritas.
Bagi konsultan politik yang mendukung kandidat penantang, misalnya Political Marketing, angin populisme yang berhembus kencang sejak 2012 dan sapuannya semakin menjadi di pilkada tahun ini perlu ditangkap oleh kandidat penantang. Hipotesis populisme local berujung pada semakin kongkrit jawaban disediakan calon pemimpin, semakin besar magnet kandidat di hadapan pemilih.
Persoalan mendasar dari populisme bagaimana kekuasaan pada ujungnya selalu memerlukan kehadiran pemimpin kuat, cenderung karismatik dengan tipe pemimpin ideal tanpa cela bagi kebanyakan followers, serta fokus utama kekuasaanya pada kehendak orang banyak.
Sampai di sini, bukankah esensi kontestasi politik guna mewujudkan janji politik konstituennya? Tentu saja, pemilihan umum di negeri yang bebas menjadi momentum revitalisasi janji-janji politik.
Kekuatiran lalu muncul akibat kaum populis bersenyawa dengan politik identitas yang semakin trendi di negara maju pasca Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS dan bangkitnya partai politik ultra-konservatif di Eropa, diperburuk pula dengan meluasnya gerakan radikal Islam sebagaimana termaktub dalam tulisan bernas dari Tom Palmer – dari Atlas Network dalam Cato Policy Report, Cato Institute AS.
Tom Palmer, seorang yang lama menggeluti perannya sebagai duta gerakan libertarian dunia, masygul dengan kebangkitan gerakan anti-kebebasan di seluruh dunia. Di akhir tahun 80-an dan awal tahun 90-an, ia sangat aktif bergerak di bawah tanah sebelum bubarnya Uni Sovyet dan runtuhnya tembok berlin, momentum bersejarah itu.
Syahdan, ia mencatat tiga ancaman nyata bagi gagasan libertarian: pertama, politik identitas serta ekonomi politik yang saling menegasikan (zero-sum) melalui konflik dan serangan atas supremasi hukum (rule of law) serta globalisasi ekonomi terutama migrasi ekonomi. Kedua, populisme bersamaan dengan kebangkitan pemimpin kuat. Ketiga, gerakan radikal Islam Politik. Kemenangan populisme a la Anies-Sandi perlu dicermati pada masa transisi enam bulan ke depan serta 100 hari pertama Gubernur baru Jakarta. Kemampuan menjembatani perbedaan politik ialah pekerjaan besar yang memerlukan tindakan ketimbang perencanaan.
Dapatkah Gubernur dan Wakil Gubernur Terpilih meredam politik identitas yang mengemuka selama kampanye dua putaran? Waktu yang akan menjawabnya. Selain itu, paling banyak dinanti ialah transformasi populisme yang mengantarkan keduanya ke kursi kekeuasaan menjadi program kongkrit yang dirasakan para pemilih sesuai janji kampanye.
Pada hari perdana dilantik, maka tiga program utama akan mulai ditagih para pemilih. Dan harus terus kita awasi akuntabilitasnya. Jangan sampai keinginan, membuat segala sesuatunya cepat, namun menabrak rambu-rambu tata kelola pemerintahan yang bersih dan berintegritas.

Adinda Tenriangke Muchtar adalah Chief Editor Suara Kebebasan. Ia juga adalah Direktur Eksekutif The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII). Adinda menyelesaikan studi PhD Studi Pembangunan di Victoria University of Wellington, Selandia Baru (2018) dengan beasiswa NZAID. Adinda mendapatkan Master of Internatio-nal Studies dari The University of Sydney (2003) dengan beasiswa AusAID dan gelar Sarjana Sosial dari Departemen Hubungan Internasional FISIP UI (2001). Fokus kajiannya adalah pembangunan dan kebijakan publik, demokrasi dan tata kelola pemerintahan, pemberdayaan perempuan, dan bantuan pembangunan internasional. email: adinda.muchtar@suarakebebasan.org