
Saat ini, Diversity, Equity, dan Inclusion, biasa disingkat DEI, menjadi salah satu tema sentral dalam diskursus masyarakat akhir-akhir ini. Selain itu, pusat-pusat kajian mengenai topik DEI ini juga berdiri di banyak perguruan tinggi, komunitas masyarakat, hingga organisasi nirlaba.
Dalam lingkungan mahasiswa, misalnya, kini isu keberagaman sudah menjadi makanan sehari-hari yang terus digaungkan. Mulai dari isu kebebasan berpakaian, keberagaman pandangan terkait sebuah isu, dan inklusi pendidikan. Begitupun di perusahaan. Sejumlah perusahaan terkemuka juga telah menerapkan DEI dalam banyak aspek, mulai dari proses rekrutmen hingga pengembangan suasana dan budaya kerja yang lebih mengapresiasi keberagaman, mencerminkan kesetaraan, dan inklusif.
Penerapan DEI dalam tata kelola organisasi kemudian menjadi penting karena DEI mengupayakan kondisi non-diskriminasi dalam organisasi dan tata kelolanya, baik pemerintah, organisasi profit ataupun non-profit. Adapun non-diskriminasi adalah salah satu prinsip dari Hak Asasi Manusia (HAM).
Promosi mengenai konsep keberagamaan dan kesetaraan ini juga tidak hanya melalui institusional dengan cara yang konvensional, tetapi juga melalui media baru, yaitu media sosial. Komunikasi yang dimediasi komputer merupakan sebuah area baru yang muncul beberapa dekade yang lalu. Ini telah berkembang dari alat kolaborasi akademik menjadi apa yang biasa disebut sebagai media baru dan sosial. Adanya peningkatan terhadap penggunaan internet secara komprehensif ini telah membentuk budaya dialektika baru di kalangan masyarakat. Budaya membaca dan menulis sudah beralih menjadi komunikasi digital di tengah-tengah masyarakat saat ini.
Dengan keberagaman fungsinya pun, media baru bagi dunia sosial telah disebut-sebut sebagai penyeimbang bagi individu yang kehilangan haknya untuk berpartisipasi atau berkontribusi dalam keterlibatan sipil dan untuk mendorong cita-cita demokrasi. Media sosial memberikan platform yang luas bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi, mengungkapkan pendapat mereka, dan berbagi informasi dengan cepat. Ini memungkinkan terciptanya ruang publik digital yang memungkinkan diskusi terbuka dan transparansi yang lebih besar. Hal ini otomatis mendorong proses promosi keberagaman menjadi lebih sukses, di mana berbagai pandangan yang hadir memiliki panggung masing-masing untuk eksis sesuai jangkauan audiens yang dituju.
Media sosial dapat memberikan informasi untuk individu di jaringan tertentu, sementara mereka juga menciptakan multiplier effect karena individu yang sama berusaha menjangkau orang lain di jaringan mereka. Efek pengganda seperti ini yang membuat sebuah isu bisa berlangsung dalam jangka panjang. Maka dari itu, media sosial sering digunakan untuk platform politisi melangsungkan kampanyenya maupun tempat sebuah organisasi menyebarkan program-programnya. Dalam konteks politik, media sosial mendorong hadirnya berbagai alternatif bagi masyarakat dalam memilih calonnya.
Di sisi lain, media sosial juga menghadirkan tantangan bagi proses promosi keberagamaan ini. Salah satu tantangan utamanya adalah penyebaran informasi palsu atau hoaks yang dapat dengan mudah menyebar luas dan mempengaruhi persepsi publik. Kemampuan untuk dengan cepat menyebarkan informasi yang belum terverifikasi dapat memperburuk polarisasi dan mengganggu proses demokrasi yang sehat. Selain itu, media sosial juga dapat menciptakan “filter bubble” atau gelembung filter di mana individu hanya terpapar pada pandangan dan opini yang sejalan dengan mereka sendiri. Hal ini dapat membatasi akses ke perspektif yang berbeda dan menghambat dialog antara kelompok yang berbeda, yang merupakan elemen penting dalam demokrasi yang inklusif.
Alhasil, yang perlu digarisbawahi adalah upaya mengenai bagaimana menggunakan kinerja media sosial sebagai wadah untuk berbagi pandangan dengan banyak orang di luar sana dengan beragam latar belakang. Hal ini turut menuntut sikap toleransi dan mudah memandang bahwa perbedaan status horisontal maupun vertikal sebagai sesuatu yang inheren. Perlu diingat juga bahwa dengan mengakui imajinasi kolektif yang “sama”, bukan keberagaman, dapat memperkeruh kondisi sosial, diskusi publik, dan angka toleransi di media sosial itu sendiri.

Samuella Christy adalah mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang aktif menulis mengenai isu-isu politik, sosial, dan budaya. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.