“Tidak ada satu individu pun yang dapat kita percaya untuk memegang penuh kekuasaan secara koersif. Bahkan orang paling baik dan berbudi pun dapat tergoda untuk menggunakan kekuasaan tersebut secara semena-mena. Itulah sebabnya mekanisme konstitusional dibutuhkan untuk membatasi kekuasaan.” (Tom G. Palmer)
Kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) untuk kali yang kedua dimulai di bulan Oktober 2019. Di bulan Oktober ini, rakyat Indonesia kembali dipimpin oleh Presiden Jokowi. Jokowi telah memenangkan kontestasi Pilpres 2019 dengan perolehan suara 55%.
Selama di bawah kepemimpinannya, memang banyak kemajuan dan hasil-hasil yang menggembirakan yang berhasil kita capai. Saya pribadi adalah salah seorang penggemar sosok “Sang Pakdhe” ini.
Bagaimana awalnya saya tidak kagum. Rekam jejak yang bersih, aktivitas blusukan di pasar dan di desa-desa, membangun pola komunikasi dengan rakyat, punya senyum yang khas dan sifat humorisnya, membuat Jokowi di mata saya memiliki citra seorang pemimpin yang hangat pada setiap orang.
Di tahun 2014 lalu, tidak butuh waktu lama untuk mempertimbangkan mau pilih calon pasangan yang mana dalam kontestasi pilpres. Bagi pegiat reformasi dan aktivis kebebasan, pilihan jelas kepada Jokowi, secara rasional, Jokowi adalah “orang baru” dalam perpolitikan Indonesia. Kita membutuhkan pemimpin visioner dan humanis yang mampu menangani persoalan yang rumit saat ini.
Namun harapan tinggallah harapan, ia adalah mimpi ideal dalam pikiran kita yang belum tentu terwujud secara nyata. Ketika Jokowi terpilih sebagai presiden ketujuh dan menjalankan pemerintahannya yang pertama, sikap Jokowi terhadap pelanggar HAM, pemberantasan korupsi, dan demokrasi justru mengecewakan banyak kalangan.
Kinerja Jokowi tidak sesuai dengan apa yang dibayangkan. Impian bahwa Jokowi sebagai orang yang tepat untuk menuntaskan kasus HAM di masa lalu, ternyata keliru. Jokowi cendeung lebih mementingkan pembangunan material dan mengajak masyarakat bekerja untuk pertumbuhan ekonomi, ketimbang fokus membangun sistem demokrasi, kebebasan, dan supremasi hukum yang adil bagi setiap orang.
Lebih menyedihkan lagi, Jokowi terlampau kalut dengan “isu kudeta”, sehingga ia menggunakan tangan besi untuk menangkap orang-orang yang dituduh akan melakukan makar atau kudeta terhadap dirinya. Pengkritik pedas Jokowi di media sosial banyak yang dikenakan tuduhan penghinaan dan ujaran kebencian melalui yaitu Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU ITE). UU ITE ini telah menyeret para pengkritik ke dalam bui
Sejujurnya pola pemerintahan Jokowi yang mengabaikan perawatan demokrasi dalam berpolitik telah membawa kekecewaan berbagai kalangan. Selain kendornya penyelidikan hukum untuk pelaku kejahatan HAM, masalah terbesar adalah kebebasan beragama yang belum terjamin.
Kasus penyegelan masjid Ahmadiyah, pembubaran kegiatan Islam Syiah, pelarangan bangunan rumah ibadah agama minoritas, serta penangkapan orang-orang yang dituduh radikal membuat rapor merah di periode pertama kepemimpinannya.
Tentu saja kesalahan tidak terletak seutuhnya hanya kepada Presiden Jokowi. Namun, yang perlu dicatat adalah tidak adanya kepastian hukum yang menaungi kelompok minoitas dan tidak adanya penindakan tegas terhadap pelaku-pelaku intoleran yang mengganggu kebebasan beragama yang masih rentan terjadi, seharusnya dapat ditindaklanjuti dengan tegas lewat kepemimpinan Jokowi.
Lembaga SMRC dan penelitian Australian National University di Canberra tahun 2019 meneliti tentang perkembangan di demokrasi Indonesia dewasa ini. Hasil penelitian tersebut membuat kita prihatin, sebab kebebasan sipil dan demokrasi kita mengalami kemunduran. Tanpa bermaksud menyalahkan, penelitian ini tentu sebagai koreksi atas pemerintahan Jokowi di periode kedua yang sudah mulai berjalan ini.
*****
Minggu, 20 Oktober 2019, Presiden Jokowi membaca pidato kenegaraan pasca pelantikannya. Dalam pandangan para pengamat, pidato kenegaraan ini adalah gambaran atau garis besar pemerintahan Jokowi selama 5 tahun kedepan.
Sayangnya, pidato yang indah dan padat tersebut hanya menyinggung soal ekonomi, pembangunan, pertumbuhan, pelayanan publik, dan pemantapan SDM. Pidato tersebut tidak menyinggung permasalahan lain yang lebih penting, seperti pemberantasan korupsi, penegakan supremasi hukum yang tidak tebang pilih, demokrasi, HAM, dan kebebasan sipil.
Ini menjadi sinyal buruk bagi kebebasan dan demokrasi di Indonesia. Pola Pemerintahan Jokowi yang kedua nampak seperti pola Pemerintahan Orde Baru yang lebih mementingkan naiknya angka pertumbuhan ketimbang menjamin kebebasan dan demokrasi.
Bukan tidak mungkin kedepannya melalui UU ITE, pemerintah akan semakin gencar membungkam suara-suara kritis dan mengontrol masyarakat. Cara pemerintah dalam menangani peristiwa kerusuhan di Papua, serta demonstrasi mahasiswa dan pelajar cenderung bersifat represif dan berlebihan. Ini menunjukan bahwa rezim tidak segan-segan menggunakan cara-cara tangan besi dan kekerasan untuk menjaga kekuasaan mereka.
Yang lebih buruk lagi, partai-partai politik yang sekiranya menjadi tonggak demokrasi, justru malah ramai-ramai merapat ke pemerintah untuk mendapat jatah kursi. Partai-partai oposisi yang serius dan kritis dalam memberikan masukan yang membangun seyogyanya dibutuhkan dalam suatu negara untuk mengawal pemerintahan guna mencegah munculnya otoritarianisme
Tetapi kenyataannya, partai-partai oposisi pasca pemilu bersikap pragmatis dan ramai-ramai menghadap presiden untuk mendapatkan jabatan di pemerintahan. Disini kita menghadapi masalah serius, yaitu mandegnya sistem demokrasi karena tidak adanya kekuatan kritik.
Belajar dari Kehancuran Orde Baru
Tom G. Palmer dalam Politik dan Kebebasan (terjemahan oleh Suara Kebebasan, 2017), berkata, “Tidak ada satu individu pun yang dapat kita percaya untuk memegang penuh kekuasaan secara koersif. Bahkan orang paling baik dan berbudi pun dapat tergoda untuk menggunakan kekuasaan tersebut secara semena-mena. Itulah sebabnya mekanisme konstitusional dibutuhkan untuk membatasi kekuasaan.”
Banyak pendukung Jokowi percaya bahwa Pemerintahan Jokowi akan bersifat humanis, bermoral, dan menjalankan program dengan cinta. Namun, siapa yang bisa menjamin bahwa kedepannya Jokowi tidak akan menggunakan cara-cara tangan besi untuk mengamankan pemerintahannya?
Pengangkatan Prabowo Subianto (yang terkenal dengan kasus kejahatan HAM 98) sebagai Menteri Pertahanan dan beberapa tokoh militer yang menempati pos-pos sipil, membuat citra Pemerintahan Jokowi di periode keduanya seperti menghidupkan kembali era Orde Baru dengan ‘wajah baru dan wajah lama’.
Tentu saja itu tidak berarti Jokowi akan menghidupkan kembali sistem Orde baru, namun pembangunan di periode kedua Jokowi yang lebih menitik beratkan pembangunan ekonomi dan melakukan perbaikan infrastruktur ketimbang membangun tradisi demokrasi dan kebebasan di Indonesia hampir mirip dengan pola Pemerintahan Orde Baru.
Benar Indonesia membutuhkan pembangunan, benar bahwa Indonesia membutuhkan percepatan ekonomi dan SDM yang baik. Namun, suatu negara membutuhkan inovasi, kreativitas, dan partisipasi rakyat dalam pembangunan. Dalam hal ini, partisipasi rakyat akan terlihat dalam suatu sistem yang menjamin kebebasan berkreasi dan berpikir.
Hancurnya sistem Orde Baru karena partisipasi rakyat tidak diikutsertakan dalam pembangunan. Rakyat hanya dijadikan prajurit yang harus mengikuti instruksi presiden. Para ekonom yang tidak mengikuti teori arus utama , tidak akan diikutsertakan dalam kabinet, begitu juga para politisi yang berusaha melakukan kritik akan dianggap sebagai tindakan subversif.
Walhasil, kerja keras pemerintah Orde Baru selama 30 tahun kandas hanya dalam hitungan bulan. Ini disebabkan tidak adanya otokritik yang memberikan jalan alternatif ketika Indonesia ditimpa krisis. Lembaga politik tidak berjalan sebab semua politisi adalah pembantu presiden, sedangkan rakyat melakukan kekacauan karena pemerintah menaikkan harga tanpa mereka mengetahui apa yang terjadi.
Presiden Jokowi berpidato terus-menerus mengajak partisipasi masyarakat dalam membangun. Di sisi lain, Presiden Jokowi mengekang demokrasi dan membungkam suara kritis masyarakat. Pertanyaannya: bagaimana bisa masyarakat muncul kesadaran untuk berpartisipasi, sedangkan hak untuk berbicara politik mereka dibatasi?
Mengekang kebebasan berbicara dan daya kritis masyarakat menimbulkan sikap apatis terhadap politik dan bernegara. Jika masyarakat yang menjadi tonggak pembangunan merasa cuek terhadap negaranya, maka bisa program pemerintah tidak dapat berjalan dengan lancar karena tidak ikut didukung oleh masyarakat.
Pengekangan terhadap demokrasi dan kebebasan sipil merupakan bentuk pengkerdilan terhadap manusia. Kesalahan terbesar para politisi adalah mereka merasa paling tahu apa yang menjadi keinginan dan keperluan individu, sehingga mereka berhak untuk membuat undang-undang yang mengekang kebebasan individu.
Kesalahan fatal pemerintah dalam membangun suatu negara adalah pengabaian terhadap peran masyarakat. Padahal kreativitas dan inovasi hadir dari insan yang bebas tanpa didikte oleh pemerintah dan siapapun.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com